Janji
Dalam tangisnya ia sekali-kali berteriak, menyesali dirinya yang sungguh malang. ”Aku menyesal...!” teriaknya.
Dia terus menangis dari kamarnya. Tidak juga ia keluar untuk mengambil sedikit kebahagiaan lalu tersenyum. Pun tidak membiarkannya penghibur-penghibur datang ke dalam kamarnya untuk membawakan satu dua lelucon. Yang ia buat hanya benar-benar untuk menangis, dan menangis.
Dalam tangisnya ia sekali-kali berteriak, menyesali dirinya yang sungguh malang. ”Aku menyesal...!” teriaknya. Orang-orang yang menyaksikan insiden itu dari luar rumah sedikit merasa terharu. Mereka merasa terlarut dalam situasi yang sangat menyedihkan itu. Pun mereka tak tahu harus berbuat apa. Selain lotot menyaksikan pertunjukan yang diaktori oleh bayang-bayang.
Orang-orang dalam rumah itu juga serasa tak memedulikan situasi, atau mungkin bingung. Mereka berkali-kali mondar-mandir di depan pintu kamar, bukan juga untuk membuka pintunya, tapi malah menggaruk kepalanya masing-masing, yang entahlah sudah sejam gatalnya.
”Aku menyesal...!” teriaknya lagi-lagi. Kali ini suaranya lebih keras dari yang sebelumnya. Lantas banyak orang yang kaget. Namun tidak membuatnya berhenti menangis. Malah ia kembali lagi dalam tangisnya. Lalu menangis sejadi-jadinya.
Tak ada yang benar-benar tahu sampai kapan ia meratap dan menyesali dirinya.
***
”Hae, Tanta Sebet, pergi ke mana lagi itu si Om Nani?” tanya seorang anak muda di suatu pagi, yang entahlah ia merasa bingung dengan omnya yang pagi-pagi buta selalu keluar rumah dengan nae songke-nya yang selalu di-tengge salah. Entahlah, ke mana tak ada yang tahu.
”Katanya pergi cari obat untuk Pet, Nana,” jawab tantanya singkat.
Itulah pesan yang selalu diberikan suaminya tatkala ia keluar rumah pagi buta. Juga katanya obat itu hanya bisa diambil saat pagi buta. Dan hanya dia yang tahu. Katanya.
Anak muda tersebut merasa heran karena selama sepekan ini, ia selalu melihat omnya keluar rumah pada pagi buta dengan nae songke-nya yang itu-itu saja. Yang entahlah sebuah kebetulan atau tidak. Mungkin saja hanya sebuah kebetulan.
Ya, memang sepekan ini anaknya, Peter, menderita sakit yang tak tahu jenis apa. Tapi setidaknya jika menyentuh tubuhnya yang mungil itu, ada rasa panas yang dirasakan. Ia juga sering berbicara dan tertawa sendiri di tengah malam, tak tahu siapa yang mengajaknya berbicara dan membawanya lelucon. Itulah sebabnya, banyak orang yang tak tahu jenis sakit yang dideritanya itu.
Bahkan warga sekampung pun tak ada yang tahu. Tatkala mereka mendengar cerita tentang sakit yang diderita si Peter, mereka selalu heran dan sedikit menduga-duga. Ada yang mengatakan panas tinggi, asma, dan juga tak sedikit orang pun menduga itu sakit kampung.
Lantas tiap malam banyak anak muda yang datang nongkrong di depan teras rumah Tanta Teres, hanya untuk menjaga si Pet dari hal-hal yang tidak dinginkan, terutama dari ata mbeko yang menjadi bahan bicaraan tiap malam.
Biasanya mereka nongkrong sampai larut malam, juga karena mereka tidak hanya datang bercerita, tapi juga sambil minum tuak bakok dan judi kartu. Ya, hal yang paling mereka senang. Dan ketika waktunya untuk tidur, sebagian dari mereka pulang ke rumahnya masing-masing, sedangkan ada juga yang menginap.
***
”Tapi, sudah periksa ini Pet(kah)?” lagi tanya anak muda, setelah lama diam menyaksikan kepergian si Om Nani.
”Sudah, Nana. Tapi kata dokter, Pet tidak mengalami sakit apa-apa,” jelas tantanya sambil memasukkan tiga sendok gula ke dalam cangkir ukuran sedang.
”Mungkin ini yang mereka sebut dengan sakit kampung, Tanta?” ujar sang anak muda dengan suara yang sedikit hilang, tenggelam dalam batuknya. Mungkin karena debu dapur yang sangat tebal.
