Ido dan Laut
Dulu, Ido adalah anak yang ceria. Dibanding dengan kedua saudaranya, Ia adalah anak yang sangat akrab dengan ayahnya.
Ia duduk sendiri di tepi laut. Baginya desir ombak seakan nyanyian tak bernada. Dialah Ido seorang pelaut yang tangguh namun rapuh karena masa lalu. Saat ini usianya menginjak lima belas tahun. Ia tak seperti anak-anak pada umumnya, sangat senang dengan bermain dan bertemu teman baru. Ia adalah Ido yang selalu menutup diri dari orang-orang disekitar. Setiap sore ia akan duduk di atas ketapang sambil memandangi lautan. Lamunannya jauh menembus ujung samudera.
“…Ido, masuk nak. Sebentar lagi Maghrib…” lamunannya buyar oleh teriakan sang Ibu. Rumah mereka terletak di bibir pantai tak heran jika masyarakat di sini sangat akrab dengan laut.
Di tengah sedapnya santapan malam, Lauma ibu Ido menatap ketiga anaknya. Rasa haru tiba-tiba saja menghampiri dirinya melihat ketiga anaknya yang sangat lahap menyantap nasi jagung dan juga ikan kerapu bakar buatannya. Untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari dia berjualan nasi kuning ditemani oleh anak pertamanya bernama Musa. Ido adalah anak kedua dan anak yang terakhir bernama Lamma berumur dua tahun. Ketiganya adalah putra terhebat sang ibu. Saat makan malam selesai Lauma memulai pembicaraan.
“…Ido, bolehkah Ibu meminta sesuatu padamu nak?” Ido mengangkat kepalanya dan menatap sang Ibu. Ia tak berucap sepatah katapun namun dari gerak-gerik tubuhnya Ido seakan bertanya ada apa Ibu? Lauma menarik napasnya dalam-dalam,
“…Hmmm…Ibu harap kau tak usah lagi menatap laut sepanjang hari, hidupmu masih panjang nak, kau tak bisa terus-terusan seperti ini, Ido kau anak yang kuat, bapakmu akan sangat kecewa jika melihatmu seperti ini nak, maafkan Ibu harus berkata seperti ini padamu karena setiap hari orang-orang terus membicarakanmu karena keadaanmu seperti orang sakit jiwa…” Mendengar itu Ido menatap tajam ibunya dan beranjak dari tempat duduknya. Malam itu dilalui Lauma dengan kecewa, sikap Ido menghancurkan hatinya. Namun sebagai seorang ibu ia tetap menyayangi Ido dan juga kedua anaknya.
Seminggu berlalu, malam itu dua orang wanita datang ke rumah Ido. Mereka adalah anak KKN yang berasal dari Universitas Tadulako, namanya Arumi dan Cika. Saat itu mereka melakukan kegiatan belajar bahasa Inggris setiap sore. Ia mengumpulkan anak-anak yang seumuran dengan Ido. Dan saat itu ia meminta Ido juga hadir pada proses belajar mengajar tersebut.
Waktu berlalu bersama derai ombak. Tak terasa proses belajar mengajar sudah berlangsung selama empat hari namun Ido juga tak kunjung datang. Karena penasaran anak KKN tersebut mengunjungi rumah Ido.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalaam, eh, ada anak KKN. Masuk nak!” Salah seorang dari merekapun memulai pembicaraan.
“Owh iya Bu maaf ya sudah mengganggu. Begini, kami mahasiswa KKN ada program belajar bahasa Inggris setiap sore dan melibatkan anak-anak yang ada di kampung ini. Semuanya anak-anak di sini hadir kecuali Ido. Mohon maaf Bu, kami hanya ingin mengetahui alasan Ido tidak hadir ketempat belajar apa ya?”
Pertanyaan Cika membuat Ibu Ido diam, ia menatap dalam kedua anak KKN tersebut dan menunjuk ke arah laut.
“Itu Ido. Setiap sore Ido ada di tepi laut, ia tidak mau bergaul dengan teman-teman sebayanya ia hanya ingin berteman dengan laut, seperti itulah keadaannya nak kamu bisa lihat sendiri.” Arumi dan Cika saling berpandangan.
“Maaf bu, kami tak berniat untuk membuat ibu sakit hati.” Kemudian Cika meminta ibu Ido untuk menceritakan kronologi penyebab Ido seperti itu. Dan seperti inilah kisah Ido di kala itu:
Dulu, Ido adalah anak yang ceria. Selain itu ia juga cerdas dan sangat suka membuat kerajinan tangan dari rotan, terkadang ia membuat tas jinjing, membuat rak sepatu, tapis beras dan lain-lain. Dibanding dengan kedua saudaranya, Ia adalah anak yang sangat akrab dengan ayahnya. Setiap sore ayahnya akan mengajak Ido untuk pergi memancing. Jika hari libur maka ayahnya akan mengajaknya selesai shalat subuh.
