Kaum Pengganti
Dua hari penghancuran umat manusia menghasilkan bumi yang kacau dan pusat peradaban seakan kembali menjadi hutan rimba atas munculnya berbagai jenis binatang yang bersatu-padu, tanpa saling mangsa.
Di sebuah balkon dari salah satu gedung tinggi, sesosok lelaki bintang film dewasa sedang merokok dan mabuk berat ketika mendapati dari atas langit tampak benda bulat gelap membesar dan membesar dan mendekat menuju padanya. Kurang dari lima detik setelah penglihatan itu, tubuh lelaki kekar itu hancur berkeping-keping.
Jika batu-batu dari atas langit itu jatuh, para penduduk bumi tentu kocar-kacir tapi tetap saja mati; mereka tetap hancur berserakan di permukaan tanah, membasahi sungai-sungai jernih dengan darah amis mereka, menodai rumput dan semua tanaman dengan potongan organ tubuh mereka yang menjijikkan, dan hanya butuh beberapa hari untuk mengubah udara bumi menjadi busuk luar biasa akibat miliaran mayat.
Jika pun memang bumi harus kotor, terjadi sajalah itu tidak masalah, begitu yang kemudian semesta bisikkan. Seluruh makhluk, kecuali umat manusia, di bumi sepakat mereka harus binasa dan punah jika memang waktunya tiba dan barangkali tak lagi ada kehidupan yang perlu diadakan di planet itu; jika ada, kehidupan dengan para makhluk baru bisa jadi hiburan bagi semesta, dan mungkin juga bagi Tuhan.
Maka, nyaris tiap malam sebuah doa terlangitkan oleh bibir semesta: ”Moga umat manusia binasa tak lama lagi.”
Para pelantun doa terdiri dari, sekali lagi, seluruh makhluk kecuali manusia. Tak ada tersisa seorang pun manusia yang mampu membedakan kebenaran dan kebatilan. Di seluruh pusat peradaban, dosa telah jadi kebiasaan sehari-hari. Membunuh sudah setara olahraga favorit dan menyantap bayi-bayi tak berdosa sebagai sarapan pagi adalah gaya hidup yang sangat populer.
Tuhan konon sudah tak dikenal di kepala manusia ketika itu. Suatu hari, saat orang terakhir penyembah Tuhan ditemukan mati kelaparan di sudut toilet stasiun bawah tanah dengan berlumuran tahi dan pecahan beling akibat ulah para berandalan ibu kota suatu negeri yang bobrok akhlak, langit bergemuruh dan seluruh malaikat pun berzikir untuk menyatakan kesedihan dan mereka berharap supaya Tuhan menurunkan keputusan yang mengasyikkan bagi kaum mereka; malaikat tidak pernah mendapati diri mereka sesunyi dan setersesat kali itu. Tugas-tugas kegaiban kini jadi tak lagi bermakna setelah setiap orang mencetak dosa, tanpa lagi ada pahala-pahala ditabung. Bagaimana mungkin kaum malaikat pencatat amal perbuatan baik mendadak berebut profesi dengan mereka yang memang sejak awal ditugasi mencatat amal perbuatan buruk?
Demi menindaklanjuti keresahan semesta, Tuhan menciptakan planet baru jauh di atas sana, seandainya seseorang mampu melihat dari puncak gunung tertinggi di bumi; suatu planet yang terbangun dari kumpulan batu yang melayang tak tentu arah selama jutaan tahun. Batu-batu itu memadat oleh kuasa-Nya, menjadi planet yang jika dipijaki kaki telanjang manusia, akan terasa bak menyambangi sebuah gurun batu tanpa oksigen, tanpa air, tanpa makhluk apa pun. Maka, tak ada yang dilahirkan atau diadakan oleh Tuhan di sana, dan planet itu dibiarkan mengorbit dengan tanpa apa pun bersamanya selama beberapa waktu.
Suatu hari ketika bumi terlalu bobrok, Tuhan mengumumkan sesuatu yang hanya mampu didengar telinga para makhluk selain manusia: ”Di atas sini telah Aku ciptakan bola raksasa yang akan membinasakan umat manusia.”
Semesta bersorak-sorai. Para binatang menggelar pesta dengan cara mereka, meski tahu kebinasaan manusia sama artinya dengan tak ada lagi kehidupan lain di muka bumi; para binatang dan segala tumbuhan mungkin akan binasa pula.
Salah satu dari mereka berkata: ”Biarlah mati, karena hidup tak ada arti.”
Andai tiap makhluk mendengar ucapan seekor kijang itu, dapat dipastikan mereka setuju.
Betapa tidak? Keberadaan umat manusia yang telah tak mengenal dan juga tidak takut pada dosa, membuat hidup banyak satwa menderita. Kegilaan manusia tidak dapat membuat mereka hidup tenang. Alangkah baiknya Tuhan tidak lagi memberi para satwa kehidupan dan mengubah mereka menjadi debu, ketimbang harus beranak-pinak tiada henti namun menjadi obyek dosa umat manusia.