”Saya juga berpikir demikian, Nana. Tapi om-mu bilang jangan percaya itu sakit kampung. Bohong, katanya,” ujar sang tanta sambil memasukkan empat sendok kopi ke dalam cangkir yang sudah dituangi serpihan gula. Entah bagaimana hasilnya nanti. Tak peduli.
”Ya Tuhan, benar itu sakit kampung, Tanta. Masak Tanta tak percaya.”
”Saya percaya itu, Nana. Tapi om-mu itu tetap bersikeras,” ujar sang tanta sambil menuangkan air panas ke dalam cangkir tadi.
Tangannya terus mengaduk kopi dalam cangkir tersebut. Mengaduk sampai ia berhasil mendapat rasanya. Lalu sesaat tangan kanannya menuangkan kopi itu ke dalam berapa gelas yang sudah menanti aroma kopi.
Belum saja satu gelas terisi penuh. Tiba-tiba si Om Nani kembali lagi dengan napas yang sedikit kelihatan lelah. Rupanya ia habis lari dari jarak 100 meter.
”Ada apa, Om?” tanya sang anak muda, kaget atas kedatangannya.
”Ah, tidak ada, Nak. Tidak apa-apa. Kalian di sini baik-baik, kan?” tanyanya balik. Seakan-akan ada bahaya besar yang segera muncul.
”Baik-baik saja, Om,” jawab sang anak muda dengan sedikit heran. Ia merasa ada yang disembunyikan oleh omnya. Tapi sudahlah.
”Baiklah, bagaimana obatnya. Sudah dapat(kah)?”tanya sang istri. Berharap suaminya, Nani, memberikan obat yang dimaksud.
”Ya Tuhan, iya saya lupa. Ah!” sesalnya sambil memegang kepala.
”Ya Tuhan, Nani.... Kau pergi apa saja sampai-sampai kau lupa. Selama sepekan ini kau selalu keluar rumah, tapi tak ada hasilnya.”
Om Nani tak bersuara, barangkali merenung kesalahannya itu. Ia tak mampu berkata-kata, selain berusaha mengatur napasnya serileks mungkin. Sesaat situasi hening. Yang terdengar hanya suara rintihan si Pet dari dalam kamar.
”Baiklah kalau demikian. Kita bawa saja Pet ke ata mbeko. Barangkali ia nanti bisa disembuhkan,” ujar istrinya dengan sedikit rasa kesal, setelah lama hening.
”Ah, Teres, kau ini bisa-bisa saja, mana mungkin ata mbeko itu menyembuhkannya.”
”Om, lebih baik kita cobakan saja. Ayahku juga dulu disembuhkan oleh ata mbeko,” kata sang anak muda berusaha meyakinkan.
”Hei, itu beda sakitnya dengan yang dialami anakku,” jelas Om Nani.
”Tapi, Om....”
”Diam!”
”Tap....”
”Kubilang diam! Diam! Kau anak muda,” sambar Om Nani dengan sangat marah.
”Kau dengar! Kau baru dilahirkan kemarin. Jauh di bawah saya! Jadi jangan atur-atur saya.” Lagi jelasnya, dengan suara sedikit tinggi. Kali ini ia menggerakkan jari telunjuknya.
Ia sempat melayangkan tangannya untuk memukul anak muda yang baginya menyebalkan. Tapi sudahlah, ia tak mau membuat masalah baru. Toh anak muda itu juga telah banyak berbuat baik untuk keluarganya. Bayangkan saja, selama sepekan ini, ia tak pernah tidur di rumahnya. Itu hanya karena ia ingin memastikan teman kecilnya, si Pet, baik-baik saja.
”Hei! Teres, mengapa kau sangat percaya itu ata mbeko. Tidakkah kau percaya Tuhan?” tanyanya berusaha membenarkan diri.
”Kalian harus dengar ini, bahwa Tuhan sangat membenci ata mbeko. Jadi bagaimana mungkin Tuhan memberikan kuasanya ke tangan ata mbeko itu, untuk menyembuhkan orang seperti Pet ini,” tambahnya.
”Nani, kau ini bodoh sekali. Kita oebakan saja. Masakah kita membiarkan anak kandung kita menderita seperti ini,” ketus istrinya dengan sangat marah.
”Iya Om, masakan kita tidak berusaha mengobatinya. Saya sangat yakin Om, cepat atau lambat kalau kita seperti ini, pasti Pet mati pagi ini.”
”Hei! Bodoh! Diam kau! Jangan-jangan kau ingin membunuh anakku. Iya, benar saya sangat yakin. Pasti kau ingin membunuhnya, bukan? Kau tinggal lama-lama di sini pasti hanya untuk itu(kan)! Jawab!”
