Sihir Keluarga
Orang-orang yang mendengarkan mantra A Ma itu segera menyingkir. Mereka takut kalau sesuatu hal buruk menimpa. Si pedagang sendiri melihat perangai ganjil A Ma yang lebih mirip sebagai juru sihir daripada pembeli.
Pada ulang tahunku ketujuh belas, sebagai salah satu nu’er[1] di rumah, aku bukannya mendapatkan pesta atau hadiah seperti pada umumnya anak remaja, tapi aku malah mendapatkan sesuatu yang tidak masuk akal dari A Ma[2], yaitu meracik sihir dalam hidang yusheng[3] yang sangat legendaris bagi keluarga. Pagi itu A Ma mengajakku ke Pasar Niten untuk membeli bahan-bahan yang akan dipakainya dalam hidangan yusheng. A Ma pun tampak hati-hati memperlakukan bahan-bahan masakannya seakan di dalamnya dihuni oleh dewa Zhao Gong Ming[4].
Selain itu, A Ma benar-benar menggunakan matanya secara jeli untuk memilih wortel, lobak hijau, lobak putih, timun, jahe, serta jeruk. Ketelitian A Ma itu lebih tampak sebagai gelagat aneh yang membuat orang curiga—karena kadang A Ma sampai membaui setiap sayuran yang dibelinya layaknya seekor feihu[5] di hutan. Dengan penciuman tajamnya, A Ma seolah memastikan apakah sayur di genggamannya itu bersemayam roh baik atau buruk. Bila sayur yang dipilihnya menguarkan aroma tak sedap, A Ma segera melafalkan mantra pengusir roh dengan cukup keras.
”Choi ton cung ali, jiu ton cang pun nyi,” desis A Ma seraya meletakkannya.
Orang-orang yang mendengarkan mantra A Ma itu segera menyingkir. Mereka takut kalau sesuatu hal buruk menimpa. Sementara bagi si pedagang sendiri, yang melihat perangai ganjil A Ma yang lebih mirip sebagai juru sihir daripada pembeli, segera menegurnya.
”Sebenarnya kau ingin membeli atau mengguna-gunai jualanku!” pekik si penjual.
”Maaf,” A Ma merasa bersalah. ”Saya hanya ingin mengusir roh jahat dalam sayuran ini.”
Perdebatan antara A Ma dan si penjual sayur akhirnya menarik perhatian orang di sana. Bila sudah demikian, aku segera meminta A Ma untuk meninggalkan tempat tersebut.
”Bisa tidak kalau beli sayurnya yang wajar-wajar saja, Ma,” gumamku pada A Ma. ”Orang-orang malah melihat kita sebagai pengganggu.”
”Jangan pedulikan mereka,” kata A Ma. ”Aku bersikap seperti ini demi kebaikan keluarga. Kau tahu, roh jahat sering bersembunyi pada bahan-bahan makanan kita. Makanya kita sering berbuat jahat dan mudah sakit.”
Aku mendengarkan seluruh petuah A Ma mengenai pembenaran tingkah anehnya tersebut. Karena tidak mau berdebat, aku mengiyakan begitu saja apa-apa yang dikatakannya. Cuma aku mendadak menjadi penasaran mengenai sajian yusheng yang selalu menjadi menu kalis keluarga itu. Kami bahkan menganggap kalau hidangan tersebut bertuah.
”Sejak kapan kita menyantap yusheng sebagai menu yang begitu suci di rumah, Ma?” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, A Ma mengerling dengan senyumnya yang penuh rahasia. Hanya saja dari sudut matanya, aku melihat sebuah kisah panjang mengenai hikayat makanan tersebut. Syahdan, seperti yang aku duga, A Ma menjelaskan kisah-kisah ajaib hidangan yusheng dalam keluarga.
”Kau ingat dahulu pernah demam tinggi dan dokter tidak bisa menyelamatkanmu?” A Ma mengingatkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan yusheng. ”Makan inilah yang menyelamatkanmu.”
