”Bagaimana, Buyung, Anda bersedia?” Ya, kali ini, Buyung melirik mata si ketua rapat. Dari dalam mata itu, Buyung melihat seekor ular menggeliat. Terus menegakkan kepala. Lidahnya meliuk. Siap menerkam. Buyung memejamkan mata. ”Sialan. Sialan benar,” rutuk Buyung. Sebab tahu, bahwa ini pasti ulah si ketua rapat. Ulah yang berawal dari kasus perdebatan yang terjadi tiga hari yang lalu. Karena Buyung protes pada tata tertib pilihan ketua kampung. Tata tertib yang penuh patgulipat. Tata tertib yang dipakai untuk pilihan kali ini.
”Demit kau!” kata si ketua rapat.
”Loh, demit sendiri!” jawab Buyung.
”Jika protes, dulu mestinya ikut rapat,”
”Bukan rapatnya. Tapi, tata tertibnya yang aku protes,”
”Kenapa?”
”88**222@@@!!!”
”109%%%==++!!!2”
”88**222@@@!!!”
”109%%%==++!!!2”
Perdebatan pun makin sengit. Hampir saja terjadi pergelutan. Untung tak terjadi. Yup, Buyung menelan ludah. Merasa, bahwa saat ini bukan waktunya untuk mengulur-ulur tempo. Buyung hanya merasa, bagaimana mungkin pilihan yang semestinya terang jadi demikian gelap. Demikian dapat diarahkan. ”Oke, jika memang itu yang dikehendaki, aku terima hasil pilihan ini,” tekad Buyung tegas. Dan pada detik itu juga Buyung resmi jadi ketua kampung. Seluruh warga di balai kampung bersorak.
***
Sejak jadi ketua kampung, tiba-tiba ada perubahan pada sekian kepala warga yang ditatap Buyung. Mula-mula, perubahan itu membuat Buyung kelabakan. Antara percaya dan tidak, Buyung harus menerima sebuah kenyataan. Bahwa, banyak kepala dari warga yang ada di kampungnya kerap berubah ketika ditatapnya. Ada yang berubah jadi karung. Ada yang jadi gunting. Ada yang jadi pisau. Ada yang jadi traktor. Dan masih banyak jadi-jadi lainnya. Dan setelah berjalan tiga bulan, setelah berjuang tanpa lelah untuk terbiasa, barulah kekelabakan itu dapat diatasi Buyung.
Dari sekian perubahan itu, Buyung paling heran ketika menatap perubahan dari kepala si tetangga dari ujung kampung dan si tetangga yang bekerja di bengkel. Kenapa? Karena, pada kepala si tetangga dari ujung kampung, kepalanya kerap berubah jadi sekian tanda lalu lintas. Kadang jadi tanda pelan. Tanda melaju. Tanda tak boleh menyalip. Bahkan tanda menanjak. Dan dari sekian tanda lalu lintas itu, yang paling menarik perhatian Buyung adalah tanda berhenti. Tanda yang membuat semua kendaraan tak boleh melaju. Diam di tempat. ”Aneh. Kenapa kok seperti itu?” tanya Buyung pada dirinya sendiri. Jangan-jangan, memang dia, si tetangga dari ujung kampung, punya watak seperti itu. Maunya orang-orang yang ada di depannya mesti berhenti. Hanya dia yang boleh melaju. Dan melaju.
Lalu pada si tetangga yang bekerja di bengkel, Buyung melihat jika kepalanya kerap berubah jadi karung. Karung kumal dengan lubang yang menganga. Seakan ingin mencaplok apa saja yang ada. Bahkan, jika yang dicaplok itu lebih besar dari dirinya, pun segera turut membesar. Dan pernah Buyung melihat karung kumal itu mencaplok rumah tingkat tiga. Rumah yang berada di atas bukit. Rumah milik orang asing. Orang asing yang katanya masih keponakan lelembut penunggu hutan jati. Ah, ini benar-benar tak masuk akal. Dan membuat Buyung sesekali mesti memejamkan mata. Terutama ketika rapat kampung digelar.
***
Malam itu, adalah malam yang keseratus delapan puluh menjadi ketua kampung. Dan selama itu, Buyung tak bisa berbuat apa-apa. Dua kelompok yang saling ingin mengalahkan tetap saling ingin mengalahkan. Sehingga, kampung yang diketuainya itu pun tetap terbelah jadi dua. Apalagi, ketika sudah berhadapan dalam rapat, kepala-kepala dari dua kelompok yang saling ingin mengalahkan itu cepat berubah. Jika kepala kelompok satu berubah jadi api, yang satunya air. Jika jadi hujan, yang satunya lagi kemarau. Mau berpihak ke mana? Tentu saja Buyung tak bisa menjawab. Buyung hanya mendengar dan mendengar belaka. Jadinya, soal-soal yang ada hampir tak pernah menemukan penyelesaian.
Dan ibarat kapal rusak di tengah badai, begitulah adanya diri Buyung selama jadi ketua kampung. Mau ke pinggir, susah. Terus di tengah, takut kapal tak kuat. Hancur terhantam badai. Badai yang berkebatan. Badai yang tak lagi mengenal rasa sayang. Dan badai yang pernah diingat sebagai jalan terbaik untuk menguji keimanan. Apakah keimanan yang tebal, sedang, atau tipis. Jika tebal pasti tenang dan tabah. Jika sedang mungkin sedikit gelisah. Sedang jika tipis mungkin lebih banyak berteriak-teriak sambil menengadahkan tangan: ”Oh, matilah aku. Oh, sialnya aku. Oh, andai tadi tidak berangkat. Oh, badai yang durjana.”
”Hmm, benar-benar peristiwa yang bertafsir seribu,” bisik Buyung ketika berada di sebuah warung. Di depan Buyung, secangkir kopi yang sudah dingin teronggok. Buyung menghela napas. Terus teringat di masa kecilnya dulu. Di masa ketika bersama teman-teman se-TK berkunjung ke kebun binatang. Tentu saja, waktu itu dikawal oleh bu guru. Bu guru yang ramah, riang, dan pintar mendongeng. Apalagi pas di depan kandang gajah, bu guru mengatakan: ”Gajah adalah binatang yang besar, lucu, dan berbelalai. Tapi punya mata alit.” Sedang di depan kandang kancil, bu guru mengatakan: ”Ini si kancil anak nakal. Suka mencuri timun. