Petani Tua, Ulat Bulu, dan Pencuri Dermawan
Tapi petani tua itu malah menghalangi ulat bulu itu dengan daun-daun kangkung lainnya dari pandangan burung. Pikirnya, ulat itu punya hak hidup.
Petani tua itu adalah petani yang aneh. Petani yang berbeda dari petani-petani lainnya. Tadi pagi dia menemukan seekor ulat bulu di batang kangkung yang berjajar di tepi kolam. Petani lain biasanya mencapit atau menjentik ulat itu dan menginjaknya. Dengan begitu selamatlah daun-daun kangkung yang menghijau segar itu dari bolong-bolong atau batang patah.
Tapi petani tua itu malah menghalangi ulat bulu itu dengan daun-daun kangkung lainnya dari pandangan burung. Pikirnya, ulat itu punya hak hidup juga. Dia yakin, ulat bulu itu tidak akan pernah menghabiskan pohon kangkungnya. Katanya sekali waktu kepada petani lain sahabatnya, bila ulat itu sudah berkembang biak, burung-burung akan datang membatasinya.
Itulah sebabnya petani tua itu dijuluki si aneh. Dia sendiri merasa biasa saja. Biasa bagi dia yang punya pengalaman unik di masa kecil. Saat usia sepuluh tahun ketika sedang senangnya menjelajahi alam, dia sering mengunjungi tepi hutan. Berenang bersama teman-temannya di hulu sungai, mencari buah-buahan liar, atau berburu burung dengan sumpit.
Sekali waktu dia terpisah dengan rombongan teman-temannya. Saat bingung kehilangan jalan pulang, dia sampai ke sebuah gubuk yang asri campernik. Penghuni gubuk itu adalah seorang kakek yang baik hati. Dia disuguhi minum air teh dan gula merah. Air teh dan gula merah terenak yang pernah dia rasakan. Mungkin karena lelah, dan juga lapar.
Tapi yang membuat dia merasa takjub bukan air teh dan gula merah. Dia takjub dan merasa segala yang selama ini dicarinya ditemukan, saat melihat kakek penghuni gubuk campernik itu menyimpan remah-remah nasi di sekitar lubang-lubang semut di halaman gubuk.
“Kakek,” katanya setelah rasa herannya tidak bisa ditahan lagi. “Buat apa remah-remah nasi itu?”
Tapi kakek itu tidak menjawab. Dia malah mengajak berjongkok dan memperhatikan remah-remah nasi itu. Tidak berapa lama seekor semut hitam keluar dan mencium-cium remah-remah nasi itu, lalu digusur-gusurnya, saat merasa tidak kuat menggusur sendiri semut itu masuk lagi ke dalam lubang. Semut-semut pun berdatangan dan mereka bergotong-royong menggusur remah-remah nasi itu ke lubangnya.
“Semut-semut itu sering mengalami kecelakaan, bahkan sampai mati, saat mencari makanan. Tapi bila makanan itu ada di dekat lubangnya, siapa tahu membantu mereka lebih aman,” kata kakek itu.
Itulah yang membuat petani tua di masa kecil tertarik dengan kakek penghuni gubuk asri campernik itu. Hampir setiap minggu, saat libur sekolah, dia akan datang dan bermain di sekitar gubuk campernik itu.
Semut-semut itu sering mengalami kecelakaan, bahkan sampai mati, saat mencari makanan. Tapi bila makanan itu ada di dekat lubangnya, siapa tahu membantu mereka lebih aman.
Pengalaman itulah yang membuat dia yakin, ulat-ulat tidak akan menghabiskan tanamannya. Malah akan mendatangkan keajaiban. Sekali waktu ada rombongan orang kota yang sedang berlibur ke kampung, mereka berkeliling melihat-lihat perkebunan dan persawahan. Dan saat sampai ke kebun petani tua itu, mereka memborong kangkung, bayam, tomat dan sayuran lainnya dengan harga berlipat dari biasanya. Mereka senang mendapatkan daun-daun kangkung yang menghijau ranum tapi ada bekas gigitan ulat di beberapa bagiannya.
“Ini tandanya sayuran yang tidak disemprot pestisida,” kata pemandu rombongan orang kota itu.
Petani tua itu mendapatkan rezeki yang berlipat hari itu.
**
Suatu malam petani tua itu mendengar suara-suara aneh di belakang gubuknya. Saat diam-diam dia mengintip, oh ternyata ada pencuri sedang menggali pohon singkongnya.
“Singkong yang itu masih kecil-kecil. Umbinya yang sudah besar dan enak dimakan ada di bawah sana,” kata petani tua itu.
Si pencuri terkejut. Kakinya bergetar. Keringat mengucur deras di malam yang dingin itu. Dia mau lari tapi teringat anaknya yang menangis karena lapar tidak bisa lagi dibujuk istrinya. Dia mau nekad menerjang petani tua pemilik kebun itu tapi sudah tidak ada. Singkong-singkong kecil yang sudah terlihat ditutupnya lagi dengan tanah. Lalu mengendap-endap dia ke kebun bawah dan mendapatkan singkong-singkong yang sudah besar.
Pencuri itu awalnya terdesak mencuri karena kebutuhan pokok. Tapi karena tahu petani tua mendiamkannya, hampir setiap malam dia mencuri. Awalnya singkong untuk makan, lalu pepaya dan buah-buahan lainnya sebagai cuci mulut, selanjutnya apapun diambilnya untuk dijual ke pasar. Kehidupan pencuri itu menjadi lebih terjamin. Dia bisa memberi makan istri dan anaknya yang layak, nasi dan lauk-pauknya berprotein dan bervitamin. Bahkan uang untuk sekadar jalan-jalan atau membeli rokok-kopi dan penganan lainnya saat menjamu teman-temannya atau memperbaiki bagian-bagian rumahnya yang sudah rusak, tercukupi dari hasil mencurinya.
