Dua Mata Air Bukit Menghilang
Setelah tiga bulan dari pertemuan itu, lanjut Junaidi, tiba-tiba mereka datang lagi, dan menawarkan kembali harga yang lebih tinggi.
Junaidi memapakku di jembatan kecil yang menghubungkan sungai tanpa air. Sungai yang sepanjang alirannya hanya berserakan batu-batu, sampah plastik, dan rumput kecil hingga batas kaki bukit. Dari jauh aku telah melihatnya berdiri menunggu bersama kilau cahaya matahari petang. Dia mengenakan kaus warna hitam bertuliskan ”hope” dengan huruf-huruf yang mengelupas tinta sablonnya, dan celana drill warna biru keputihan kusam. Tangannya melambai ke arahku ketika motorku hampir mencapai jembatan dengan pembatas tembok batu berwarna kelabu. Setelah menyapa dan memberiku senyuman, dia memintaku mengikuti motornya naik ke arah bukit.
Sebelumnya, pria bujangan 30 tahun itu mengirim pesan pendek agar aku datang di desanya, di antara Bukit Suro. Pesannya sangat serius menurutku. Katanya, dia mendapat ancaman, dan aku harus melihat langsung mata air di puncak bukit. Di desanya ada tiga sumber air yang mengalirkan airnya ke tiga sungai yang melewati beberapa dusun. Salah satu sungai itu melewati dusun Junaidi. Orang-orang desa biasa mandi di sungai dan memanfaatkannya untuk kebutuhan ladang. Ladang yang menumbuhkan bibit-bibit dan harapan untuk kehidupan yang harus berlangsung. Tapi sekarang mereka harus melupakan dan mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan itu.
Ketika itu, dia mengajakku turun di sebuah lembah muram yang tertutup daun dari beberapa jenis pohon, dan pada salah satu sisinya tebing tumbuh rerumpunan bambu yang doyong serta akarnya tampak menonjol keluar dari tanah. Di bawahnya menggenang air bening tipis dengan dasar warna coklat dipenuhi runtuhan daun kuning kecoklatan serta batu kerakal putih. Kemudian Junaidi berjalan naik di atas bongkahan batu dan menunjukkan padaku sebuah tempat yang katanya adalah letak sumber air.
”Dulu air di sini deras dan dalam, tapi sekarang lihatlah, tak ada semata kaki pun dalamnya,” ujarnya. Suaranya terdengar datar dan kehilangan ekspresi prihatinnya.
Aku mencermati seluruh lembah dan sungai yang kehilangan airnya itu, dan mencoba mencerna apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar yang lebih tampak sebagai orang tua yang sakit. Junaidi kemudian memberiku isyarat agar mengikutinya menaiki lembah dari sisi kanan tempatku berdiri. Setelah menyusuri jalan setapak yang dipenuhi pelbagai jenis rumput serta kucing malu, dan melewati ladang jagung yang kurus kekuningan, Junadi berhenti di dataran atas bukit yang hanya ditumbuhi beberapa pohon ketela dan lamtoro gung. Dari tepi jurang dia menunjuk dengan jarinya ke arah bawah bukit. Di sana aku melihat bongkahan batu-batu besar yang terbelah berwarna merah. Sebagian berserakan, dan sebagian tertata rapi di bawah naungan langit yang mulai senja.
”Itu tambang marmer,” Junaidi menjelaskan sebelum kuminta.
”Semuanya seluas 20 hektar,” lanjutnya sembari duduk bersila di atas tanah berumput.
”Luas juga,” gumamku.
”Mereka masih mau memperluasnya,” timpal Junaidi sambil melempar gumpalan rumput kering ke udara.
Saat itu tahun 1990-an, cerita Junaidi kemudian, ketika warga desa kedatangan tamu dari Jakarta disertai aparat desa bersama senyum ramah, dan menyampaikan maksud mereka untuk membeli tanah sekitar bukit. Mereka mengatakan tanah-tanah di sini tak memiliki masa depan untuk penduduk. Tanah kering yang tak akan menghasilkan apa-apa. Mereka menawarkan harga rendah dengan kompensasi akan memberikan pekerjaan bagi warga sekitar setelah tambang dibuka.
