Air Mata yang Sangat Tua
Di masa muda, berkali-kali aku jatuh cinta kepada seseorang. Tentu saja aku berpikir untuk menikah dengan mereka, tetapi menikah tidaklah segampang bercumbu.
Apa yang tersisa dari masa muda? Tak banyak, yang paling nyata adalah seonggok tubuh tua yang kehilangan pesona. Tak ada sisa kecantikan yang bisa dipungut. Kulit yang begitu kusam dan berkerut, sehingga butuh banyak kosmetik dan peremajaan untuk menjadikannya kencang dan berseri kembali. Tapi tetap saja, usaha apa pun untuk tetap terlihat muda adalah omong kosong. Sebab, tak ada manusia mana pun yang benar-benar bisa menghentikan waktu. Sebanyak apa pun pengencang kulit yang kau gunakan, usia takkan bisa kau sembunyikan.
Beberapa bulan terakhir ini, aku sangat gelisah. Setelah puluhan tahun perasaan itu mati, kini bangkit kembali. Aku tak pernah memikirkan dan merindukan seseorang dalam waktu yang lama. Aku sadar bahwa aku jatuh cinta lagi. Pada seseorang yang barangkali lebih pantas menjadi cucuku. Seorang mahasiswa kedokteran berusia duapuluh tahun. Begitu cerdas, sopan, dan wajahnya enak dipandang. Aku tahu umurku terlalu tua untuk kembali jatuh cinta. Tapi, siapa yang bisa mencegah perasaan itu. Perasaan yang begitu halus, datang dan menyusup begitu saja. Seperti air yang meresap ke celah-celah tembok. Perlahan, tapi pasti.
Aku benar-benar tahu perasaan itu, hangat dan berdegup. Seperti secangkir minuman yang berguncang dalam gelas dengan asap mengepul. Lambat laun, sedikit demi sedikit ada yang meleleh dan tumpah.
Dulu, sewaktu muda, aku selalu mengutuk orang-orang yang bertanya padaku, ”Kapan kau akan menikah?”. Mengapa seseorang harus menanyakan itu kepada orang lain, pikirku. Apakah menikah adalah sebuah kebanggaan? Sebuah puncak keberhasilan dari geliat hidup seseorang? Aku punya banyak kawan yang menikah, dan mendadak kebanyakan dari mereka jadi pengeluh, kehilangan selera humor, serta sangat sibuk.
Berbagi hidup untuk orang lain tidaklah semudah kedengarannya. Akan selalu ada kelokan yang berbeda. Sudut pandang yang saling menghantam.
Pertengkaran-pertengkaran kecil dengan pasangan bakal membuat wajah semakin tampak tua. Lebih-lebih, setelah mereka beranak pinak. Keluhan mereka bakal berlipat-lipat, betapa mereka tak punya banyak waktu. Hidup mereka habis untuk mengganti popok dan mengelap muntahan bayi. Tak ada lagi waktu berkumpul dengan teman. Tak ada lagi waktu untuk penyaluran-penyaluran hobi. Yang ada hanya popok dan muntahan dan teriakan dan kecemasan dan rasa lelah yang bertumpuk. Sebab, anak-anak tak akan berhenti sampai di situ.
Setelah usai masa bayi, mereka akan terus tumbuh dan kemudian berlendir, terutama di bagian mulut dan hidung. Mereka akan berbau amis, lalu mereka pipis dan berak di celana, dan seseorang harus mencebokinya. Itu pula alasanku tidak menyukai anak-anak. Sehingga lambat laun terpatri dalam pikiranku, bahwa tidak menikah bukanlah keputusan buruk. Aku tak mau cepat tua, dan aku masih ingin menikmati hidup, pergi ke suatu tempat tanpa harus pulang terburu-buru. Seseorang masih bisa hidup dengan baik meski mereka tidak menikah.
Di masa muda, berkali-kali aku jatuh cinta kepada seseorang. Tentu saja aku berpikir untuk menikah dengan mereka, tapi menikah tidaklah segampang bercumbu. Karena prinsip hidup yang kupegang, hubunganku tidak pernah berjalan baik hingga orang-orang yang kucintai perlahan melepaskanku. Aku pun melepaskan mereka. Ada sedikit patah hati. Lalu tumbuh lagi perasaan itu, berulang lagi, patah lagi, tumbuh lagi. Begitu beberapa kali. Sebelum akhirnya mati suri. Dan mereka semua, pria-pria yang pernah mengisi hatiku di masa lalu, semuanya telah menikah, beranak pinak, dan menua, lalu memiliki beberapa cucu.
