Mengunjungi Laut
Perlu kau ketahui, kami dan leluhur terdahulu telah menggantungkan hidup pada laut, dari laut inilah kami mencari penghidupan.
Pada dasarnya aku amat membenci laut, ungkap Tole membuka percakapan dengan Pawang Baka yang sedang menyulami jaring ikan robek miliknya pada suatu pagi di tepi laut saat pandemi mewabahi orang-orang di kotanya. Laut merupakan tempat pelarian terakhir bagi Tole untuk menghindari virus mematikan itu.
Aku bisa memahami kebencianmu pada laut,” jawab Pawang Baka, karena itu aku tidak pernah menyalahkan, itu hakmu dalam menyikapi sesuatu tapi jangan berlebihan, pertimbangkan sisi baik dan sisi buruknya, agar kau tidak terlalu lama terjebak dalam kebencian ini. Karena itu akan sangat menyiksa dirimu sendiri.
Perlu kau ketahui, sambung Pawang Baka, aku juga pernah berada pada titik seperti yang kau rasakan saat ini, keluargaku juga korban dari keganasan laut, tapi itu masa lalu, aku sudah mengikhlaskan semua itu, garis takdir sudah menetapkan demikian, sekarang aku kembali ke laut menjadi nelayan, dari sana aku menyambung hidup, aku tidak ingin larut dalam kesedihan yang panjang.
”Kau lihat orang-orang yang sedang menarik pukat di ujung pantai itu?” tanya Pawang Baka kepada Tole sambil menunjukkan aktivitas nelayan yang sedang menjaring ikan, mereka semua menaruhkan harapan pada laut ini, setiap hari bersentuhan dengan laut, menyambung hidup pada ikan-ikan di laut, padahal mereka dulu juga bernasib sama dengan kita, harta, keluarga dan seluruh yang mereka punya habis ditelan laut.
Pawang Baka memang mengetahui banyak tentang kehidupan masyarakat pesisir di daerah ini, karena ia juga menjabat sebagai Panglima Laot di wilayah ini, lembaga adat yang memimpin desa-desa pesisir, ia juga mengatur cara penangkapan ikan dan menengahi jika terjadi sengketa diantara nelayan.
Setelah mendengar pawang Baka, Tole hanya mematung tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, yang terpikir olehnya ia telah begitu jauh terseret mendekati laut, hatinya bergejolak mendengarkan cerita-cerita tentang laut, hal yang tidak ingin ia dengarkan selama ini, namun meski tidak diakui semua itu perlahan mematahkan rasa bencinya terhadap laut.
Memang Tole sudah menahun tidak pernah mengunjungi laut, setelah gelombang besar itu merenggut seluruh keluarganya, sejak itu ia kecil mulai membenci laut. Kebenciannya kepada laut teramat sangat mendalam, sedalam lautan dan seluas samudera. Berawal setelah mendengar cerita orang-orang bahwa keluarganya lenyap ditelan gelombang besar pada Minggu pagi tahun dua ribu empat silam.
Aku bisa memahami kebencianmu pada laut, jawab Pawang Baka, karena itu aku tidak pernah menyalahkan, itu hakmu dalam menyikapi sesuatu tapi jangan berlebihan, pertimbangkan sisi baik dan sisi buruknya, agar kau tidak terlalu lama terjebak dalam kebencian ini. Karena itu akan sangat menyiksa dirimu sendiri.
Tujuh belas tahun sudah persitiwa itu berlalu, namun masih membekas dalam ingatan, meskipun tempat tinggalnya hilang tak meninggalkan bekas, semua menjadi laut. Hanya Tole yang selamat setelah seseorang menariknya dari amukan gelombang besar itu. Selepas itu hari-harinya dijalani tanpa laut, ia selalu menghindar jika mendengar cerita tentang laut, memalingkan wajah, jika ada gambar yang melukiskan laut, baginya laut adalah malapetaka yang telah merampas senyum dan semua masa depannya.
Mengingat laut baginya sama saja, seperti luka menganga disiram air cuka, serasa pedih sampai ke sumsum. Sejak itu ia tidak pernah peduli dengan laut. Pernah suatu ketika, di akhir pekan para teman mengajaknya bermain ke laut, Tole menolak ajakan itu seraya mengatakan laut lebih jahat dari penjahat, lebih rampok dari perampok. Baginya laut adalah gelombang yang telah menghanyutkan masa depannya. Aku tidak sudi mengunjungi laut.
Bukan hanya itu, Tole juga pernah melakukan protes terhadap rekan sekantornya saat melakukan perjalanan dinas keluar kota, agar tidak memilih tempat penginapan dengan pemandangan berlatar belakang laut, karena ia masih belum bisa terima dengan tragedi memilukan yang menimpa keluarganya.