”Tak ada yang boleh berpikir buruk pada pemerintah. Bapak dari Jakarta ini adalah mitra pemerintah. Niatnya bagus buat warga dan bangsa. Mereka ingin membangun negeri ini dan memajukan warga desa sini. Jadi, tawaran bapak ini jangan buru-buru ditolak. Itu memalukan. Benar kan, Pak? ”
Warga yang hadir duduk diam, tapi Karman, ayah Junaidi, meminta waktu untuk menjawab mewakili warga. Karman mengatakan bahwa warga desa semuanya adalah orang-orang yang baik dan selalu patuh pada pemerintah. Tapi untuk urusan tanah, mereka tak ingin melepaskan begitu saja karena tanah yang mereka miliki adalah amanah Tuhan yang harus dijaga keseimbangannya.
”Bila tanah di sini rusak kami akan menanggung dosa besar pada Yang Kuasa dan anak cucu nanti. Rumah-rumah kami berada di sekitar tebing-tebing bukit. Sangat besar risiko yang harus kami terima bila hukum alam dilanggar. Jika tanah bukit longsor warga akan mati sia-sia. Namun, bila kami menerima tawaran bapak dari Jakarta, uang yang kami terima tidak akan cukup untuk membeli tanah baru di luar sini. Jadi kami mohon bapak-bapak memahami kami juga.”
Junaidi berdehem dan tertawa sinis, memandangku sejenak sebelum kemudian matanya menatap ke bawah bukit, seolah tengah mengamati pergerakan musuh. Katanya, tentu saja warga menolak tawaran harga yang hanya bernilai Rp. 2500; per meter. Tapi harga itu, seperti yang disampaikan bapaknya, bukan satu-satunya alasan mereka menolak. Sudah bertahun-tahun semenjak Perang Diponegoro tanah itu diwariskan pada mereka saat ini. Tawaran itu sungguh sangat menjengkelkan dan menghina harga diri warga kampung.
Setelah tiga bulan dari pertemuan itu, lanjut Junaidi, tiba-tiba mereka datang lagi, dan menawarkan kembali harga yang lebih tinggi. Semula tak ada yang menanggapi, tapi kemudian kepala dusun dan kepala desa mengajak beberapa warga tanpa Karman ke sebuah pertemuan di kota. Dua hari kemudian Kadus mengumumkan bahwa setiap dusun mendapatkan bantuan pembangunan jalan. Mereka juga menyumbangkan beberapa ekor kambing saat Lebaran Besar.
”Setelah itu, lambat laun, beberapa warga kemudian setuju menjual tanah mereka. Tapi bapak dan beberapa warga tetap menolak. Bapak juga menolak terlibat dalam pembangunan jalan saat itu.”
Malam itu, hujan begitu deras di bulan Desember ketika beberapa orang membawa bapaknya, kenang Junaidi. Ibunya dan Junaidi menyaksikan peristiwa itu yang semula hanya dikira sekadar pertemuan biasa karena urusan tanah.
”Saat itu usiaku masih 10 tahun,” ujar Junaidi. Esok siang bapaknya pulang dengan wajah penuh memar. Tubuhnya lemas.
”Lalu?” tanyaku agak terdengar naif.
Junaidi hanya mendengus mendengar pertanyaanku. Sinar matanya meredup. Dia kemudian berdiri dan mengajakku pulang ke rumahnya ketika cahaya di kaki langit tampak berubah jingga pekat diselimuti awan menggumpal.
”Ayah meninggal malam hari kemudian,” katanya sambil berjalan.
**
Di rumahnya, setelah menyajikan kopi di atas meja bambu di ruang tamunya yang sempit dan sederhana, Junaidi duduk di kursi menghadap persis di mukaku. Ibunya yang tua renta dan berkain batik sederhana muncul dari arah belakang, menyapaku dengan suara serak. Dengan gerakan lamban yang tampak rapuh, ia ikut duduk beberapa saat, sebelum kemudian beranjak pamit ke dapur.
Kerutan di wajahnya menyadarkanku akan lipatan penderitaan yang tak mampu tersembunyikan oleh mataku. Keadaan ibu itu membuatku melamun dalam keprihatinan dan mengabaikan hawa dingin yang mulai menusuk kulit. Aku membayangkan bagaimana perasaannya ketika suaminya pergi dan tak pernah kembali.
Bagaimana ia bertahan hidup dengan keadaan seperti itu. Rumahnya yang kecil berisi dengan perabotan sederhana memantulkan aura lemah dan muram.
”Ibuku akhirnya menjual tanahnya seperti juga semua warga yang menjual tanah mereka karena takut.”
Suara Junadi yang menjelaskan itu mengagetkanku, menyadarkanku dari lamunan tentang penderitaan ibunya. Matanya menatapku sejenak, dan kemudian tangannya bergerak mengambil rokok kreteknya di atas meja sembari memintaku untuk meminum kopi yang dia suguhkan. Aku mengiyakan dan mengangkat gelas bening kecil itu serta menyeruputnya beberapa kali isinya. Kopi yang disuguhkannya masih panas, namun terlalu manis bagi lidahku yang tak terbiasa dengan kopi bergula. Rasa manis yang sepertinya tak merasuk ke dalam kehidupan batin mereka.
Junaidi lantas meneruskan ceritanya bersamaan dengan suara serangga malam yang berdenging. Suaranya masih terdengar geram. Ketika semua tanah telah dibeli dan tambang mulai dibuka, kata Junaidi, warga desa tak pernah mendapatkan janji yang dipenuhi oleh pengusaha itu. Tak ada warga yang mendapatkan jatah pekerjaan di tambang yang ada di tanah mereka sendiri. Sementara lingkungan mereka, sedikit demi sedikit seperti yang dikhawatikan bapaknya terjadi. Pohon-pohon ditebang, burung-burung mulai jarang, dan udara menjadi panas serta tanah tergerus, dan dua mata air di bukit mengering. Beberapa kali tanah bukit longsor mengancam warga, dan dua mata air di bukit yang sebelumnya mengalirkan air jernih yang deras semakin menyusut.
”Warga resah dan marah, tetapi mereka tak berani protes. Jadi, aku memutuskan maju bersama beberapa orang untuk bersuara. Setidaknya aku ingin meneruskan perjuangan bapak agar tak sia-sia. Tapi perusahaan sepertinya tak peduli. Mereka sulit sekali ditemui. Jadi aku mencoba mencari bantuan beberapa LSM. Sayangnya upaya itu tak menghasilkan apa-apa. Semua tetap berjalan seperti keadaan semula yang dinginkan perusahaan tambang itu.”
”Lalu ancaman itu dari siapa?”
Wajah pria di hadapanku itu tampak bersungut. Matanya memancarkan rasa jijik. Dia mengisap kreteknya dua kali yang membuat mukanya ditutupi asap putih pekat yang melayang-layang perlahan ke udara, dan akhinya menipis hilang dalam udara.
”Semua orang tahu mereka menyewa preman untuk menakut-nakuti orang yang memprotes perusahaan atau menghalangi perluasan wilayah tambang.”
”Lalu, mereka mengancam apa?”
”Katanya tak usah macam-macam jika tak ingin menyusul bapak.”
”Itu tak bisa didiamkan saja.”
Junaidi tertawa mendengarku marah. Tapi dia tak menanggapiku langsung dengan bicara. Tangannya kulihat meremas-remas gemas korek api gas warna hitam. Sementara itu, dari arah dapur terdengar batuk ibunya yang seperti suara tak berdaya.
”Siapa yang berwenang di tambang itu yang bisa kutemui?”
”Hermanto. Tapi sulit bertemu dia.”
”Tak masalah. Aku harus menulis untuk koranku bila kamu setuju.”
***
Esok harinya menjelang siang aku benar-benar mendatangi kantor di area tambang untuk menemui Hermanto. Junaidi memaksa untuk menyertaiku meskipun aku melarangnya. Iring-iringan truk pengangkut keluar masuk tambang seperti semut-semut merah raksasa. Suara gemuruh mesin terdengar berpadu dengan jeritan alat pemotong batu yang menyakiti telinga hingga ke hati. Aku mencoba masuk melalui pintu gerbang besar, tetapi seorang satpam bertubuh tegap mencegat kami. Dia menatap Junaidi, sambil bertanya apa keperluanku. Seperti satpam itu, kulihat pula ada tiga pria bermata sangar memperhatikan Junaidi dan diriku dengan pandangan anjing berjaga. Tampaknya mereka mengenal Junaidi.
Aku tentu tak mengaku sebagai wartawan untuk keperluan ini, dan itu terbukti semakin menyulitkanku untuk bisa bertemu Hermanto. Satpam itu melarangku masuk, dan mengatakan Hemanto tak ada di tempat.