Dahulu, aku memang pernah hampir mati terkena serangan demam tinggi hingga tiga minggu. Dokter yang memeriksa kebingungan saat mendiagnosis penyakit tersebut. Obat-obatan yang diberikannya bahkan tidak berguna. A Ma—atas saran Pho Pho—kemudian membuatkan hidangan yusheng untuk kumakan. Benar saja, setelah memakannya, secara perlahan demamku turun.
Selain mengisahkan peristiwa masa kecil, A Ma juga menceritakan suatu hal yang terjadi pada Pho Pho. Pho Pho juga pernah mengalami hal genting seperti diriku. Tapi yang terjadi pada Pho Pho lebih aneh dan tidak masuk akal. Karena hampir setiap malam, seluruh tubuh Pho Pho kedinginan. Wajah Pho Pho menjadi pucat bila penyakit aneh itu datang. Pho Pho bahkan sering bertingkah seperti seekor ikan—menggelepar-gelepar serta mengap-mengap kesakitan. Hanya saja setelah dibuatkan yusheng, Pho Pho sehat kembali
”Apa yang terjadi padamu dan Pho Pho dahulu sebenarnya bukan karena sakit biasa. Tapi kalian diserang oleh roh jahat. Jadi setelah kalian memakan yusheng, roh-roh jahat itu pergi dari tubuh kalian,” jelas A Ma kepadaku. ”Tapi khasiat yusheng bagi keluarga kita tidak hanya itu saja. Kau tahu, makanan keluarga ini akan memberikan umur panjang bagi siapa saja yang menyantapnya.”
”Umur panjang?” tanyaku heran.
”Mengapa Pho Pho dan Kung Kung bisa begitu sehat hingga sekarang?” lanjut A Ma dengan wajah serius. ”Karena Pho Pho dan Kung Kung tetap menjaga warisan untuk menyantap hidangan yusheng dari para leluhur. Makan ini adalah warisan keluarga secara turun-temurun.”
”Tapi, itu, kan, tidak bisa dijadikan titik tolok, Ma,” aku menyanggah.
”Kau betul,” tambah A Ma mempertajam seringainya. ”Hanya ada yang berbeda dalam hidangan yusheng keluarga kita. Di dalam hidangan ini ada bumbu ajaib yang hanya keluarga kita yang tahu.”
Aku tidak menghiraukan kisah tak masuk akal A Ma. Aku juga hanya berpikir secara selintas riwayat umur panjang Pho Pho serta Kung Kung yang diklaim oleh A Ma berasal dari hidangan yusheng. Karena bagiku, mungkin hal itu terjadi berkat mereka suka menyantap makanan alami dan sehat sejak muda.
Tapi A Ma terlihat tidak puas dengan penjelasannya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu yang sangat sulit dijelaskan kepada seorang wanita umur tujuh belas sepertiku.
”Jadi karena sekarang umurmu sudah menginjak tujuh belas,” tegas A Ma. ”Aku akan mengajarkanmu cara membuat bumbu ajaib itu.”
”Terserah apa pun yang A Ma katakan deh,” aku mengangkat kedua bahuku.
Aku benar-benar berpikir kalau A Ma sedang membual. Tapi tatapan A Ma mengandung sesuatu yang membuatku bergidik pagi itu.
Setelah mendapatkan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bumbu ajaib, A Ma bergegas pulang. Sesampainya di rumah, aku diajak oleh A Ma ke dapur dengan pintu yang dikunci rapat. A Ma sengaja melakukan hal itu agar roh jahat tidak masuk ke dapur mengganggunya. Menyadari perangai A Ma ini, aku lantas teringat dengan peristiwa semasa kecil dahulu.
Demikianlah sejak dahulu A Ma selalu melarangku mendekat ke dapur bila dirinya sedang membuat hidangan yusheng. A Ma acap bilang kalau usiaku belum cukup dewasa untuk melakukan hal-hal yang dikerjakannya di sana.