Tapi suatu pagi ketenangan hidup pencuri itu terguncang. Dia baru bangun setelah semalam begadang saat ada orang yang mengetuk pintu rumahnya. Istri dan anaknya sedang belanja ke pasar. Saat membuka pintu pencuri itu terkejut bukan main. Wajahnya pucat. Tubuhnya bergetar. Mulutnya melongo.
“Ini untuk keluargamu, ada sedikit hasil panen,” kata petani tua itu sambil tersenyum.
Pencuri itu tidak berani membuka pemberian petani tua sampai istri dan anaknya datang. Ketika istrinya membuka bungkusan itu, isinya adalah beras 4 kg, satu sisir pisang, dan sebuah amplop berisi uang seratus ribu rupiah. Amplop putih kecil itu bertuliskan hurup kecil: rezeki halal dari Tuhan. Meskipun tulisannya kecil, pencuri itu bergetar seluruh tubuhnya, sepenuh perasaannya, sejauh pikirannya. Rezeki halal, rezeki halal, rezeki halal, begitu yang selalu digumamkannya.
Pencuri itu baru tahu, petani tua itu selalu membagikan hasil panen dari kebunnya, kepada tetangga-tetangganya, menyekolahkan anak-anak yatim, sampai ke kampung-kampung sekitar. Rumah pencuri itu termasuk jauh dari kebun petani tua, tapi kali ini sedekah petani tua itu sampai ke sana. Petani tua itu mempunyai dua orang anak yang sudah bekerja di kota. Kepada kedua anaknya petani tua itu berkata, “Kebun ini Ayah wariskan kepada kalian berdua, tapi nanti setelah Ayah tiada baru boleh kalian mengelolanya. Sekarang biarkan kebun ini menjadi jalan rezeki bagi banyak makhluk. Ayah berharap, dari hasil kebun ini, nanti setelah Ayah tiada, kalian menyedekahkan bagian yang cukup banyak, jauh lebih banyak dari kewajiban zakat.”
Tapi meski pencuri itu sudah tahu banyak tentang petani tua, tidak membuatnya berhenti mencuri. Pernah berpikir untuk berhenti mencuri, lalu melamar pekerjaan kepada petani tua sambil menceritakan kondisi ekonomi keluarganya, tapi semuanya urung dilakukan. Dia takut gajinya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan jalan-jalan dan sekunder lainnya.
Pencuri itu malah mencuri semakin banyak. Bukan saja kebutuhan pokok dan sekundernya yang terpenuhi, tapi dia pun bisa hidup mewah. Kalaupun masih ada perasaan tidak enak di hatinya, dia menutupinya dengan rajin berbagi kepada tetangga, saudara dan kenalan-kenalannya.
Panen di kebun petani tua itu semakin menurun. Petani tua itu tahu penyebabnya adalah pencuri yang semakin banyak mengambil. Tapi dia membiarkannya. Dia menganggap pencuri itu seperti ulat-ulat yang nantinya akan hilang sendiri, ada pembatas populasinya yang alami.
Baca juga : Kardigan
Tapi pencuri itu adalah manusia adalah khalifah bumi yang berbeda dari makhluk-makhluk lainnya. Tentu pencuri itu juga berbeda dari ulat-ulat. Pencuri itu tidak punya pembatas pencuriannya. Dia malah semakin menjadi setelah di masyarakat dia dikenal sebagai dermawan. Dia didukung oleh masyarakat agar menjadi pemimpin. Awalnya dia menjadi kepala desa, lalu menjadi wakil rakyat dan entah jadi apa lagi.
Rumah pencuri itu menjadi sangat mewah. Halaman di sekeliling rumahnya tertata dengan sempurna. Taman yang indah itu dihiasi dengan bebungaan yang sedang mahal harganya. Aglonema merah membuat rumah semakin mewah, anthurium menebarkan aura kelas tinggi, bunga-bunga kemboja hias menebarkan sejuta pesona.
Setiap pagi pencuri itu diantar mobil mewah ke kantornya. Ke mana-mana dia dihormat dan disanjung. Dia dikenal sebagai pemimpin yang dermawan. Tapi saat sendirian menatap tanaman di taman rumahnya, dia merasa ada ulat-ulat di daun dan bunga yang mempesona itu. Ulat-ulat yang kemudian naik ke kakinya, ke sekujur tubuhnya ke dalam hatinya ke dalam pikirannya ke dalam perasaannya. Ulat-ulat yang tidak bisa hilang dikendalikan siapapun. Apalagi dikendalikan alam. ***
Rancakalong, 14-3-2020
Catatan:
Campernik : kecil tapi bagus, indah, elok
Yus R. Ismail, menulis cerpen, novel dan puisi, dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Buku terbarunya In The Small Hours of The Night terjemahan C.W. Watson (Lontar, 2019) memuat 5 carpon-nya. Novel Tragedi Buah Apel terpilih sebagai Pemenang Pertama Lomba Novel Anak penerbit Indiva 2019. Cerpen dan puisinya pernah dipublikasikan Media Indonesia, Jawa Pos, detik.com, Kompas.id, Koran Tempo, Kompas, Femina, Nova, basabasi.com, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Lampung Pos, Padang Ekspress, Republika, dsb. Sekarang tinggal di kampung Rancakalong, menanam bunga hias dan menulis.