Kang memulai obrolan ini dan dijawab oleh Kim. Begini percakapan mereka:
”Kau sering datang ke sini, Kim?”
”Hanya setiap bulan April saja.”
”Untuk melihat bunga?”
”Untuk melihat bunga…”
”Tapi, aku kira kau pergi ke luar negeri setelah kerusuhan hebat itu?”
”Aku pun mengira kau turut menjadi korban pada kerusuhan itu.”
”Jadi, kau datang ke sini hanya untuk melihat bunga? Atau malah menziarahiku karena kau menganggapku sudah mati.”
”Aku selalu datang ke sini untuk melihat bunga. Kau sendiri?”
”Aku datang ke sini untuk sedikit mengenang kejadian di masa lalu, dan melihat bunga.”
”Bunga di taman ini memang indah untuk dilihat, dan kenangan selalu terpendam dalam setiap keindahan. Aku kini paham: Mengapa keindahan selalu terletak pada kemurungannya?”
”Aku seperti pernah membaca kalimat itu? Entah di buku yang mana?”
”Orhan Pamuk!”
”Oh, ya, Orhan Pamuk! Apakah ia pernah melihat bunga sakura?”
”Mungkin belum. Mungkin juga sudah. Tapi, mungkin apabila ia datang ke Gwangju dan melihat bunga sakura di kota ini setelah kerusahan, pasti ia akan menulis mengenai kota ini. Bukan mengenai Istambul!”
”Ah, ya, semuanya bisa terjadi!”
”Kenyataannya, dunia kita penuh kemungkinan?”
”Juga seperti pertemuan kita hari ini? Setelah kita tidak bertemu sejak 1980, kalau tidak salah?”
”Kau benar!”
”Jadi kau pergi ke mana setelah kerusuhan itu?”
”Sejauh yang bisa aku lakukan...”
”Bisa untuk apa?”
”...”
”Apa kabar? Kau terlihat masih sama seperti terakhir kita berpisah?”
”Sebelum datang ke sini, aku tadi melewati penginapan yang pernah menjadi tempat kita hidup bersama dahulu.”
”Yang kita penuhi dengan rapat-rapat.”
”Yang kita penuhi dengan semangat demokrasi.”
”Tempat kita selalu menghujat Choi dan kediktaktorannya!”
”Pemimpin yang payah!”
”Pemimpin yang tak punya selera seni.”
”…”
”Tempat kita...”
”...”
”...”
”Kau sendiri terlihat masih sama, Kang? Apakah kau sudah menikah?”
”Aku memilih untuk tidak menikah, Kim.”
”Lalu?”
”Lalu? Maksudmu dengan ‘lalu’?”
”... mengapa kau tidak menikah?”
”...”
”Maaf-maaf, aku terlalu mencampuri kehidupanmu, Kang.”
”Ah, tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya sulit untuk menjelaskan saja.”
”Lalu, bagaimana dengan teman-teman kita?”
”Mereka yang selamat dan tidak tertangkap menjalani hidup dengan normal. Mereka yang tertangkap.”
”Hilang?”
”Aku juga tidak tahu harus menyembutnya apa... antara mati atau hilang….”
”Seharusnya kekacauan itu tidak terjadi bila pemimpin kita mendengar suara rakyat dan semangat demokrasi.”
”Tidak ada kekuasaan yang tunduk oleh rakyat!”
”Dan militer adalah senjata untuk menundukkannya!”
”Dan banyak kawan kita yang gugur karena peluru mereka!”
”Apakah mereka dikubur dengan cara layak?”
”Aku tidak tahu, Kim! Mungkin! Tapi mereka mati dengan cara yang luar biasa! Menegakkan keadilan!”
”Semoga Tuhan melindungi jiwa mereka!”
”Amin.”
”Jadi, kau selamat?”
”Kau seperti tidak senang melihatku masih hidup? Kau sudah menyatakan hal ini dua kali!”
”Oh, tidak... aku hanya...”
”Tolong... bila aku ada salah kepadamu, tolong, maafkan aku, Kim...”
”Kau sama sekali tidak memiliki salah denganku, atau apa pun?”
”Lantas, mengapa kau seperti terkejut dan tidak suka melihatku?”
”Oh, seharusnya... aku hanya...”
