Tanpa Air Mata
Kau pandangi halaman rumahmu. Tempatmu bermain bersama teman-temanmu.
Setelah dibujuk sedemikian rupa oleh tetanggamu, akhirnya kau memutuskan untuk pulang. Tanpa air mata. Tanpa kesedihan. Tiga kali Lebaran kau lewatkan tanpa sekali pun pulang ke rumah. Kau lebih memilih berada di rumah kekasihmu, di sana kau merasakan keteduhan yang tak pernah kau rasakan di rumah sejak kau kecil. Suasana yang hangat, suasana yang penuh canda tawa, dan tidak ada bentakan.
Kau masuk ke dalam rumah dan langsung duduk di ruang tamu. Tidak, kau bahkan sama sekali tidak ingin melihat wajahnya. Seseorang yang telah menelantarkan ibumu. Seharusnya, mungkin saja kalau tidak terlambat berobat, ibumu akan sangat berbahagia, sebentar lagi akan memiliki mantu yang berparas cantik, pandai memasak, dan cekatan dalam urusan rumah tangga. Terbukti, saat pacarmu datang ke kontrakanmu yang berantakan, ia selalu membenahi letak-letak barang yang dianggapnya salah. Atau merapikan segala sesuatu yang berceceran.
Berbeda dengan ibumu, bapakmu bahkan membentakmu saat di telepon, mengabari bahwa kau baru saja punya pacar tiga tahun yang lalu. Kerja saja belum becus, sudah mau pacar-pacaran. Dan itu adalah obrolan terakhir antara kau dan bapakmu.
Segala yang kau lihat di dalam rumah ini penuh dengan luka. Sejak kecil, bahkan kau seperti anak yang tidak pernah diharapkan. Kau biarkan orang-orang melantunkan doa, membacakan selawat, dan kau tetap hening dalam tempat dudukmu. Ada semacam kelegaan yang tidak bisa kau bagi dengan siapa pun. Yang mereka tahu, kau pulang karena ingin menyaksikan hari terakhir bapakmu.
Kau pandangi halaman rumahmu. Tempatmu bermain bersama teman-temanmu. Pernah suatu kali bapakmu menyuruhmu untuk memanjat pohon mangga yang tumbuh di depan rumah. Maka dengan sangat hati-hati kau menaikinya. Tetapi bapakmu berteriak lantang menyuruhmu untuk cepat-cepat. Kau sedikit cekatan, hingga akhirnya kau salah mengambil pijakan pada ranting yang rapuh. Ranting patah dan bunyi gedebuk terdengar nyaring di telinga bapakmu. Kau mengerang kesakitan karena punggungmu menghantam bumi.
Namun, bapakmu tak peduli. Bahkan ia malah memakimu dengan hujatan yang tak enak didengar telinga. Anak goblok, nyari pijakan saja tidak becus. Tak cukup sampai di sana, kaki bapakmu menendangmu dengan cukup keras. Meski teramat sakit, kau lebih memilih menahannya, karena kalau kau berteriak, bapakmu akan menghajarmu lebih keras lagi.
Dan kini ia terbujur kaku diselimuti kain kafan. Kau menggeleng saat mereka mengajakmu untuk menshalatkannya. Kau memilih tetap hening dalam dudukmu.
Namun, bapakmu tak peduli. Bahkan ia malah memakimu dengan hujatan yang tak enak didengar telinga. Anak goblok, nyari pijakan saja tidak becus. Tak cukup sampai di sana, kaki bapakmu menendangmu dengan cukup keras. Meski teramat sakit, kau lebih memilih menahannya, karena kalau kau berteriak, bapakmu akan menghajarmu lebih keras lagi.
