Kejadian-kejadian dari Loteng Lantai 25
Suatu kali, aku melihat mobil hitam besar memuntahkan pria-pria berseragam yang mencangklong laras panjang. Mobil itu dibuntuti truk besar bermuatan puluhan orang.
Aku tinggal loteng apartemen lantai 25, sendirian, dan hanya ditemani makanan terbatas. Di kota ini, apartemen lantai 25 tak terhitung jumlahnya, bergerombol–yang lebih tinggi lagi banyak. Jalanan yang membelah seperti anak ular yang sedang merintih kesakitan.
Setiap hari Minggu, jalanan riuh di bawah sana oleh suara rentetan tembakan dan jeritan. Tiap kali aku mengintip dari lubang tembok, berbeda-beda peristiwa yang terjadi.
Suatu kali, aku melihat mobil hitam besar memuntahkan pria-pria berseragam yang mencangklong laras panjang. Mobil itu dibuntuti truk besar bermuatan puluhan orang. Saat peluit berbunyi, puluhan orang itu keluar dan disuruh berbaris rapi. Salah satu pria berseragam meletakkan tape di pinggir jalan dan memutar lagu kebangsaan negaranya. Ia menyuruh para tawanan menari mengikuti tiap ketukan lagu. Sama sekali tak peduli pada kondisi tawanan yang di antaranya kakek-kakek, orang cacat, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak kecil. Siapa pun yang membangkang, dahi harus berlubang.
”Bakar tumpukan sampah ini!” teriak pria berpeluit setelah melubangi dahi semua tawanan karena tak ada yang mampu menari seharian penuh.
Badanku gemetar saat api dan asap membubung tinggi berasal dari daging-daging malang itu. Baunya begitu menusuk hingga merasuk ke lubang tembok tempatku mengintip.
Peristiwa yang kuceritakan tadi terjadi 5 bulan lalu. Minggu-minggu berikutnya hampir sama, kecuali hari Minggu kemarin. Pada waktu ritual pembakaran mayat, ada yang berani melongokkan kepala melewati jendela lantai 5 apartemen seberang. Tangan kirinya menggenggam bom molotov, lantas ia lemparkan ke mobil-mobil hitam besar itu dan meledakkan di sekelilingnya.
Beberapa jam setelah itu, muncul mobil hitam besar lain yang memuntahkan pria-pria pembawa meriam panggul. Adu ledakan pun terjadi. Aku tak berani lihat. Takut kalau salah satu bom mereka melesat ke loteng ini.
Berdiam lama di loteng membuat aku lupa dengan hari dan tanggal. Bertahan hidup–hanya itulah fokusku. Sering kudengar bisik-bisik lirih pada malam hari yang senyap dari lantai ke lantai dan dari apartemen ke apartemen menyerupai dengung lebah. Salah satu bisikan yang kutangkap bercerita putus-putus mengenai orang-orang sebangsaku di seluruh penjuru apartemen mulai merencanakan perlawanan serentak. Semuanya harus ikut dan siap jadi abu.
Maka, malam-malam setelah itu–termasuk malam tadi–masing-masing orang melongokkan kepala melewati jendela, kecuali kepalaku. Mereka sibuk bertukar informasi lewat katapel. Meski tengah malam orang-orang berseragam tidak datang, aku tetap belum berani menampakkan diri. Geliat perlawanan itu hanya kutonton lewat lubang tembok sambil memakan remah roti dan menjilat jari-jari yang kucelupkan ke dalam kaleng susu bubuk. Aku belum mau melawan. Aku hanya mau Kakek Ukaba kembali secepatnya. Stok makanan hampir habis.
***
Suatu hari terjadi percakapan di antara kami pada hari pertama tinggal di apartemen ini.
”Di sinilah kita sekarang. Selama aku pergi, kau jangan pernah menampakkan diri apa pun yang terjadi. Kau masih muda dan kuat. Sayang jika nyawa kausia-siakan begitu saja. Biarkan Kakek yang keluar mencari makanan. Kau di sini saja. Kau suka loteng ini, kan?”
Aku mengangguk.
”Nah, urusan Kakek menerjang-nerjang. Urusanmu bertahan hidup. Kalau Kakek pergi nanti, kamu mau makan apa?”
