Tuan Jenderal
Rakyat sangat marah. Istana telah dikepung dari berbagai penjuru.
Akhirnya Tuan Presiden melangkah keluar dari istana. Demi keamanannya, orang-orang terdekatnya menyarankan agar ia jangan pergi keluar. Bahkan ajudannya, telah menyarankan Tuan Presiden pergi lewat jalur bawah tanah yang bisa saja dipergunakan dalam keadaan darurat.
”Biar aku menemui rakyatku untuk terakhir kali,” tukas Tuan Presiden tanpa ragu.
Suara-suara di luar terdengar tidak begitu mengenakkan dan memecah kesunyian istana dalam sepekan ini.
”Bakar istana! Bunuh Tuan Presiden! Hancurkan mereka yang menghancurkan rakyat!” Suara-suara rakyat memekik. Tentara militer yang dikerahkan pun serasa tak mampu membendung kekuatan massa yang begitu besar. Celakanya, di belakang mereka ada sebagian pasukan yang mendukung gerakan rakyat. Mereka mungkin saja datang dari berbagai pelosok negeri.
Rakyat sangat marah. Istana telah dikepung dari berbagai penjuru. Dan hal itu, ia saksikan langsung pada hari ini. Lontaran kebencian, makian, dan cacian ditujukan kepadanya, saat ia baru saja memunculkan wajah di depan rakyatnya.
Tuan Presiden tampak tenang. Ia berikan sunggingan senyumnya yang khas disertai dengan lambaian tangan. Ia berdiri di atas mimbar sebagaimana biasa seperti saat ia menyampaikan pidato kenegaraan. Militer bersiap siaga di sekeliling istana. Waspada terhadap segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
”Rakyatku yang saya cintai...,” belum selesai Tuan Presiden menyelesaikan kalimatnya, rakyat memotong dengan makian.
”Cinta? Cuih.... Jangan lagi kau bodohi kami dengan pidatomu yang sok peduli itu. Pada kenyataannya kau tak pernah peduli kepada kami. Kau hanya mementingkan isi perutmu dan isi perut keluargamu.” Suara itu lantang menyerang.
Namun, Tuan Presiden masih tampak begitu tenang.
Tiba-tiba sebuah mobil datang membelah kerumunan. Orang-orang pun memberikan jalan karena mereka sudah tahu siapa yang berada di dalam mobil itu. Militer mengacungkan senjata ke arahnya. Bersiap siaga. Mobil itu berhenti hanya sekitar dua puluh langkah di depan mimbar Tuan Presiden. Pintu mobil terbuka. Sepasang kaki menginjak tanah. Tak kalah dengan apa yang dilakukan Tuan Presiden, seorang pria langsung melambaikan senyuman dan memberikan seulas senyum. Rakyat bersorak sorai, gegap gempita menyambutnya.
”Hidup Tuan Jenderal! Hidup Tuan Jenderal!” Teriakan rakyat mengelukannya.
Tuan Presiden menghentikan pidato. Ia memberikan jeda pada Tuan Jenderal yang sedang menikmati eluan rakyat. Ternyata kabar tentang Tuan Jenderal yang hendak menggulingkan pemerintahan bukan isapan jempol semata. Ia sekarang berdiri di sini, di depan istana negara. Dan berada di garda terdepan perlawanan rakyat. Selama ini Tuan Presiden belum memercayai desas-desus yang beredar. Saat melihatnya langsung pada hari ini, mau tidak mau dia harus percaya.
***
Jenderal sedang berada di ruangan khusus Tuan Presiden. Wajahnya menunduk. Meski ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya, tetapi Tuan Presiden seperti sudah mengembus apa yang hendak ia sampaikan.
”Jadi misimu gagal?” Tuan Presiden tak berbasa-basi. Langsung menusuk ke inti persoalan.
”Tuan Presiden, rakyat melawan. Meski senjata kami lebih canggih, tetapi mereka lebih menguasai medan. Awalnya, kami sudah berusaha menggunakan jalan damai, tetapi mereka menolak. Seperti yang sudah Tuan Presiden perintahkan, jika warga menolak, kami harus menggunakan kekerasan. Mereka menggunakan panah beracun untuk menyerang bagian-bagian vital tubuh kami. Mereka lebih gesit dari monyet. Meriam, granat, dan senapan yang kami gunakan seperti tak berguna di sana. Kami tak bisa mengejar.