Kau juga tak lupa bagaimana amuk bapakmu saat kau lupa mengisi bak mandi. Kau terlalu asyik bermain dengan kawan-kawan sepermainanmu, bapakmu yang pulang dari pabrik garam murka melihat bak mandi masih kosong. Maka kau didatangi dengan pecut yang sudah melekat di tangan bapakmu. Teman-temanmu ketakutan dan mereka lari tunggang langgang. Tertinggal kau seorang diri di tanah lapang. Bapakmu menyeretmu sepanjang jalan, dengan pecut yang tiada henti-hentinya menyabet tubuhmu. Kau meringis, menahan sakit. Ibumu hanya melihatmu dengan perasaan iba. Dan kau terpaksa mengambil air di sungai dengan menahan kepedihan di punggungmu.
Kau tak pernah dianggap di depan bapakmu. Bahkan ketika kau mendapatkan peringkat pertama di sekolah, saat ibumu membanggakanmu di depan para tetangga, bapakmu malah mencemoohmu. Lelaki dilihat dari seberapa besar uang yang bisa didapat, bukan dari seberapa tinggi nilai yang ia dapatkan di sekolah. Lagi pula, nilai di sekolah tidak bisa memberikan ganti apa-apa kepada kehidupan kita yang sudah semakin susah. Kata-kata bapakmu tentu sangat menusuk. Tidak ada satu hal kecil pun yang bisa membuatnya bangga. Maka kau menahan jengkel mendaftar ke sekolah impianmu. Saat tahu kau akan masuk SMA, bapakmu murka. Mau jadi apa masuk SMA? Mau jadi guru, kuliah, mewujudkan cita-cita. Cita-cita macam tahi. Kau tahu, anak lulusan SMA susah mendapatkan pekerjaan? Akhirnya demi menghindari amarah bapakmu kau melanjutkan sekolah ke STM. Bukan sekolah yang kau senangi. Tiga tahun yang seperti penjara bagimu.
Di sela-sela sekolah kau harus membantu mengurusi sawah, sesuatu yang sebenarnya kau benci. Bagaimana tidak, bekerja di sawah layaknya berada di neraka. Saat musim tanam tiba, bapakmu memaksamu untuk menyebarkan benih-benih, jika secara tak sengaja kakimu menginjak benih padi yang telah berjajar rapi, bapakmu tak segan-segan menghajarmu. Menurut bapakmu, dibandingkan anak-anak temannya yang juga seusiamu, kamu adalah anak yang paling pemalas. Lebih memilih buku dibandingkan bergelut dengan sawah yang bisa kau jadikan pegangan ketika hari tua kelak. Kau pernah mengatakan tak ingin jadi petani, maka lagi-lagi bapakmu menghajarmu tiada ampun. Kata-katanya adalah titah yang harus dilaksanakan. Maka jika kau tidak mendengarnya, apalagi tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tak jarang kau akan mendapatkan berbagai macam siksaan.
Sering kali kau merasa kasihan terhadap ibumu yang suka membelamu. Dan bapakmu tidak peduli. Saat ibumu mengakui sebuah kesalahan yang tidak dilakukannya, karena yang melakukan adalah kamu, maka ibumu akan disiksa sedemikian rupa. Dicambuk, dihardik, dipukul sampai bapakmu merasa terpuaskan.
Hingga kau akhirnya mendapatkan pekerjaan di kota. Kau serasa lepas dari penjara. Beberapa gaji pertamamu, kau mengirimkannya untuk ibumu, setelah menyisihkan untuk kebutuhanmu sehari-hari. Maka tak jarang, bapakmu merampas uang itu dari tangan ibumu dan mempergunakannya untuk bermain judi, togel, dan semacamnya. Ibumu sering kali dibuatnya menangis tersedu-sedu. Ingin sekali kamu pulang, menemani ibumu, atau mengajaknya pergi dari bapakmu. Tapi hal itu pernah kau utarakan, dan ibumu menolak. Surga ibu ada dalam diri bapakmu. Tidak mungkin aku meninggalkannya. Dan kau hanya mendesah pelan mendengar keputusan ibumu.
Hingga akhirnya ibumu jatuh sakit akibat bekerja terlalu keras. Berkali-kali ibumu menelepon supaya kamu segera pulang. Namun, pekerjaan belum mengizinkanmu untuk pulang ke kampung halaman. Kau tetap di kota sampai keadaan ibumu semakin parah.
