Memanggil Bapak
Kalau ibu ada tamu, itu pun tak pernah kutahu, apakah dia bapakku. Ibu selalu menyuruhku menjauh dan mengunci kamar ketika tamu-tamu itu datang.
Aku selalu iri jika melihat bapak mereka menghadiri rapat kenaikan kelas. Sudah 8 tahun lebih aku tak pernah ditemani makhluk bernama bapak. Dan memang selama hidupku belum pernah sekali pun ada lelaki yang bisa kupanggil bapak. Kecuali bapak guruku tentunya. Aku selalu termenung sendiri, membayangkan ada orang berjenis kelamin lelaki datang menghampiriku. Menawarkan diri kalau dialah bapakku. Betapa senangnya hati, dunia terasa masih sangat waras.
Ketika malam dingin, aku semakin tercekik sepi. Ibu, ah wanita itu tak kuharapkan lagi kedatangannya. Sekarang sedang keluar dengan beberapa tamu yang sering datang ke rumah ini malam-malam.
Sejak kecil aku tak pernah berani bertanya kepada ibu. Ibu juga tak pernah bercerita kalau manusia lahir itu punya bapak. Punya seorang lelaki yang melindungi dan mencukupi kebutuhan keluarga. Semenjak hidungku menghirup udara, sosok itu tak pernah kutemui di rumah ini. Aku pikir aku dilahirkan hanya dari ibu, sebelum teman sekolah mengejekku. Kalau aku anak haram.
Kalau ibu ada tamu, itu pun tak pernah kutahu, apakah dia bapakku. Ibu selalu menyuruhku menjauh dan mengunci kamar ketika tamu-tamu itu datang. Pernah aku mencoba bertanya kepada lelaki tamu ibu, apakah dia bapakku. Namun sejak saat itu aku tak berani lagi bertanya. Setelah kejadian itu, ibu menamparku dan mengikatku di kamar hingga pagi. Mungkin jika hari itu aku tidak masuk sekolah, aku tidak akan dikeluarkan—ibu marah besar. Aku pendam saja pertanyaan itu hingga kini. Aku terima ejekan teman-teman jika memanggilku anak haram. Aku masih tak tahu, mengapa aku dinamakan anak haram, apa tidak adanya bapak aku dijuluki anak haram. Mungkin saja mereka benar.
***
Suatu hari aku menemukan sesosok gambar. Ganteng sekali gambar itu, kutemukan di dalam kamar ibu. Tertempel di dinding kamar. Aku mengambil satu. Berbagai macam ukuran. Aku tak cukup ambil satu, aku mengambil banyak. Karena memang banyak gambar itu terserak begitu saja di kamar ibu. Pasti ibu tak akan tahu kalau gambarnya ada yang hilang. Semoga gambar ini adalah bapakku, gagah dan ganteng sekali wajahnya.
Hanya gambar ini yang setiap hari mengajakku bercakap. Aku simpan di bawah bantal jika sudah ngantuk. Aku elus wajahnya. Bapak memang sangat menyayangiku.
“Kamu?” tanya bapak dengan wajah terkejut. “Aku kesepian.”
“Tidurlah, Sayang..” Malam terasa menyayat. Lengkingan angin menambah dingin yang menggunung. Untunglah bapak setia menemaniku. Bapak sangat mengerti apa yang kurasakan.
Kalau ibu sampai tahu bapak kusembunyikan di bawah kasur, kiamatlah dunia. Aku harus memindah-mindahkan agar tak tercium ibu. Kadang kusembunyiakan di balik foto masa kecilku. Tak jarang kusembunyikan di dalam dopet hitamku, kalau yang besar aku taruh di bawah kasur.