Om Nani rupanya sangat marah. Kali ini ia menampar anak muda tersebut. Namun sayang, ia tak berhasil meraih pipinya.
Lalu mereka kembali lagi dalam hening, tak ada yang bersuara. Lagi-lagi yang terdengar hanyalah suara rintihan si Pet yang tak dipedulikan.
”Ah, biar aku sekarang yang mengurus sakit si Pet. Kau Nani, tak usah ikut campur. Aku akan membawanya ke ata mbeko,” ujar sang istri kepada suaminya, Om Nani, setelah lama mereka tak bersuara.
”Ah... Teres, mana mungkin ata mbeko bisa menyembuhkannya. Jangan sampai, tatkala kau membawanya, ata mbeko lagi marah dan sedang tak ingin diganggu. Dan ketika kau membawa dan memaksanya untuk segera menyembuhkan, bisa saja ia marah dan malah membuat Pet makin menderita dan akhirnya nanti mati. Apakah kau nyaman kehilangan seseorang yang benar-benar kau cintai? Atau kau ingin membunuh anakmu sendiri?” jelas sang suami. Berusaha meyakinkan istrinya yang masih lotot untuk membawa Pet ke ata mbeko.
Mendengar penjelasan tersebut, sang istri dan anak muda tadi diam. Mereka mulai menggaruk kepala dan mencari solusi untuk mengatasi semuanya ini.
”Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya sang istri.
”Mari kita berpikir,” ajak suaminya.
Dalam hening mereka mulai berpikir. Hening. Benar-benar hening. Tak ada suara yang terdengar.
”Jadi pilihan kita sekarang hanya dua, ke ata mbeko atau ke rumah sakit?” tanya sang anak muda.
”Tidak mungkin kita bawa ke ata mbeko, bukan? Bagaimana kalau nanti ata mbeko-nya marah. Bisa bahaya, bukan?” ujar omnya.
”Hem! Kita bawakan saja ke rumah sakit,” ajak si Tanta Teres.
”Ah, masakan kita membawanya lagi ke rumah sakit, ini kali keenamnya kita bawakan Pet ke rumah sakit. Syukur jika kali ini dokter bisa mendapatkan sakitnya, kalau seperti sebelumya? Malu, bukan?”
”Hei! Nani, bisakah kau menerima sedikit usulan kami? Masakah kita benar-benar diam, tak peduli dengan derita yang dialami Pet ini.”
”Ah, baiklah kita bawakan saja sudah,” ujar sang suami dengan sedikit lirih.
”Baiklah, aku akan membicarakan ini kepada Pet. Dan kau Nani, kau yang urus ambulansnya.”
”Baiklah.”
Sesaat keduanya bergerak, menjalankan tugasnya masing-masing.
Sedangkan sang anak muda tadi hanya mematung. Nasibnya tak lagi dihiraukan. Sama seperti kopi pait dalam cangkir.
Ia menyaksikan om dan tantanya bergerak ke kamar. Yang satu ke kamar si Pet, sedangkan omnya menuju ke kamar pribadinya, barangkali mencari jaringan untuk menelepon petugas ambulans.
Tak lama ia mematung, tiba-tiba terdengar suara tangisan tantanya. Ia langsung berlari menuju suara tersebut, dan ia mendapatkan tantanya sedang meratapi mayat yang ada di depan matanya.
”Ya, Tuhan, mengapa secepat ini,” sesal sang anak muda yang menyaksikannya. Sedangkan sang ayah, dari dalam kamarnya, mengembus napas panjang. Merasa semuanya berakhir. Berhasil memberikan tumbalnya dengan bersih. Yang pada pagi buta tadi diminta oleh poti wolo dengan sangat marah, karena terlalau lama menepati janji.
____________________
Keterangan:
Nae songke: kain adat Manggarai
Tengge: memakai
Poti wolo: Malaikat pencabut nyawa
Pait: rasa pahit
Nana: panggilan untuk anak laki-laki
Ata mbeko: dukun
Tuak bakok: moke
Reinaldus K Mogu. Penulis adalah seorang pelajar kelahiran 19 Desember 2003, pernah meraih sertifikat juara lomba menulis cerpen tingkat SMA dalam rangka Hari Pendidikan Nasional. Penulis juga aktif menulis artikel dan puisi dalam berbagai perlombaan dan pernah menjadi juara dalam lomba menulis puisi bertema bebas yang diselenggarakan oleh Penerbit Jendela Sastra Indonesia.