Saat kau pulang kaudapati ibumu sedang dalam keadaan yang teramat payah. Ia sudah tak mampu bergerak lagi. Ia hanya terbaring di atas ranjang bambu di ruang depan. Maka kau bergegas untuk membawa ke rumah sakit tanpa seizin bapakmu. Kanker payudara stadium tiga. Itu yang dikatakan dokter. Meski terlambat dalam penanganannya, setidaknya dokter berupaya untuk mengobati ibumu. Dan bapakmu datang ke rumah sakit dengan wajah tanpa dosa. Kau mengusirnya, membentaknya, dan bapakmu tak kalah garang dalam memaki. Kalian bertengkar hebat sampai harus dilerai oleh beberapa petugas rumah sakit yang sedang berjaga. Saat amarahmu belum juga mereda, kau kehilangan ibumu. Pertolongan datang terlambat. Kepergiannya semakin membuatmu benci terhadap bapakmu. Lelaki macam apa kau ini? Lelaki yang bahkan tidak bisa bertanggung jawab terhadap perempuan yang dinikahinya.
Setelah pemakaman ibumu kau langsung berangkat pergi. Tanpa ucapan selamat tinggal kepada bapakmu. Kau bekerja seperti biasa, dan saat musim libur panjang seperti Lebaran dan Tahun Baru, kau lebih memilih bercengkerama di rumah kekasihmu. Saat keluarga mereka menanyai tentang kenapa tidak pulang, bapak lebih bahagia aku berada di rumah seseorang yang hendak aku nikahi. Jawabanmu tentu sangat memuaskan mereka. Mereka tak perlu tahu alasan kenapa kau malas untuk pulang.
Baca juga : Aldrich dan Mimpinya Menjadi Wordsmith
Lebaran ketiga bapakmu jatuh sakit. Ia telah meminta tolong kepada tetangga terdekat untuk menghubungimu. Dan kau selalu mengatakan sibuk. Tidak ada waktu. Maka bapakmu—meski dengan batuk tersengal—selalu berusaha menghubungimu.
Ingin sekali kau meludahi bapakmu tepat di wajahnya, tetapi niat itu tidak pernah kau laksanakan. Kau pandangi meja di depanmu. Meja yang juga selalu jadi alasan kemarahan bapakmu. Kau pernah secara tak sengaja menyenggol gelas yang berisi kopi yang baru saja diseduh. Kopi tumpah dan gelas pecah. Maka kemarahan bapakmu tidak terbendung. Ia mengguyurkan sisa kopi ke wajahmu. Kau masih ingat dengan rasa sakit itu. Rasa panas kopi yang ditumpahkan ke mukamu.
Saat jenazah hendak diangkat di keranda, saat itulah kau ikut berdiri. Kau meminta pengusung keranda untuk menurunkan sejenak jenazah bapakmu. Entah kenapa kau ingin melihat wajahnya untuk terakhir kalinya. Kau membuka kain penutup dan kau melihat bapakmu dengan mulut ternganga dan mata sedikit membuka. Di kedua pipinya kau melihat air mata yang seperti tak berhenti mengalir dengan deras. Dan kau menutupnya kembali. Meski kau telah melihat kesedihan yang demikian mendalam, kau masih tetap tidak ingin memaafkan bapakmu. Kau bahkan enggan mengantar bapakmu hingga ke pemakaman. Kau lebih memilih berada di rumah, merenungi segala dan apa saja yang mungkin terjadi setelah ini. Tak ada selawat terlantun dari bibirmu.
Tak ada Al-Fatihah sebagaimana kau ucapkan ketika ada orang yang meninggal. Kau hanya diam saja. Seperti hendak menyumpahserapahi bapakmu.
Ciputat, 23 Juni 2021
***
Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya pernah dimuat harian Republika, detik.com, dan cendananews.com