Setelah berpikir tak akan bisa masuk dengan izin, aku mengajak Junaidi pergi. Tapi dalam jarak sekitar dua puluh meter aku berhenti untuk mengambil foto pintu gerbang yang berpintu besar dengan plang perusahaan di atasnya. Aku membutuhkan beberapa foto untuk pilihan gambar penyerta artikelku. Aku tengah memotret dua kali sebelum kemudian suara kasar terdengar, ”Woii... Ngapaiin ambil gambar?”
Kulihat pria itu berteriak sambil mengacungkan tangannya yang terkepal ke arahku. Aku terkejut. Melihat gelagat kurang baik yang tiba-tiba kubayangkan sebagai ancaman kuburan masa depan yang dipenuhi tangisan keluargaku ketika aku harus tertidur tak berdaya dalam lubang tanah gelap bersama cacing dan malaikat bergada karena tangan para pria pendosa itu meremukkan kepalaku. Pikiran buruk itu membuatku segera saja memutuskan bergegas pergi dengan sepeda motor bersama Junaidi. Sepanjang jalan tanganku basah oleh keringat yang kutahu itu akibat kerja jantungku yang demikian keras.
Ketika sampai di halaman rumah Junaidi yang teduh oleh pohon-pohon, perasaanku menjadi lebih tenang. Kemudian aku mengajak Junaidi mendiskusikan kejadian yang baru kami alami.
”Iya, aku tahu mereka. Mereka itu sebagian dari preman yang disewa perusahaan,” kata Junaidi.
Aku mengusap keringat dari dahiku dan menarik napas dalam hingga otot dadaku bergerak ke atas melalui perutku. Setelah berpikir sejenak, lantas aku katakan pada pria malang itu bahwa sebaiknya dirinya menahan diri dahulu, menjaga diri dengan cara tak terlalu agresif atau bertindak sembrono menentang mereka.
Baca juga: Kasus Pertama J Van: Hilangnya Nyonya Djamira
Kuingatkan bahwa mereka begitu berkuasa, sementara dirinya hanya sendiri. Aku khawatir jika mereka benar-benar membuktikan ancamannya, sementara koranku begitu kecil tak akan mampu melindunginya. Kuminta dia bersabar menunggu agar aku bisa mencari perlindungan untuknya. Mendengar saranku, mata Junaidi berkedip-kedip, tubuhnya berdiri gelisah di hadapanku tanpa bicara.
Aku tahu dirinya kecewa dengan sikapku yang tampak seperti ketakutan. Tapi, itu faktanya, aku melihat besarnya halangan yang aku saksikkan, aku yakin akan sia-sia saja apa yang diperjuangkan jika Junaidi hanya sendiri. Sementara yang lain kurasakan semakin membenarkan pragmatisme yang melemahkan setiap tujuan yang membutuhkan idealisme.
Setelah memastikan Junaidi bersedia mengikuti saranku untuk menahan diri, aku segera berpamitan dan berjanji akan menghubunginya. Dia tak mengantarku karena aku sudah hafal jalan keluar menuju bawah bukit. Bersama redupnya cahaya sore dan perasaan tak puas, aku menyusuri jalan kecil berbatu secara perlahan menjauh dari dusun Junaidi yang suram. Namun, ketika aku hampir sampai pada jembatan tempat Junaidi memapakku, darahku tiba-tiba berdesir keras. Kulihat, jembatan itu ramai dengan pemuda yang tengah duduk di pembatas batu jembatan, dan sebagian lain berdiri di tengah jembatan menutup jalan. Sementara beberapa motor terpakir secara acak di sekitarnya. Salah satu pria yang berdiri menghadap tepat pada arahku adalah pria yang menghardikku ketika berada di lokasi tambang. Mengetahui itu, pikiranku langsung kacau seperti sungai di jembatan yang hanya berisi sampah dan batu kerakal tanpa air. Seketika aku berhenti untuk menenangkan diri. Saat itu aku berpikir, bila nekat melewati jalan jembatan itu bisa berarti semua kemungkinan akan terjadi.
Namun, setelah berpikir sejenak, bersama angin yang turun dari arah bukit, aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Aku sadar, perjuangan memang selalu berhadapan dengan risiko yang keras.
[]
Ranang Aji SP, menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris dan naskahnya berjudul ”Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pacamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Peserta Kelas Cerpen Kompas 2018, Kompas Institute. Buku Kumcernya, Mitoni Terakhir, diterbitkan penerbit Nyala (2021).