Hari itu, hari Minggu selesai shalat subuh Ido dan ayahnya berangkat ke laut. Seperti biasa ibunya sudah menyiapkan rantang bekal yang juga harus mereka bawa. Ido dan ayahnya menyusuri laut dengan penuh pengharapan bahwa ia akan membawa pulang banyak ikan hari ini.
“Ayah, mana pancing Ido?”
“Nak hari ini kita tidak akan memancing.” Jidat Ido mengernyit, ia bingung untuk apa ia dan ayahnya ke laut kalau tidak untuk memancing. Dari dalam tas, ayahnya mengeluarkan botol kaca berwarna hijau yang telah dimasukkan bubuk serta dipasangkan sumbu diujungnya. Bom, yah itulah salah satu cara menangkap ikan dengan praktis yang sudah sering dilakukan masyarakat di kampung ini. Ido terkejut karena baru kali itu ia melihat secara langsung bom rakitan ayahnya.
“Hari ini kita akan melakukan pemboman ikan anakku, kita akan dapat banyak ikan.” Begitulah kata sang ayah. Ido tersenyum karena sudah saatnya ia menyaksikan momen yang tak biasa ia lihat.
Pemboman ikan memang kerap terjadi di kampung ini, dan menjadi kebanggaan tersendiri bisa melihatnya secara langsung bagaimana para pelaut handal melemparkan bom rakitannya ke laut, meledakkan air dan menghasilkan banyak ikan.
Saatnya membakar sumbu. Ido tak sekalipun mengedipkan matanya, ia benar-benar tidak ingin melewatkan momen ini. Ayah Ido berdiri pertanda telah siap melemparkan bom itu ke dalam air. Tak lama lagi sumbunya akan habis terbakar namun ayah Ido belum juga melemparkannya.
“Ayah lempar!” teriak Ido dari ujung perahu
Namun ayah Ido hanya terdiam menatap botol hijau itu.
“Ayah lempar!” Ido kembali berteriak.
Dan buuuuuuum,………….. bom meledak di tangan sang ayah. Ido terlempar jauh, di kepalanya tertancap kepingan kaca.
“Ayaaaaaaaahh....."
Laut seketika berubah menjadi merah. Ido tak dapat melihat jelas matanya tertutup darah. Dengan samar-samar ia berusaha melihat ayahnya. Jarak mereka cukup jauh. Dengan mengumpulkan seluruh tenaganya Ido berusaha untuk sadar.
“Ayaaaaah….” Ido kembali berteriak. Saat itu ia hanya ingin
mendengar suara ayahnya.
“Ayaaaaah….” Ido menangis sekencang-kencangnya
“Tolong….., toloooong…,” seketika laut menjadi sangat menyeramkan. Tak ada seorang pun di sana. Ido yang masih kecil berusaha meraih kembali perahunya.
“Ayaaah…., ayaaaaah….," hanya itulah kata yang keluar dari mulut Ido. Badannya bergetar, ia menjadi sangat kebingungan.
“Tolooooong…, tolooong…..” untuk menghentikan darah keluar, Ido menutup luka di kepalanya dengan tangannya.
Di dasar perahu terlihat banyak percikan darah disekelilingnya seperti lautan merah. Ido menutup matanya tak ingin melihat kejadian yang mengerikan ini. Bagai mimpi buruk yang menyiksa, laut sepertinya sedang marah pada Ido dan juga ayahnya. Ido merebahkan badannya di perahu sambil berkata, ”Ayah maafkan Ido.” Satu jam berlalu untung saja ada seorang nelayan yang lewat dan melihat Ido di perahu. Dan saat itulah Ido dan ayahnya mendapat pertolongan. Namun sayang, ayah Ido harus tewas mengenaskan, mayatnya ditemukan tanpa tangan sebelah kanan dan beberapa bagian tubuhnya tertusuk serpihan kaca. Karena hal inilah senyum Ido menghilang terbawa ombak.
____________________
Penulis yang bernama lengkap Sofianti. kerap disapa dengan sebutan Pia atau Sofi. Wanita berdarah suku Bajo ini lahir di Desa Pomolulu Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Abdul Said dan Masani. Lahir pada tanggal 11 Juli 1994.
Penulis mengenyam pendidikan sekolah dasar dikampung halamannya. Namun semenjak sekolah menengah pertama dan menengah atas penulis kini berjuang didesa tetangga yaitu Desa Meli dan Desa Labean. Dan sekarang penulis telah menyelesaikan studi S1 Kesehatan Masyarakat di Universitas Tadulako.
Menulis dan bercerita merupakan kata yang sudah dikenal penulis sejak menginjak sekolah dasar dan mulai melahirkan karyanya sejak berada di sekolah menengah pertama hanya saja untuk konsumsi pribadi. Bagi penulis berkarya adalah proses. Jika kita tidak melewati proses maka tak akan ada karya yang tercipta.