Gerakan mereka pun sangat cekatan dalam pertarungan satu lawan satu. Meski yang saya bawa adalah pasukan terlatih, pada kenyataannya kami tak bisa berbuat banyak di sana. Saya tak ingin jatuh korban lebih banyak. Maka saya menarik mundur pasukan.” Jenderal berusaha menjelaskan semuanya sebaik mungkin.
”Jenderal....” Tuan Presiden berdiri dari tempat duduknya.
”Iya Tuan.” Jenderal berusaha menatap semantap mungkin orang nomor satu di negeri itu yang duduk dengan tenang di hadapannya.
”Jenderal tahu, meski di sana berupa rawa-rawa, tetapi kekayaan alam di sana sangat luar biasa. Terutama minyak bumi. Jenderal tahu itu kan?” Mata Tuan Presiden terus mengamati Jenderal.
”Tahu Tuan....” Jenderal tak bisa berkata lebih banyak.
”Dan tentu selama kita bekerja sama, tentu Jenderal juga tahu, negeri ini tidak memiliki tempat untuk mereka yang gagal. Kami biasa menyebut mereka sebagai pecundang. Dan pecundang harus dimusnahkan,” tegas Tuan Presiden.
”Tetapi, bukankah selama saya menjalankan misi, baru sekali ini saya gagal menjalankan sebuah misi? Jika Tuan Presiden masih memberikan kesempatan lagi kepada saya, tentu saya akan berusaha sebaik mungkin dalam menjalankan misi.” Jenderal melakukan pembelaan.
”Jenderal.... Saya tidak pernah memberi kesempatan kepada mereka yang gagal. Apalagi untuk misi sebesar ini....” Suara itu terdengar dalam. Menyentak. Tuan Presiden memencet tombol keamanan yang berada di mejanya untuk memanggil pasukan.
Tanpa menunggu lama, Jenderal langsung mengambil ancang-ancang untuk pergi. Dua orang petugas keamanan Presiden yang berjaga di depan ruangan itu segera masuk dan mengacungkan pistol. Jenderal berjumpalitan ke sana kemari menghindari tembakan. Dengan gesit dan cekatan, meski dengan bersusah payah, ia berhasil keluar dari ruangan Tuan Presiden. Desing peluru menyambutnya saat ia baru saja keluar ruangan. Ia mengelak. Terus berlindung. Beberapa peluru memang mengenai dada dan punggungnya. Namun beruntung, rompi antipeluru melindungi dirinya dari kematian. Ia pun menembak sebuah kaca jendela. Begitu kaca itu pecah, ia langsung menabrakkan diri ke arah jendela. Ia juga tak memikirkan, bagaimana nanti tubuhnya mendarat. Yang ia tahu dan yang ia ingat, matanya gelap saat jatuh dari ketinggian. Dan saat sadar, dia sudah tidak lagi berada di istana kepresidenan. Dia diselamatkan para pengikut setianya.
***
Setelah sadar, Jenderal langsung menyatu dan hidup bersama rakyat. Menceritakan kepada rakyat betapa Tuan Presiden adalah pemimpin yang korup. Menggali kekayaan alam negeri untuk kepentingannya sendiri, keluarganya, dan kelompoknya tanpa sedikit pun memikirkan kesejahteraan rakyat.
”Aku keluar dari militer karena tak mungkin aku bermusuhan dengan rakyatku sendiri. Tak mungkin aku membunuh mereka. Bertentangan dengan hati nurani. Aku ingin berjuang bersama kalian. Jika kalian tidak bersatu, sulit untuk menumbangkan pemerintah saat ini. Hidup kalian akan terus mengalami kesusahan selama Tuan Presiden berkuasa.” Suara yang ia gaungkan di tengah-tengah kehidupannya bersama rakyat.