”Roti dan susu.”
”Itu lagi? Dari dulu kau tak pernah berubah, ya. Tidak mau makan kentang goreng?”
Aku menggeleng.
”Sosis dan keju?”
Aku menggeleng.
”Daging asap?”
”Cukup itu saja, Kek. Asalkan Kakek kembali, aku tidak peduli makan apa.”
Kakek menghela napas panjang. Sudah sering aku minta padanya untuk tukar posisi. Namun, ia terus saja bilang kalau aku masih muda dan kuat. Jangan sia-siakan nyawa. Lagi pula, jika aku keluar, siapa yang bisa menjaminku memperoleh stok makanan? Sejauh yang kutahu, Kakek Ukaba bergabung dengan banyak organisasi. Mungkin dari situ makanan berasal. Akhirnya aku menyerah dan berdiam diri di loteng sendirian. Aku hanya bisa berharap loteng atau gedung ini tidak roboh terkena sasaran meriam.
***
Kehidupanku di apartemen sangatlah sederhana. Ketika waktu tidur tiba, aku memasuki drum bekas wadah minyak dalam ruangan tanpa penerang lampu. Ketika waktu makan tiba, aku membuka kaleng susu, menjilat jari-jari yang tercelup ke dalamnya sembari menggigit sepotong roti. Ketika waktu santai tiba, aku mengintip peristiwa di jalanan bawah sana lewat lubang tembok bekas sasaran meriam. Sejak kepergian Kakek Ukaba 8 bulan yang lalu, hanya itu rutinitas yang kulakukan.
Aku ingat saat pertama kali singgah ke sini. Untuk mencapainya, kami harus melewati saluran air berbau lumpur di bawah tanah bermil-mil jauhnya. Hanya itu satu-satunya jalan yang aman. Keluar hanya jika suara-suara di atas tanah menghilang. Aku tidak tahu apartemen ini milik siapa. Yang jelas penampakannya sangat bobrok dan kosong. Hampir semua dinding berlubang. Hanya satu yang masih utuh karena tertempel potret orang yang menyebabkan semua kekacauan ini. Dari keseluruhan, apartemen ini lebih menyerupai pria tua bongkok yang sakit-sakitan sepanjang tahun dan sangat jarang tidur maupun makan.
Di sinilah kita sekarang. Selama aku pergi, kau jangan pernah menampakkan diri apa pun yang terjadi. Kau masih muda dan kuat. Sayang jika nyawa kausia-siakan begitu saja. Biarkan Kakek yang keluar mencari makanan. Kau di sini saja. Kau suka loteng ini, kan?
Namun, kehidupan di apartemen ini jauh lebih baik daripada rumah kami sebelumnya yang hanya gubuk reyot tanpa masa depan. Bahkan, saat apartemen ini resmi ditinggalkan penghuninya, masih menyisakan sekarung kentang mentah dan sebungkus susu saset di kulkas. Jatah persediaan perut yang kuhabiskan 6 bulan kemudian, meski di antaranya ada yang sudah basi.
Baru sehari-semalam kami tinggal, Kakek Ukaba sudah pergi dan belum kembali hingga sekarang. Dia pria yang tangguh, aku akui itu. Sejak kecil, aku tinggal bersamanya karena Ayah meninggal dunia saat bekerja di pertambangan timah, sementara Ibu tiada saat melahirkanku. Meskipun tinggal di dalam gubuk reyot, Kakek memiliki beberapa bidang tanah yang diolahnya sendiri menjadi kebun jagung dan ubi jalar. Ia pernah berencana menjual tanah-tanah itu untuk ditukarkan dengan rumah berdinding bata merah. Sayang, belum lama setelah pikiran itu muncul, tersiar kabar di radio bahwa orang asing dari Partai Hitam mulai menjelajahi negeri kami dan menumpas siapa saja yang dianggap membangkang. Akhirnya, tanah dan gubuk reyot kami tinggalkan begitu saja demi keamanan.