”Baiklah, Kim. Aku memang memiliki salah denganmu. Aku seharusnya tidak meninggalkanmu waktu itu. Tapi, kau harus tahu, bahwa teman-teman kita membutuhkanku.”
”Aku mengerti, Kang! Kau tidak perlu merasa berdosa! Kau pergi tidak hanya didorong oleh semangatmu mengenai masa depan negeri ini, tapi juga mengenai semua kenanganmu tentang rezim lalim itu.”
”Ah, sepertinya aku sudah banyak membebani hidupmu sejak dahulu hingga perpisahan itu. Makanya, kau masih mengingat masa laluku, hingga sekarang!”
”Sama sekali tidak, Kang! Malah aku ingin berterimakasih! Tanpamu, aku pasti hanya menjadi kutu buku dan hanya berbicara saja!”
”Matamu masih terlihat begitu cerdas, Kim!”
”Maafkan aku sudah mengkhianatimu dan teman-teman, Kang!”
”Kau tidak pernah mengkhianati kami!”
”Tapi seharusnya aku ikut denganmu waktu itu. Bukan malah menghalangimu dan, pergi...”
”Hanya orang bodoh yang mendatangi demonstrasi itu, Kim!”
”Tapi, orang pengecut adalah pengikhanat yang harus dilaknat!”
”Siapa yang mengatakan kau pengkhianat?”
”Aku merasa diriku adalah pengkhianat. Harusnya aku ikut denganmu dan teman-teman untuk menggulingkan rezim kolot itu! Kita sudah berjuang bersama! Tapi aku malah...”
”Begitu mengerikan! Kami semua seperti orang bodoh yang menyerahkan tubuh kami pada kekuasaan. Sebagian dari kami juga mati dengan cara yang bodoh. Kim, bila kau melihat bagaimana tubuh-tubuh itu dihancurkan oleh peluru para militer, kau pasti akan melihat betapa bodohnya semangat kami!”
”Mengapa kau bicara seperti itu? Kang...”
”Terkadang aku menyesal juga melakukannya... Terkadang aku ingin mengulang lagi waktu itu... Waktu di mana kita...”
”Waktu di mana kita berpisah?”
”Waktu di mana kita berpisah!”
”Waktu di mana kita saling bergandeng tangan?”
”Waktu di mana kita saling bergandeng tangan!”
”Waktu di mana kita berpelukan?”
”Waktu di mana kita berpelukan!”
”Waktu di mana kita berpisah, saling bergandengan tangan, dan berpelukan?”
”Waktu di mana kita berpisah, saling bergandengan tangan, dan berpelukan?”
”...”
”...”
”Aku bahagia kau masih sehat, Kang.”
”Terima kasih. Dan kau masih sama cantik seperti dahulu. Kau sudah menikah?”
”Aku sudah memiliki dua anak. Mereka sudah bekerja. Dan salah satu dari mereka kini baru saja menikah.”
”...”
”...”
”...”
”...”
”Aku bahagia mendengar kau sudah menikah, dan memiliki hidup yang normal, Kim.”
”Tidak sepenuhnya normal, Kang.”
”Paling tidak, kau bisa melanjutkan hidupmu setelah kerusuhan dan pembantaian hebat yang pernah terjadi di kota ini.”
”Menikah, aku pikir, bukan suatu cara hidup dengan normal.”
”Lalu? Apa arti menikah? Bukannya kau sudah memiliki dua anak, dan sebentar lagi akan menjadi seorang nenek, Kim?”
”Menikah dan memiliki anak, bukan berarti kau sudah hidup dengan normal!”
”Lalu, apa arti semua itu untukmu, Kim?”
”Aku hanya mengutuk diriku sendiri!”
”Mengutuk dirimu?”
”Ya, menikah adalah caraku menghukum diriku sendiri! Karena bagi wanita, dunia setelah pernikahan adalah ketidakbebasan serta ketidakleluasaan untuk apa pun yang dilakukannya. Segalanya, terikat!”
”Anak-anakmu itu apa artinya? Kau jangan permainkan keluargamu, Kim! Mereka adalah orang-orang yang mencintaimu!”
”...”
”Jika kau menganggap pernikahanmu sebagai kutukan? Itulah pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan!”
”...”
