Anjing Marlon
Anjing itu menengok, menjulurkan lidahnya. Sekarang aku berpikir Marlon bukan berubah jadi seorang spiritualis, melainkan jadi seorang yang sempurna gila.
Aku bertemu Marlon saat sedang melihat-lihat burung di pasar yang letaknya bersebelahan dengan kantor pos tua yang kalau malam areal belakangnya dijadikan arena judi. Marlon tidak melihatku, aku melihat Marlon. Dia baru keluar dari kantor pos. Aku menyeru namanya. Dia menengok. Di mataku kelihatannya Marlon enggan bertukar sapa. Tetapi kukejar dia, seperti seorang alim mengejar pahala. Karena pasar ramai dan pergerakan orang jadi tersendat aku segera bisa menyusulnya.
Dia mengenakan kaus bergambar sampul album Megadeth, celana gombrong, dan sandal karet. Aku mengenakan kaus kuning bergambar iklan balsam, celana pendek, dan sepatu olahraga. Aku mau bicara tapi Marlon sudah bicara duluan. Dia bilang, “Saya sedang buru-buru. Kita ngobrol nanti saja.” Aku memegang lengannya dan melempar tanya, “Kamu tinggal di mana sekarang?”
Marlon celingak-celinguk, seperti takut ada orang lain yang mengenalinya. “Aku tinggal di belakang,” jawabnya sambil dagunya bergerak menunjuk arah. “Oh, ya? Aku sering ke pasar tapi tak pernah melihatmu.”
Marlon terlihat kikuk, ingin cepat-cepat pergi. “Aku mau ke rumahmu. Boleh?” Kupikir dia pasti menolak. Seperti yang dikatakannya tadi, dia sedang buru-buru. Tetapi setelah beberapa saat, dia bilang, “Ayo!”
Sekarang aku yang kikuk. Tadi aku cuma basa-basi, tapi karena sudah telanjur, kami pun berjalan. Marlon di depan, aku di belakang. Kami masuk gang di samping kantor pos. Beberapa pria bermuka kusut memerhatikan kami sampai lenyap di mulut gang.
Gang itu bau pesing, sepertinya semua orang kencing di sana. Aku menahan napas sampai di depan pintu rumah Marlon.
Pintu itu sungguh aneh. Terdiri dari berbagai macam perkakas yang disusun hingga setinggi hampir dua meter. Aku perhatikan ada bekas gagang cangkul, setang sepeda, paralon, rangka payung, terali jendela, serta ban mobil di antara potongan-potongan kayu yang dipasak asal-asalan. Marlon menatapku yang masih menatap pintu. “Ada kawan yang mau datang, tapi tak apa-apa, kamu bisa berkenalan dengannya.”
Kami masuk. Meski amburadul, pintu itu kokoh juga. Tak terdengar suara derit ketika ia terbuka. Pemandangan di dalam beda sekali dengan pintu tadi. Tak ada satu pun perabotan di sana. Tembok putih bersih dan selembar karpet merah tergelar dengan ukuran yang sama persis dengan ruangan. Selain ruangan itu kelihatannya tak ada ruangan lain, setidaknya tak ada pintu yang menunjukkan ada ruangan lain. “Kamu tinggal di sini?” tanyaku. Kata Marlon, “Iya. Sengaja aku kosongkan, supaya bisa meditasi.”
Aku terlongo, sejak kapan Marlon tertarik pada meditasi. Rupanya penjara telah mengubah cara berpikirnya. “Ayo duduk,” lanjutnya. Kami duduk bersila. Ruangan hening seakan-akan kedap suara. Baru aku perhatikan, ternyata, tak kulihat pula ada jendela.
“Nanti kalau kawanku datang kamu tenang saja. Tak apa-apa kalau mau ikut dalam percakapan. Sambil menunggu, sekarang mari kita bermeditasi.”
Brengsek. Aku menyesal dan merasa terjebak. Tak kusangka Marlon berubah demikian rupa; dari penyanyi metal ke seorang yang dipenuhi asap spiritual. Padahal dulu kami sama-sama suka mabuk. Aku mau menghindar dari situasi ini tapi pikiranku tak bisa menemukan jalan keluar. Sembari menunggu cahaya pencerahan, aku ikuti saja permintaan Marlon. Aku lihat dia bersila di tepi karpet persis bersebarangan denganku. Di belakangku pintu aneh tadi berdiri seperti seorang penjaga, sementara di belakang Marlon tembok putih bersih memberikan efek seakan-akan ada kekosongan yang menjadi latar belakang meditasinya.
Marlon memejam mata, aku mau ikut memejam tapi masih diserang risau. Tak perlukah terlebih dulu aku ganti baju? Apa yang kukenakan sepertinya tak pantas untuk suatu ritual. Namun, melihat Marlon juga tak mengganti baju, aku pun mulai memejamkan mata. Aku berusaha berpikir untuk tak berpikir, sebagaimana saran yang pernah secara tak sengaja kudengar dari seorang ahli meditasi.
Kemudian aku tertidur.
Ketika terjaga dan membuka mata, di depanku Marlon sedang berhadap-hadapan dengan seekor anjing.
“Kau sudah selesai rupanya,” kata Marlon saat melihatku bergerak bangkit. Lalu lanjutnya, “Ini kawanku yang kubilang tadi. Ia datang dari jauh.”