Dalam kurun waktu yang tak kuhitung itu, keputusanku untuk tidak menikah semakin kokoh. Maka, kelajangan itu terus kupertahankan sampai tiba-tiba aku sadar, bahwa tidak menikah bukan berarti umurmu tak bisa bertambah. Masa muda itu raib begitu saja dari diriku. Seperti seonggok menu dalam piring yang kau cemil sambil ngobrol, tiba-tiba piring sudah kosong. Masa muda itu tak menyisakan apa pun. Hanya seonggok tubuh tua yang butuh operasi plastik. Lalu, setelah sekian lama, dari sesuatu yang tidak tampak: hatiku yang lama tidak terisi, kini mulai terisi lagi. Aku jatuh cinta lagi setelah hampir lupa bagaimana perasaan itu.
Ketika bertemu dengan bocah itu, dadaku selalu berdegup kencang. Saat dia mengonsultasikan tugas-tugas kuliahnya, kadang bertandang ke rumah untuk bercerita sedikit tentang masalah pribadinya, aku selalu ingin menyentuh dan menggenggam tangannya, menatap matanya sampai ke dalam. Dan mengatakan bahwa aku telah jatuh hati padanya. Namun, dia selalu saja tergesa-gesa dengan urusannya. Dia menyeruku, ”Oma”. Seketika aku terempas ke dalam jurang paling terjal. Panggilan karib itu sangat menyakitkan. Dan dia tak salah. Tokoh pusat yang sedang jatuh cinta dalam cerita ini adalah aku, bukan dirinya.
Saat dia bertemu dengan kawan-kawannya, mengobrolkan para gadis, mengatur sebuah pertemuan, pergi berkemah, dan seterusnya… aku selalu merasa cemburu. Aku tahu, dia akan terus tumbuh, menjadi lelaki dewasa, dan suatu ketika dia akan jatuh cinta kepada seorang gadis, lalu mereka menikah, seperti lelaki-lelaki dari masa mudaku, dan mereka berkeluarga, beranak pinak, bercucu. Dan saat itu, barangkali aku hanya bisa duduk di kursi roda, menginsyafi kerentaan yang tak bisa dicegah. Sambil mengutuki diri sendiri.
Saat usia menjadi begini uzur, aku mulai sadar bahwa di masa muda aku telah melewatkan banyak hal. Prinsip-prinsip di masa muda itu tak pernah bisa membantu ketika umur terus mematuk dan kekosongan perlahan datang lalu bergelung di rongga dada. Dari hari ke hari, aku selalu berharap ada sebuah sihir yang bisa membuatku kembali muda. Menjadi 17 tahun, atau 20 tahun. Dan aku aku akan memulai lagi semuanya dengan lebih baik, dengan benar.
Mencoba hal-hal yang belum pernah kucoba. Terutama menikah, memiliki beberapa anak dan beberapa cucu, lalu menua bersama seseorang yang kucintai. Namun, itu semua hanya angan. Semua orang tahu, selain tak bisa dicegah, waktu juga tak bisa diulang.
Perasaan renta itu bergelung dalam dadaku, dalam segala diriku, semakin dalam. Dan aku tak pernah mengutarakan itu kepada siapa pun. Tentu tak ada yang mau mendengar cerita konyol: seorang nenek-nenek jatuh cinta kepada pemuda duapuluh tahun.
Dalam keheningan kamarku, aku kerap berdialog dengan diriku sendiri.
”Kau harus mengenyahkan perasaan itu jauh-jauh,” kata diriku.
”Perasaan itu tak akan pernah bisa dienyahkan. Mungkin ia bisa pergi dengan sendirinya, tapi tak bisa dienyahkan.” Kata diriku yang lain, menimpali.
”Bagaimana kalau dia punya perasaan yang sama terhadapmu.”
”Itu tak mungkin!”
”Kau lihat sendiri! Sikapnya padamu begitu manis, dia sangat sopan dan perhatian, bertanya apakah kau sudah makan, membawakanmu oleh-oleh kecil saat datang ke rumah, serta memberimu hadiah saat ulang tahun.”
”Semua yang dia lakukan sudah benar. Dia melakukan semua itu karena dia menghormatiku. Seorang dosen tua yang di matanya begitu bijaksana.”
”Kalau begitu, mungkin kau harus menjauhinya. Orang Jawa bilang witing tresno jalaran saka kulina. Asal mula perasaan cinta adalah kebiasaan. Mungkin kau sudah menghabiskan banyak waktu dengannya. Kau terlalu banyak memikirkannya.”