Di sekolah banyak teman cowok yang menyukai aku. Tak jarang mereka mengasih uang jajan. Dengan rayuan maut mencoba mengutarakan rasa cinta padaku. Sebelum aku naik kelas tiga SMP, Doni—cowok sialan itu mengajakku nonton film. Sebenarnya aku agak risih diajak melihat film di bioskop. Dengan antrian yang panjang dan ruang yang membuat napasku tersendat. Di dalam bioskop dia mencoba melakukan hal yang tak patut. Tangannya menggerayangi bagian bawahku. Aku tahu, langsung kuceples tangannya. Dia mengucapkan maaf berkali-kali. Sejak saat itu aku putuskan dia. Biar tahu rasa. Selanjutnya temannya, juga melakukan hal sama tapi dengan modus berbeda. Suatu hari aku di ajak ke kafe, diberinya aku minuman yang sering diminum ibuku di rumah. Aku tahu, langsung kutolak. Biar dia tahu rasa, aku bukan cewek murahan. Biar. Setelah itu semakin banyak cowok yang mengejar cintaku. Namun aku jelaskan aku tidak butuh mereka lagi. Aku sudah punya bapak yang paling pengertian. Tidak seperti cowok-cowok brengsek itu. Mau enaknya saja , tidak mau risiko yang setiap waktu bisa saja aku tanggung.
Sebagai anak gadis aku tak mau terjebak dengan gombalan murahan mereka. Aku sering lihat di internet tentang bagaiman resiko melakukan hal-hal yang hanya boleh dilakukan pasangan suami-istri. Tentang banyaknya korban aborsi, tentang risiko terkena penyakit yang mematikan itu. Aku tahu semua, aku harus cerdas menjalani kehidupan yang semakin gila ini. Aku tak ingin seperti ibu. Walau kadang aku hampir terjebak dengan tipu daya mereka.
***
Malam ini semakin gila saja. Ibu memasukkan banyak tamu lelaki, di antaranya juga ada beberapa wanita. Saling menenggak minuman. Menghisap rokok semua. Rumahku semakin berisik, kupingku tak mampu menahan suara dentuman musik disko. Aku tak bisa melanjutkan belajar. Aku ingin keluar dari rumah ini. Aku meloncat dari jendela kamar menuju belakang rumah yang belum diplester. Aku mengajak bapak. Menghitung jumlah bintang di langit.
Menghitung rasi-rasinya, kapankah nasib baik akan datang padaku. Bapakmengangguk saja. Mengiyakan semua perkataanku. Aku peluk bapak erat-erat. Lalu melanjutkan belajar, bapak mengajariku banyak hal.
Terkadang aku termenung sendiri. Malam yang hitam dan beberapa bintang tak lagi nampak. Suara gerimis semakin memilukan. Entah kenapa aku selalu sedih jika mendengar tetes demi tetes air yang turun dari langit itu. Seakan langit ikut merasa kesedihanku.
Ada yang bilang aku cewek bodoh tapi cantik. Enak saja mereka mengatakan itu. Aku memang cantik tapi tidak bodoh. Aku memang mempunyai kebiasaan aneh, selalu mengoleksi gambar lelaki macho, entah itu poster atau model yang tercetak di tanggalan. Itu anggapan mereka, mereka tak mengerti bahwa gambar-gambar itu adalah bapak. Bapak yang setia menemaniku kapan saja kubutuhkan. Aku tak peduli dengan ocehen burung emprit. Ketika aku ingin jalan-jalan ke mall bapak selalu menemaniku, dan tentunya tak pernah memintaku melakukan hal-hal aneh. Bapak adalah tipe lelaki yang tak suka menghamili anaknya sendiri. Aku semakin sayang bapak.
Baca juga : Dua Mata Air Bukit Menghilang
Oh bapak, aku sangat sayang padamu. Lalu kumasukkan bapak ke dalam dompet imitasi pemberian ibu. Kebetulan hari ini bapak sedang berukuran 3x4 cm.
Di rumah aku tak bisa merasakan hal apa pun yang menarik kecuali melihat tamu-tamu ibu. Tak ada hiburan lain selain itu. Mereka rasanya seperti kumbang yang tak pernah kenyang. Setiap hari menggerubuti ibu, setiap hari mengadakan pesta, setiap hari mengajak ibu mabuk. Sebagai anak aku tak berani melarang-larang mereka. Mereka toh sudah dewasa menurut ilmu biologi. Kata guruku, ketika mengajari murid-muridnya untuk tidak melakukan hal aneh sebelum dewasa. Aku tak begitu paham waktu itu, tapi aku sekarang paham, bahwa orang dewasa bebas melakukan hal apa pun sesuai kesukaannya. Mereka menikmati sekali dengan kegiatan itu. Aku termenung sejenak mengintip segala apa yang mereka lakukan.
Sesekali mereka masuk ke kamar ibu, entah apa yang akan mereka lakukan. Mereka seperti antri sembako murah di balai desa. Bersedia menunggu lama setelah seseorang dari dalam keluar kamar. Ibu tak keluar sebelum pesta usai.
Bapak aku rindu kamu lagi. Kukeluarkan bapak dari dompetku. Kucium wajahnya yang mirip boyband Korea. Aku memeluknya.
“Kamu yang sabar ya, Nak.”
“Iya, Pak. Aku ingin ibu pergi saja dari rumah ini. Aku tak ingin ibu mengganggu tidurku.”
“Kamu harus sabar ya, Nak.”
“Aku sudah sabar, Pak. Ibu saja yang begitu memuakkan. Aku ingin ibu pergi dari rumah
ini.”
“Ya sudah sini bapak dongengi agar kamu bisa tidur.”
Malam hanyut menampar wajah. Musik masih terdengar begitu pilu di telinga. Semakin malam, semakin menyayat. Tamu-tamu tak tahu malu itu. Semuanya membuatku benci. Untung ada bapak yang menemaniku di sini. Dalam selimut ini. Sebelum mataku terpejam, aku simpan bapak di balik bantal.
***
“Dasar anak setan!” mata ibu melotot sampai kedua alisnya bertemu.
“Ibu yang setan.” Aku sebenarnya tak ingin mengatakan ini. Jika ibu tak kebangetan. Ibu telah mengganggu tidurku dan tanpa sabar aku letakkan botol bekas bir ke kepala ibu—agar ibu sadar. Kepala ibu keluar darah. Para tamu pergi begitu saja. Takut melihat kedatanganku, takut melihat darah yang mancur.
“Kamu. Siapa yang mengajarimu durhaka pada orang tua hah!!”
“Ibu.”
“Ibu?”
“Iya.”
“Iya?!” ibu terus memuntahkan kata-kata kotor yang lebih pantas diucapkan orang jalanan.
“Jika ibu terus menggangguku aku ingin ibu menjadi batu saja.”
Kataku mengertaknya, semoga ibu memberhentikan marahnya.
“Kamu jangan durhaka. Anak baru kemarin udah sok-sokan menceramahi orang tua.”
Baca juga :
Aku kembali ke kamar, memanggil bapak di bawah bantal. Ketika akan kubawa, bapak menyuruhku membawa pisau. Bapak menyuruhku memotong ular yang ada di dalam kepala ibu. Aku turuti kemauan bapak, aku ambil pisau dapur dan kembali menghadap ibu.
Sebelum pisau itu kugunakan, ibu telah memukul kepalaku dengan kayu balok. Katanya ada nyamuk menghisap batok kepalaku. Darah mengucur deras. Aku tak merasakan apa-apa lagi. Aku semakin jelas melihat ada ular dalam kepala ibu. Ular itu keluar, bewarna hitam dengan lidah merah darah menjulur-julur. Ular itu telah sampai di depan mataku. Mamatukku.
Ketika sadar aku telah berada dalam ruang dengan mulut beroksigen dan bau obat yang menyengat. Bapak tak ada di sampingku. Aku tak melihat ibu. Aku hanya melihat ular itu. Apa aku berada di rumah sakit binatang sekarang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Bapak, aku mencari bapak. Di bawah bantal tidak ada. Di saku bajuku juga tidak ada. Bapak, kamu di mana bapak.
“Bapaaak. ”
***
Thoni Mukarrom lahir pada 15 Agustus di Tuban, Jawa Timur. Beberapa tulisanya diumumkan media lokal dan nasional (Akbar, Warta Tuban, Surabaya Post, Jawa Pos, Bali Post, Majalah Sagang, Warta, Nusa, Bangka Pos, Sumut Pos, Sarbi, Tikar Merah dll), beberapa antologi; antologi penyair bulan purnama Mojokerto (2010), Sehelai Waktu (2011), Bulan Kebabian (2011), puisi untuk kota padangku tercinta (2011), antologi pelajar Mimpi Kecil (2011), antologi puisi untuk Palestina (2011). Cerpen Your Chemical Romance (Diva Press 2011) antologi cerpen dan puisi lembaga Bhineka (Jakarta, 2012) Antologi Puisi Rinai Rindu untuk Rosul (2012)
Antologi cerpen tunggal: Kisah Seekor Kupu-kupu yang diterbitkan Shell Publising, Oktober 2012.