Dari desa ke desa, bahkan sampai ke pelosok sekalipun ia datangi. Jenderal berusaha menggalang kekuatan yang sebesar-besarnya untuk menumbangkan kekuasaan Tuan Presiden.
”Jika kalian tidak segera berusaha untuk menjatuhkan Tuan Presiden, maka hanya tinggal menunggu waktu, desa kalian yang memiliki kekayaan alam tak terbatas akan direbut paksa. Jika mereka berhasil, kalian akan kehilangan tempat tinggal. Anak-anak kalian tidak memiliki tempat untuk tumbuh. Berjuanglah bersamaku, tumbangkan Tuan Presiden yang merampas kekayaan rakyat untuk kepentingannya sendiri.” Suara itu cukup ampuh untuk mengajak mereka bergabung bersamanya.
Massa telah berkumpul. Maka Jenderal pun mengajak mereka mengepung istana. Mereka—para militer yang masih setia kepadanya—dipercayakan menjadi tameng seandainya Tuan Presiden unjuk kekuatan.
***
Kalau saja Tuan Jenderal memerintahkan rakyat, atau orang yang masih patuh kepadanya untuk menembak kepala Tuan Presiden, tentu bukanlah sebuah perkara yang sulit. Namun ia tidak mau Tuan Presiden mati begitu saja. Ia harus menerima hukuman yang pantas.
Dua mobil datang. Sekompi pasukan keluar. Mereka mengacungkan senjata ke arah Tuan Presiden.
”Gantung Tuan Presiden!” teriak salah seorang warga.
Militer pun sampai bingung apa yang harus mereka perbuat. Tuan Presiden akhirnya memberikan isyarat kepada militer untuk tidak mengambil tindakan apa pun. Ia menyerahkan diri. Pasukan yang mendukung kudeta ini langsung mengamankannya. Ia dimasukkan ke dalam mobil.
”Bunuh! Bakar! Gantung!” Suara rakyat menggema memekakkan.
Tuan Jenderal naik ke podium. Matanya memandang semua pendukung dan orang-orang yang senantiasa mengelukannya. Tarikan napasnya begitu ringan, seulas senyum terkembang di bibirnya.
”Rakyatku yang saya cintai. Kita tentu sudah sangat lama menanti saat-saat seperti ini. Pemimpin korup telah tumbang. Mulai hari ini, kita akan memulai era baru. Kesejahteraan rakyat adalah hal yang harus menjadi prioritas utama bagi pemimpin yang akan kalian tunjuk nanti. Saya serahkan kepemimpinan negeri ini, kepada siapa pun yang merasa mampu untuk memimpin.” Tuan Jenderal membuka pidatonya.
Hening sesaat.
”Hidup Tuan Jenderal! Hidup Tuan Jenderal! Tuan Jenderal adalah pemimpin kami.” teriak salah seorang warga.
”Benar! Tuan Jenderal adalah pemimpin kami! Tidak ada yang mampu menggantikan kepemimpinan Tuan Jenderal di hati kami,” sahut yang lain.
Tuan Jenderal tersenyum.
”Baiklah. Jika itu adalah keinginan rakyat, maka saya tidak menolak. Sekarang pulanglah. Tidurlah yang nyenyak. Karena setelah ini tidak akan ada lagi perampasan hak rakyat untuk penguasa.” Tuan Jenderal tersenyum puas.
***
Pagi harinya, Tuan Presiden disalib di depan istana. Baju kebesarannya tidak dilepas. Seluruh media nasional meliput. Rakyat yang melihatnya memaki. Hukuman yang pantas menurut mereka setelah apa yang ia lakukan selama ini.
Di istana kepresidenan, Tuan Jenderal mengumpulkan semua pemimpin militer.
”Mari, kita hancurkan para pembangkang. Mereka yang menolak desanya, atau tanahnya untuk negara, bumi hanguskan. Hancurkan!” perintah Tuan Jenderal.
”Siap Tuan!!!” jawab para komandan serempak.
***
Ciputat, 3 Maret 2019
Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Beralamat di Pati. Saat ini aktif di komunitas Forum Lingkar Pena cabang Ciputat dan komunitas Prosatujuh.