Anjing itu menengok, menjulurkan lidahnya. Sekarang aku berpikir Marlon bukan berubah jadi seorang spiritualis, melainkan jadi seorang yang sempurna gila. Masa bodoh dengan kata-katanya, aku segera berbalik menuju pintu. Hendak kubuka tapi pintu tak punya gagang. Kutarik potongan kayu paling besar yang melintang, tapi pintu tak juga terbuka. Aku berpaling ke Marlon. “Tolong bukakan,” kataku. Marlon berdiri menghampiri. Aku sedikit cemas, jangan-jangan dia mau membunuhku. Dengan sebelah tangan dia menarik potongan kayu yang tadi kutarik, dan pintu pun terbuka. Aku keluar tanpa pamit. Setengah berlari menyusuri gang yang berbau pesing. Hendak kutahan napas, tapi aku sadar kalau bau pesing tadi sudah tak ada lagi.
Selama beberapa hari setelah itu aku nyaris tak bisa tidur. Mungkin tepatnya tak berani tidur. Aku takut ketika terjaga sudah berada di rumah Marlon. Kuputuskan meninggalkan rumah sewa dan pulang ke rumah peninggalan orangtuaku di sebuah gili kecil yang terpisah dari pulau tempatku hidup beberapa tahun belakangan. Dengan menumpang feri kecil aku tiba di gili dan langsung menuju rumah yang kumaksud. Ada satu hal yang berubah dari gili itu. Semula banyak anjing berkeliaran, tapi sekarang tak satu pun kulihat ada anjing. Ketika kutanyakan hal itu, seorang tetangga menjawab baru-baru ini ada operasi pemberantasan rabies. Anjing-anjing liar ditangkap, dikurung dalam kandang, kemudian dibawa ke pulau. Anjing milik tetanggaku itu bahkan nyaris juga ditangkap. Untung dia segera melihat, dan setelah menghitung beberapa lembar uang, anjing itu pun dibebaskan.
Hari pertama di gili aku tidur nyenyak. Ketika terjaga betapa lega rasanya mengetahui aku tak berada di rumah Marlon. Hari kedua tidurku lebih nyenyak dan lebih lama. Hari ketiga begitu juga. Hari keempat seseorang mengetuk pintu rumahku. Rupanya dia adalah petugas pos. Selembar amplop diserahkannya. Tak ada nama pengirim. Di dalam amplop ada selembar kertas. Ketika kubuka tampaklah gambar seekor anjing yang dikerjakan dengan serampangan. Kuperhatikan gambar itu yang sebetulnya terdiri dari berbagai huruf, tanda baca, dan simbol yang disusun menyerupai sosok anjing. Segurat tanda tangan di bagian bawah gambar dan sebaris nama. Selain itu tak ada pesan apa-apa.
Brengsek. Apa maksud Marlon mengirim gambar anjing padaku. Kuletakkan gambar itu di meja, lantas kuambil kertas, dan pensil. Kususun ulang huruf, tanda baca, dan simbol di dalamnya. Tetapi tak kutemukan susunan pesan apapun. Semuanya acak. Itu semua membuat bayangan Marlon dan anjingnya terasa mengerikan. Aku seperti menghadapi teror.
Baca juga : Perempuan Tua di Rumah Panggung
Karena tak ada yang bisa kulakukan, aku putuskan berjalan-jalan. Aku kenakan sandal karet, kaus bergambar sampul album Megadeth, dan celana gombrong. Pemandangan laut segera terpampang di depan ketika aku mulai melangkah. Udara bergaram terasa lengket di kulit. Rupanya ada satu hal lagi yang berubah dari gili ini; sekarang semakin ramai para pedagang menggelar barang-barangnya di tepi pantai. Selain pedagang manik-manik dan kain pantai, sekarang terlihat juga pedagang alat-alat pertanian, sepeda, bahan bangunan, payung, kusen jendela, dan aneka ban. Ada juga pedagang burung. Aku berhenti sejenak di depannya, memerhatikan burung-burung. Sepertinya pedagang burung ini yang paling ramai dikunjungi. Di antara kaki orang-orang yang berdiri, aku lihat seekor anjing mengendus-endus sambil berlari-lari kecil lalu berbaring agak jauh dari keramaian. Sepertinya itu anjing milik tetanggaku yang nyaris tertangkap petugas pemberantas rabies. Apakah ia senang menjadi satu-satunya anjing di gili ini? Aku teringat lagi pada Marlon, rasa ngeri menelusup dalam diriku. Rasa ngeri yang pelan-pelan berubah jadi rasa benci.
Kuputuskan mendekati anjing yang sedang tidur-tiduran itu untuk kutendang. Enak sekali ia, di bawah pohon ketapang, menelentang seperti turis banyak uang. Sepertinya menyenangkan jika kakiku menghajar dagunya. Suara dari moncong yang kesakitan bakal terdengar seperti suara penyanyi band metal. Ah, band metal. Kenapa aku harus membayangkan band metal, itu bikin aku ingat lagi pada Marlon. Dia pernah jadi penyanyi band metal yang bubar setelah Marlon masuk penjara karena ketahuan menjual ganja. Ingatan pada Marlon bikin aku ragu-ragu menendang anjing. Aku kasihan pada Marlon karena Marlon sering kasihan padaku. Dia sering membawakan aku makanan; kadang karena aku minta, kadang tanpa kuminta. Maka ketika Marlon masuk penjara aku berusaha membebaskanya dengan cara mempelajari kitab undang-undang. Hasilnya Marlon memang bebas, setidaknya dia tidak lama mendekam di bui, tetapi itu bukan karena aku mempelajari kitab undang-undang, melainkan karena orangtuanya menjual rumah mereka, dan juga karena yang membeli rumah itu adalah orangtuaku.
Diserang oleh rasa kasihan, aku menjauh dari pedagang burung dan mendekat ke anjing yang sedang tertidur. Agar anjing itu tidak terkinjat, hati-hati aku duduk di dekatnya. Aku bersila dan memejamkan mata. Aku berharap tertidur dan ketika terjaga Marlon sudah ada di depanku.***
Mataram, 15 Mei 2021
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).