Suatu ketika, kotanya diserang wabah mematikan yang menelan korban jiwa melebihi bencana yang pernah terjadi di kota itu. Pemerintah dibuat kelimpungan dalam mengatasi wabah ini, penyebarannya begitu cepat melalui aktivitas kontak antara manusia dengan manusia lain.
Untuk memerangi virus, pemerintah membatasi aktivitas manusia di tempat umum, warga dilarang melakukan kerumunan, mereka tidak diizinkan keluar rumah untuk beberapa saat, pun menutup pusat perbelanjaan, mal tidak beroperasi. Pemberlakukan lockdown adalah langkah tegas yang dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai virus agar tidak semakin menggila, namun pengekangan aktivitas dalam waktu lama membuat warga kota bosan, ruang gerak terbatas, hal ini pula yang dirasakan Tole.
Baca juga: Persekongkolan Guru dan Murid
Suatu pagi yang sembab, Ia diam-diam keluar mengelilingi kota. Suasana di luar sepi, hanya ia seorang diri, kota ini seakan benar-benar mati, kondisi kota persis seperti baru saja disapu gelombang besar beberapa tahun silam, tidak berpenghuni. Merasa putus asa Tole terus mengendarai motornya menelusuri jalan beraspal, kiri kanan mulai terlihat perahu-perahu kecil milik nelayan, juga tersangkut beberapa jaring kusam diatasnya, tanpa sadar ia sudah berada di tepian ujung daratan, dia berhenti di pantai yang berpasir putih, selebihnya adalah hamparan laut biru yang luas, ombak yang menggulung, di antara rasa trauma dan terkesima dengan keindahan laut di sana.
Di sanalah awal mula Tole berjumpa dan berkenalan dengan Pawang Baka. Dari Pawang Baka, Tole kemudian banyak mendengarkan cerita-cerita lain tentang laut, cerita itu sangat bertolak belakang dengan laut yang diperkenalkan orang-orang kepadanya selama ini. Sejak itu Tole mulai sering mengunjungi laut, ia sengaja datang menikmati suasana matahari pagi di laut, berjumpa dengan para nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut. Berpuluh-puluh ton ikan ditangkap di sana, memenuhi permintaan ikan di kotanya, begitu juga ikan yang dibawa muge ke lorong-lorong rumahnya, semua itu didatangkan dari laut yang ia benci.
”Air bersih, dengan hamparan pasir putih yang dikelilingi pepohonan rimbun, benar-benar membuat pantai ini asri, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan,” kata Pawang Baka kepada Tole saat duduk di sebuah rangkang tepi pantai.
”Potensi wisata bahari ini juga telah menghidupkan perekonomian warga di sini. Sejak wabah pandemi warga kota semakin ramai berkunjung ke laut, saban hari orang memadati pantai, semakin sesak saja,” ungkap Pawang Baka.
”Tapi sayang, selama ini kau telah berburuk sangka terhadap laut, Tole.”
Perlu kau ketahui, kami dan leluhur terdahulu telah menggantungkan hidup pada laut, dari laut inilah kami mencari penghidupan. Kau lihat di sini, orang- orang menjadikan daerah ini lokasi wisata, mengundang wisatawan untuk menikmati keindahan laut yang kita punya, dari hasil itu mereka menyambung hidup. Jika tidak begitu dari mana lagi mereka memperoleh pendapatan, bukankah itu sesuatu yang halal mereka dapatkan. Begitu juga dengan ikan yang diperoleh dari laut, kami jual kepada penduduk kota, bukankah itu juga hal yang lumrah.
Berkaitan dengan bencana yang merenggut keluarga kita, sebenarnya bukan kesalahan laut, melainkan kekurangan kita dalam memahami laut, karena bagi mereka di pulau seberang yang telah mengenal smong korbannya lebih sedikit ketimbang daerah kita. Kearifan itu mengajarkan kepada mereka jika air laut surut sampai mengering maka larilah ke gunung, jangan sekali-kali mendekati ke laut, karena yang demikian adalah suatu pertanda alam, mala petaka akan segera datang. Kita perlu belajar dari mereka.
”Lagi pula kita belum adil dalam memperlakukan laut,” sambung Pawang Baka.
”Mengapa kau mengatakan demikian,” tanya Tole.