Kaum malaikat dan setan bergandengan tangan di suatu sudut langit untuk berzikir agar hari yang mereka nantikan segera terjadi; kapan dan bagaimana umat manusia ini binasa, mereka tak sabar melihat dengan mata sendiri. Mengenai kaum setan, tentu saja dapat dimengerti bagaimana perasaan mereka yang kini menganggur total; tak ada yang bisa mereka goda dan jerumuskan lagi, dan bahkan kini tingkat dosa umat manusia telah melampaui dosa-dosa mereka. Bagaimana setan bisa bersenang-senang seperti dulu?
”Lebih baik matikan saja semua dan tak perlu lagi ada pesta setelah ini!” begitulah ucap sesosok setan yang disegani oleh kaumnya.
Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi planet batu itu untuk hancur demi menimpa bumi. Entah butuh sesuatu macam apa lagi sehingga Tuhan memutuskan suatu hari yang dipenuhi rintik hujan atau sebuah sore yang dilingkupi cahaya matahari merah kekuningan atau suatu bulan Desember yang dipadati keping-keping salju sebagai saat yang tepat bagi jatuhnya batu-batu dari angkasa itu.
Namun, Tuhan menjanjikan ke semesta, ”Manusia pasti binasa jika waktunya tiba.”
Lalu, datanglah hari itu, ketika batu-batu yang telah menjelma planet itu berpisah satu sama lain dan meluncur deras menuju bumi.
Dari puncak sebuah gedung, sesosok lelaki bintang film dewasa sedang merokok dan mabuk berat ketika mendapati dari atas langit tampak benda bulat gelap membesar dan membesar menuju padanya. Tak lebih dari lima detik setelah penglihatan itu, tubuh lelaki kekar itu hancur berkeping-keping.
Peristiwa-peristiwa macam itu terjadi tak henti selama 48 jam penuh di permukaan bumi yang didiami umat manusia. Baru kali itu semesta menyadari jika Tuhan ternyata tak menghancurkan seluruh bagian bumi beserta isinya, melainkan hanya umat manusia, dan itulah yang menyebabkan beberapa ekor kucing atau anjing atau kelinci atau macan kumbang berkeliaran di kota-kota yang nyaris rata dengan tanah, sementara jasad orang- orang pendosa ditemukan berceceran tak utuh di sana-sini.
Dua hari penghancuran umat manusia menghasilkan bumi yang kacau dan pusat peradaban seakan kembali menjadi hutan rimba atas munculnya berbagai jenis binatang yang bersatu-padu, tanpa saling mangsa, meski banyak di antara mereka yang kelaparan. Para satwa pemakan daging membuat perjanjian untuk tak lagi menelan saudara senasib sesama binatang; mereka setuju belajar memamah rumput atau buah-buahan.
Demi melihat semua itu, para malaikat dan setan tak lagi akur; setan-setan tak suka dengan keputusan ini. Mereka bilang, ”Bagaimana kami bisa menggoda para binatang, sedangkan mereka tak berakal?”
Malaikat yang berkumpul dan merasa libur untuk beberapa bulan ke depan hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal.
Namun, Tuhan bersabda pada suatu malam, mengiringi tangisan keluhan para setan dan iblis yang kini mengira mereka tak akan lagi memiliki pekerjaan sampai akhir dunia tiba:
”Bahwa telah Kusediakan sarana baru bagi kalian para iblis dan setan untuk balik bersenang-senang seperti biasa; kini kaum binatang itu Kuberikan akal sehat dan buah kepintaran selaiknya yang dulu dimiliki oleh umat manusia sejak zaman Adam. Godalah dan dapatkan teman bagi kalian di neraka, dan biar kuurus mereka yang patuh pada-Ku di surga.”
Seketika itu juga, bersamaan, kaum malaikat dan setan bertepuk tangan sebab kini mereka memiliki pekerjaan baru yang tak kalah menantang.
Maka, beginilah suasana planet bumi usai masa yang terbilang absurd itu: binatang dari segala spesies memulai peradaban dan kehidupan sebagaimana manusia di zaman dulu.
Kota-kota berdiri seiring berkembangnya era satwa sebagai penghuni utama bumi. Perang demi perang terjadi demi nafsu duniawi. Ilmu pengetahuan dan segala hal yang dulu pernah terjadi pada umat manusia juga dirasakan oleh para satwa. Tidak ada yang benar-benar baru ataupun berbeda, ternyata.
Semesta mulai berpikir, ”Kelak, di sini, di tubuhku ini, akan terlangitkan doa-doa serupa setelah semua satwa ini menuju ke zaman kebejatan, yakni sebuah zaman ketika dosa tak lagi bisa menjadi perkara yang memalukan atau mengerikan untuk dikerjakan dan pahala menjadi barang terlangka. Barangkali itulah yang terjadi, sebagaimana dulu sebelum manusia punah oleh doa makhluk-makhluk lain.” [ ]
Gempol, 11 November 2019 - 11 Mei 2021
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di sejumlah media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018). Segera terbit kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.
Thomas Ari Kristianto, sekolah S-1 Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB), selanjutnya S-2 di arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), lalu S-3 arsitektur di kampus yang sama, tapi belum lulus. Sekarang mengajar desain di ITS, menjalankan firma arsitektur interior, serta mengoleksi dan menaruh perhatian pada dunia seni rupa.