”Kau masih ingat bukan, bagaimana kita dahulu? Walau hidup dalam tekanan, ketakutan, dan teror untuk hilang karena menentang rezim Choi yang fasis, kita masih bisa bersama! Ingat itu, Kim!”
”...”
”Apa arti kebersamaan kita dahulu dalam menentang rezim yang lalim dan pelupa itu? Semua itu adalah rasa kekeluargaan kita! Tanpa itu, negara kita kini masih sama! Tidak ada perubahan!”
”...”
”Tidak seharusnya aku mendakwahmu seperti itu, Kim!”
”Mungkin aku memang salah!”
”Sudahlah, lebih baik kita lupakan kejadian di masa lalu itu.”
”Maafkan aku, Kang. Maafkan aku...”
”...”
”Kau datang ke sini dengan keluargamu, Kim?”
”Aku datang sendiri, Kang.”
”Kau?”
”Tidak ada yang aku miliki di dunia ini setelah kerusuhan itu, selain kenangan mengenai teman-teman yang kita terkena tembak, ban-ban yang dibakar, ratusan peti mati para demonstran yang mati terkena tembakan militer. Oh, sekali lagi, aku malah mengingat peristiwa itu, Kim. Tidak seharusnya! Maafkan aku!”
”Tidak seharusnya aku meninggalkanmu waktu itu.”
”Kau sudah melakukan tindakan yang tepat, Kim.”
”Tapi, kau ... tahu ....”
”Kota ini seperti neraka, Kim. Militer ada di mana-mana. Koran-koran yang tidak mendukung pemerintah diberedel. Media-media tak ada yang boleh membicarakan peristiwa itu.. Negara melakukan sensor besar-besaran atas kerusuhan yang terjadi di tahun 1980 itu. Lebih dari itu, Kim! Banyak di antara kami yang masih berusaha berjuang ditangkap dan hilang. Mungkin itulah alasanku tak memiliki siapa pun setelahnya. Apalagi setelah kau....”
Kim meraih tangan Kang, ”Maafkan aku, Kang.”
Baca juga : Kejadian-kejadian dari Loteng Lantai 25
”Cerita ini mungkin bisa lebih indah, Kim. Tapi kita hidup di dalam diorama. Kisah ini mungkin akan lebih indah. Tapi kita hidup dalam diorama.”
”Kau masih mengingat larik puisi itu?”
”Aku tak bisa untuk melupakan puisi tulisanmu itu, Kim.”
”Waktu itu aku tak sengaja menulisnya. Puisi yang buruk dan melankolis. Sangat kekanak-kanakan, bagiku, Kang!”
”Tapi, hanya ini yang aku miliki setelah segalanya berubah! Setelah segalanya menghilang.”
”...”
”Seandainya semuanya bisa diubah!”
”Cukup, Kang...”
”Aku sama sekali tidak menuduhmu atau menyalahkanmu.”
”Tapi aku merasa terluka...”
”...”
”...”
”Kim?”
”Iya?”
”Sudah banyak yang berubah di dalam hidup kita. Sudah tidak ada lagi kerusuhan. Teman-teman kita yang meninggal pada keributan itu pun mungkin sudah terlupakan. Rezim Choi yang lalim pun mungkin sudah termaafkan—walau dengan banyaknya darah dan air mata. Dan setelah semua itu, mungkin ada baiknya kita saling memaafkan.”
”...”
”Mengapa kau hanya diam saja, Kim?”
”...”
”Kim?”
”Iya?”
”Kau benar-benar datang ke tempat ini untuk melihat bunga?”
”Aku benar-benar datang ke tempat ini untuk melihat bunga.”
”Kau benar-benar datang ke tempat ini untuk melihat bunga?”
”Aku benar-benar datang ke tempat ini untuk melihat bunga!”
”Jadi, setelah ini, kita tidak perlu menangis, Kim!”
”Kita memang tidak perlu menangis, Kang!”
”...”
”Tapi bila menangis, kita bisa lebih baik, mengapa tidak, Kang?”
”Oh, tidak, Kim. Tidak ada sesuatu yang menyedihkan dari sebuah bunga yang berguguran. Bukankah, kau datang ke tempat ini untuk melihat bunga, Kim? Bukan untuk menangis?”
”...” (*)
Risda Nur Widia. Bukunya cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya tersiar di sejumlah media.