***
Selama delapan bulan, aku pernah menderita sakit perut enam kali, sakit kepala sepuluh kali, dan tubuh gatal-gatal dua kali. Mungkin karena bajuku tidak pernah kucuci dan tubuhku jarang terbilas air. Di sini juga tidak ada dokter maupun obat-obatan. Sementara persediaan air sangat terbatas karena pompa mati dan hanya kugunakan untuk merebus kentang atau membuat susu hangat.
Ada banyak hal yang patut kusyukuri–salah satunya karena bisa hidup hingga sekarang dan masih terus berharap Kakek Ukaba kembali ke sini. Lainnya, untung aku tak punya jenggot sehingga tak perlu repot-repot bercukur. Aku ingat di tempat tinggalku dulu, ada seorang pria jantan yang penampakannya menyerupai kera besar. Namanya Bamadi. Ia punya hobi jalan-jalan telanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek yang ketat. Bulu-bulunya menyebar dari betis, paha, perut, dada, hingga jenggot yang tersambung dengan bulu rambut lainnya di bawah telinga dan bawah hidung. Khusus jenggot, ia biarkan memanjang hingga dada. Ia pernah berseloroh bahwa apa yang ada di dalam celana lebih lebat lagi dan keriting. Menurutnya, punya banyak bulu itu jantan dan seksi karena bisa jadi pemikat gadis-gadis jelita. Tapi aku tidak berpikir sejauh itu. Aku pasti kerepotan kalau punya bulu sebanyak itu.
***
Pagi ini sangat lengang. Persediaan makanan habis. Perutku keroncongan dan melilit kadang-kadang. Setelah meregangkan tubuh dengan susah payah, aku keluar dari drum. Tanpa menuju kulkas di lantai bawah, aku berjalan gontai ke lubang tembok. Jalanan itu sepi. Kadang terdengar juga lenguhan dari apartemen sebelah. Suasana selengang itu pasti ada yang tidak beres. Padahal ini hari Minggu.
Langsung saja, aku berbalik dan cepat-cepat menuruni tangga menuju lantai 23. Dekat mesin cuci, ada sebuah radio yang berdiri di atas meja kecil. Radio itu milik Kakek Ukaba. Sebelum pergi, ia berpesan kalau aku jangan sampai jadi anak muda yang kuat, tapi bodoh. Simaklah radio setiap hari ketika suasana memungkinkan, kata Kakek suatu hari. Namun, aku tidak sepenuhnya mematuhi kata-katanya. Bahkan semenjak ia pergi, baru 5 kali ini aku berani menyetel radio. Telinga orang-orang dari Partai Hitam itu tajam! Bahkan mereka mampu mendengar bisik-bisik di dalam apartemen ketika lagu kebangsaan diputar lewat tape.
Baca juga: Air Mata yang Sangat Tua
Entah kenapa, hari ini aku ingin menyetel radio. Namun, volume suaranya kuatur rendah-rendah. Kuputar penyetel saluran mondar-mandir ke kiri dan ke kanan. Tidak seperti sebelumnya, kali ini hanya ada suara seperti hujan deras. Saluran kosong!
Setelah itu, aku bergegas kembali menuju loteng. Aku mengintip kembali keadaan di luar lewat lubang tembok. Di kejauhan sana, nampak beberapa ekor pesawat terbang mondar-mandir mengitari pucuk-pucuk gedung. Lalu terdengar suara “bum” ketika bom-bom dari udara dijatuhkan. Beberapa pesawat di belakang yang menyusul tidak menjatuhkan bom, melainkan terbang lurus ke arahku.
Melihat kejadian ganjil itu, rasa lapar di perut tak kuhiraukan lagi. Aku kembali menuruni tangga dan membawa radio Kakek menuju lantai-lantai berikutnya. Berharap lorong panjang bawah tanah yang hendak kutuju masih seaman dulu.
Sebelum meninggalkan apartemen, aku menempelkan kertas yang berisi ucapan selamat tinggal pada Kakek Ukaba. Catatan itu kutempelkan persis di bawah potret orang yang mengacaukan negeri ini.
***
Purworejo, 03 Mei 2021
Seto Permada adalah nama pena dari Muhammad Walid Khakim. Ia berdomisili di Purworejo, Jawa Tengah. Beberapa kali karyanya termuat media lokal dan media online.