”Para roh jahat menyukai anak kecil,” kata A Ma. ”Kau hanya mengundang mereka untuk menggangguku memasak. Jadi kau lebih baik belajar saja, karena roh jahat tidak suka dengan anak-anak pintar.”
Kalau sudah begitu, aku akan merengek agar dibolehkan masuk. Sialnya, A Ma tetap tidak mengizinkanku. Tapi kini ketika usiaku sudah dianggap cukup untuk melihat apa yang dilakukan oleh A Ma di dapur, aku benar-benar dibuatnya tercengengan. A Ma gesit menyiapkan benda-benda yang diperlukan untuk meracik sihirnya. Aku bahkan seperti melihat kalau A Ma memiliki seribu tangan layaknya sosok suci Guan Yin.
Ya, A Ma memulai racikan sihirnya dengan memotong tipis-tipis ubi secara lembut dan teratur. Setelahnya ubi itu digoreng dengan minyak sayur keluarga yang terbuat dari fermentasi bawang putih yang telah dibacakan mantra pengusir roh oleh A Ma.
”Kau jangan pernah gunakan api besar bila menggoreng sesuatu. Aroma api bisa mengundang roh jahat datang. Mereka sering usil menyantap makanan kita sebelum matang. Jadi apabila kau memasak tidak enak, karena mereka telah mengganggu makananmu,” jelas A Ma. ”Bantu aku potong wortel dan lobak itu, ya.”
Aku mengangguk dan mencoba mengupas wortel yang telah disediakan A Ma. Namun, tanganku tidak seterampil tangan A Ma. Aku sangat terbata-bata ketika mengupas dan merajangnya. Sementara A Ma terlihat begitu ahli dengan pisaunya. Aku bahkan melihat dengan jelas ada sosok kasat Dewa Zao Jun[6] yang menuntun tangan A Ma saat mengiris lobak hijau dan putih di meja.
”Sebisa mungkin setiap potongan yang kau lakukan harus dengan perasaan,” imbau A Ma. ”Jadi kau bisa merasakan setiap irisannya dan tak perlu takut tanganmu teriris. Dengan memasak menggunakan hati, keberuntungan dalam makanan akan terbagi baik. Tapi yang penting, kau harus menaruh harapanmu pada setiap makanan yang kau olah. Karena itulah makanan bisa menjadi berkat hidup panjang.”
Aku mencoba mengikuti saran A Ma. Benar saja. Aku mulai bisa fokus mengiris dengan benar. Tapi yang lebih mencengangkan, aku melihat terdapat sepasang mata kasat yang menuntun tanganku untuk bergerak secara teratur.
”Kau jangan kaget bila kau melihat sepasang mata di tanganmu,” ungkap A Ma tersenyum. ”Itu adalah mata cinta.”
”Mata cinta?” Aku bingung.
”Itu adalah mata Dewa Zou Jun,” lanjut A Ma. ”Hatimu telah diberkati olehnya, hingga makananmu akan penuh dengan cinta dan harapan dari segala kebaikan dunia.”
Setelah semua yang diperlukan beres, A Ma segera menatanya. Sayur-sayuran yang sudah dibuat sebelumnya langsung diletakkan dengan ubi goreng rajang tipis di piring. Di piring lain berisi potongan ikan dan mangkuk-mangkuk kecil saus. Dan sekali lagi, A Ma memercikkan minyak bawang yang telah dibacakannya mantra pengusir roh. Sebuah cahaya terang tiba-tiba muncul dari piring besar itu. Aku juga melihat perwujudan Dewi Guan Yin muncul dari tengah-tengah hidangan.
A Ma menyuruhku menghidangkan seluruh masakan pada meja bundar di ruang tengah. Malam nanti kami ingin merayakan hari ulang tahun leluhur kami yang ke-100, serta ulang tahunku yang ke-17. Begitulah kain berwarna merah dibentang menangkupi latar meja. A Ma juga menyuruhku menambahkan empat kursi kosong bagi leluhurku. Setelah semua selesai, malam harinya, seluruh anggota keluarga berkumpul. Kung Kung[7] dan Pho Pho datang mengikuti pesta makan malam itu.