”Laut memberikan banyak keuntungan bagi manusia sebagai sumber makanan, oksigen yang kita hirup, jalur transportasi, tempat rekreasi, sumber mata pencaharian dan sumber mineral sekalipun, namun apa yang telah manusia berikan kepada laut, selain mengangkut semua hasil laut. Lalu tanpa rasa bersalah mengirimkan beribu-ribu ton sampah plastik ke laut. Tanpa sadar manusia yang membuang sampah sembarang semua itu akan bermuara pada laut, mengotori laut, lalu adakah laut yang melakukan protes kepada manusia?” tanya Pawang Baka.
”Iya,” jawab Tole, ”aku mengerti maksudmu. Tapi laut tidak perlu dibela,” sambung Tole.
”Lagi pula laut tidak pernah meminta pembelaan dari manusia, dia bisa menjaga dirinya sendiri, seberapa pun sampah yang dihempaskan manusia ke laut, ia selalu bisa mencampakkan kembali ke daratan, karena itu banyak sampah di pantai kita yang dikembalikan oleh laut.”
Sedikit ketus, Pawang menjawab, ”Mungkin saja bencana tujuh belas tahun lalu itu, aksi laut mengembalikan sampah ke daratan. Karena banyaknya sampah yang dikembalikan, maka banyak pula menimpa korban.”
”Belum lagi perilaku manusia sengaja menggunakan bom ikan yang tidak hanya membuat ikan mati tapi juga merusak terumbu karang. Padahal terumbu karang sumber kehidupan di laut, rumah bagi ribuan biota laut, jika rumah mereka hilang maka manusia juga akan kehilangan sumber makanan dari lautan.”
Percakapan hari itu berakhir tanpa ada sesuatu yang dapat disimpulkan dari pembicaraan mereka. Masing-masing kemudian kembali dengan aktivitasnya sendiri, Tole semakin sering berkunjung ke laut, menelusuri garis pantai, menapaki butiran pasir putih nan eksotik di sana, ia mulai menikmati setiap debur air yang dihempaskan gelombang.
Setiap pagi ia berkunjung ke laut, orang-orang pun makin ramai berkunjung ke laut, semakin sesak dan padat. Tapi kondisi itu tidak berlangsung lama, karena wabah pandemi, otoritas setempat kemudian melarang warganya mengunjungi laut, akses ditutup karena dianggap menimbulkan kerumunan, jika ada yang melanggar larangan tersebut akan dikenai sanksi tegas.
Diam-diam pagi itu Tole nekat menjumpai Pawang Baka di laut, dia ingin mencari tahu perihal apa yang telah terjadi di laut, dia mendapati laut sepi tak berpenghuni, nelayan yang biasanya menarik pukat juga tidak beroperasi, ditempat biasa ia mendapati Pawang Baka.
”Sudah seminggu mereka tidak melaut,” kata Pawang Baka.
”Begitu juga mereka yang hidup dari pariwisata, semua tutup. Wabah ini benar-benar telah mematikan perekonomian warga, tidak hanya di kota tapi juga di sini.”
”Bagaimana langkah kemudian?” tanya Tole.
”Kami meminta agar akses ke laut tidak turut ditutup, sudah kami surati otoritas terkait atas nama komunitas, karena ini akan mematikan perekonomian warga, mereka menggantung hidup pada laut. Kami mengerti apa yang sedang dihadapi pemerintah, tapi walau bagaimanapun juga kami harus mencari makan, laut adalah satu-satunya sumber pendapatan bagi kami,” keluh Pawang Baka.
Beberapa minggu kemudian laut kembali dibuka untuk umum, warga kembali diperbolehkan mengunjungi laut, dengan tidak membuat kerumunan agar tidak terjangkit virus mematikan itu. Laut kembali hidup dan nelayan kembali melaut.
Mendengar kabar laut telah dibuka kembali, pagi-pagi buta Tole bergegas ke sana, tidak sabar ingin menikmati mata hari pagi, mendengarkan cerita-cerita nelayan yang sedang memikul beban mengangkut hasil tangkapan.
Pagi itu ia malah menyaksikan laut di kotanya sedang murung, sepanjang garis pantai menjadi hitam, dua kapal tongkang karam, tumpahan batu bara membuat air laut di sana hitam pekat, namun nelayan tetap melaut seperti biasa, mereka melabuhkan pukat, melabuhkan harapan di laut yang dia benci.
Catatan:
Muge: Tengkulak
Panglima Laot: Suatu struktur adat di kalangan masyarakat nelayan di Provinsi Aceh
Rangkang: Gubuk tempat istirahat
Smong: Diartikan empasan gelombang air laut yang berasal dari bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue. Secara historis, Smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
***
Teuku Hendra Keumala, lahir di Nagan Raya, 20 Maret 1986, aktif menulis cerpen, artikel dan bekerja sebagai journalis di salah satu media lokal di Aceh.