Dan aku pun melakukannya. Mencoba menjauhinya. Aku tak lagi meluangkan waktu untuknya. Semua urusan kampus harus diselesaikan di kampus, kataku. Setiap kali dia menelepon dan bilang mau berkunjung ke rumah, aku selalu bilang bahwa aku sedang sibuk. Terakhir, ketika dia bertanya, apakah aku sehat-sehat saja, apakah ada sesuatu yang bisa dia lakukan untukku, aku balas mengomelinya. ”Mungkin aku memang sudah tua, tapi aku masih cakap melakukan banyak hal,” kataku, ”Kau tak usah khawatir. Akan kuurus diriku sendiri. Dan kau mungkin juga bisa mulai mengurus dirimu sendiri. Kau masih begitu muda, ada banyak hal yang lebih bermanfaat bagimu ketimbang mengurusi urusan nenek-nenek.”
Mungkin kata-kataku terdengar sentimental. Semenjak hari itu, dia tak pernah menghubungiku lagi. Di kampus, dia tetap bersikap sopan seperti mahasiswa lain. Menyapa dengan normal, dan tersenyum saat berpapasan. Kami tak pernah bertemu empat mata kecuali urusan akademik. Dan apakah aku berhasil mengenyahkan perasaan itu? Tidak! Waktu terus bergulir, dan seperti apa pun usahaku untuk mengenyahkan perasaan itu, justru yang hadir sebaliknya, perasaan itu semakin kuat.
Aku tak peduli, sebesar apa pun perasaan itu, aku akan menguburnya diam-diam. Seperti mengubur daun-daun kering di pekarangan rumah. Menjadikannya humus yang menyuburkan tanah itu sendiri.
Terakhir kami bertemu adalah ketika dia diwisuda, dia membawa keluarganya ke rumah. Mengenalkan ayah dan ibunya. Serta saudara-saudaranya. Aku yakin sekali, ayah ataupun ibunya pasti seusia anak-anakku andai kata aku menikah dan memiliki anak. Sungguh membuatku iri, sebuah keluarga yang harmonis, dengan anak-anak yang beranjak dewasa. Sebelum mereka sekeluarga berpamitan, dia menyodorkan sebuah undangan berwarna kuning muda. Dia bilang, dalam waktu dekat ini dia akan menikah. Aku terbengong sejenak. Sesuatu dalam diriku mendadak runtuh. Tak bersisa, seperti rumah lapuk yang kedatangan badai. Roboh serata tanah.
Baca juga : Itu yang Didengar Buyung
Aku ingin mengatakan, bukankah usiamu masih sangat muda, wahai Cintaku. Apakah kau yakin dengan keputusan itu? Entahlah, nyatanya yang keluar dari bibirku adalah ucapan selamat yang gemetar. Gadis mana yang sangat beruntung itu, kataku. Dan dia menceritakan sesuatu yang sejatinya tak ingin lagi kudengar. Aku sudah roboh dan tak ingin mendengar apa pun dari siapa pun.
Ketika dia dan keluarganya berpamitan pulang, dia meninggalkan dua benda di meja. Yang pertama adalah undangan berwarna kunig muda, dan yang kedua sebuah kado. Kenang-kenangan, katanya. Andai dia tahu, meninggalkan kenang-kenangan untuk si tua ini sama artinya dengan menancapkan duri ke dalam daging. Aku tak tertarik membuka isi kado itu, tapi aku tetap saja membukanya, dengan tangan lemah gemetar. Dan kado itu berisi sebuah kain berwarna putih dengan motif mawar merah menyala. Genap dengan duri-duri di tangkainya yang berwarna hijau gelap. Kain yang halus dan indah. Sungguh.
Hampir semalaman aku menangis dalam kesendirianku, tanpa benar-benar tahu apa sebenarnya yang kutangisi. Apakah pemuda yang pergi itu? Ataukah nasib, ketuaan, dan kesendirianku? Tubuh ini begitu tua. Mata ini pun begitu tua, mungkin sebentar lagi terserang rabun. Dan air mata yang tak mau berhenti ini juga air mata yang sangat tua. Hangat dan tua. Aku mendekap kain itu dalam rebahku. Aroma kain baru.
Untuk apa selembar kain ini, tanyaku. Mengapa dia memberiku kenang-kenangan selembar kain. Sebuah mori dengan motif mawar. Mungkin kain ini cukup untuk mengafanimu, jawabku sendiri, tiba-tiba. Ya, mungkin kain ini cukup untuk mengafanimu. Mengafani setiap penyesalan yang tak pernah bisa kau bendung. Mengafani masa muda yang lepas dan tak menyisakan apa pun. Aku menyelimuti tubuhku dengan selembar kain itu. Hidup yang lemah, dingin, dan butuh selimut.
Aku tertidur dan berharap tak pernah bangun. Tak usah bangun.***
Malang, 2018-2020
Mashdar Zainal, lahir di Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya tepercik di sejumlah media. Buku terbarunya, Gelak Tawa di Rumah Duka, 2020. Kini bermukim di Malang.