”Gong xi fa cai,” ucap Kung Kung layaknya merayakan pesta malam Imlek padahal perayaan itu masih cukup lama datang. ”Wan shi ru yi.”
Orang-orang di meja segera mengikuti apa yang dikatakan oleh Kung Kung. Setelah itu mendadak empat kursi kosong di samping Pho Pho dan Kung Kung bergerak. Aku pun secara samar melihat empat sosok tua kasat tersenyum ramah ke arahku. Aku sempat bergidik dan ingin lari melihat itu. Tapi tangan A Ma cepat menenangkan.
”Mereka adalah roh leluhurmu,” jelas A Ma. ”Kau tidak perlu takut.”
A Pa[8] segera memeras jeruk nipis pada irisan ikan tuna yang sudah aku dan A Ma beli di pasar. Sambil menggencet jeruk nipis itu, A Pa mengucapkan kalimat pendek: da ji da li[9]. Selain menyerpihkan cairan jeruk tersebut, A Pa tidak lupa menaburkan merica pada potongan daging tuna mentah tersebut. Seperti sebelumnya, A Pa tidak luput mengucapkan, zhao cai jin bao[10]—yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga.
Dahulu, aku sempat bingung, mengapa perayaan aneh ini acap dilakukan? Apalagi ketika itu aku tidak tahu bahwa kursi kosong yang sering disediakan pada saat upacara terdapat roh leluhur yang datang. Aku ketika itu benar-benar tidak bisa melihatnya. Tapi untungnya A Ma dengan sabar menjelaskan kalau prosesi tersebut adalah upaya meminta keberuntungan kepada Huang Cai Shen[11] melalui perantara roh leluhur.
”Kita harus terus berharap pada masa depan,” kata Kung Kung menyela lamunanku. ”Harapanlah yang membuat kita terus hidup panjang hingga hari ini.”
Malam itu, aku takzim melihat seluruh keharmonisan prosesi makan malam keluarga. Apalagi, setelah yusheng jadi dan minyak sayur yang telah dibacakan mantra pengusir roh jahat dituangkan; secara spontan kami mengucapkan yu ben wan li. Kami kemudian menyantapnya dengan berharap agar kebahagiaan dan umur panjang terus melimpah bagi kami.
Demikianlah seluruh sendok dan garpu pun mulai berdenting beradu di atas meja. Termasuk sendok dan garpu pada kursi kosong yang kini diduduki oleh roh-roh leluhurku.
[1] Nu’er, anak perempuan
[2] A Ma, ibu
[3] Yusheng, merupakan salad ikan segar. Hidangan ini dipercaya akan membawa umur panjang bagi siapa saja yang menyantapnya
[4] Dewa Zhao Gong Ming, dewa pembawa kabar baik
[5] Feihu, kelelawar
[6] Dewa Zou Jun, dewa dapur dalam kepercayaan Tiongkok
[7] Kung Kung, kakek
[8] A Pa, bapak
[9] Da ji da li, doa khusus yang disebutkan ketika menyantap yusheng, artinya semoga kamu beruntung dan mendapatkan untung banyak
[10] Zhao cai jin bao, doa khusus yang disebutkan ketika menyantap yusheng, artinya semoga rumahmu dipenuh rezeki melimpah
[11] Huang Cai Shen, dewa kemakmuran
Risda Nur Widia adalah alumnus Pascasarjana PBSI UNY. Karyanya sudah dimuat berbagai media. Buku tunggalnya berjudul Berburu Buaya di Hindia Timur.
Didie Sri Widiyanto, mengawali karier sebagai ilustrator tahun 1988, lalu di media politik tahun 1993, dan sejak tahun 2003 bekerja sebagai kartunis di harian Kompas. Beberapa kali ia mendapatkan penghargaan di bidang kartun, ilustrasi, dan desain di beberapa kompetisi, baik nasional maupun internasional. Tahun 2019 finalis UOB Painting Award.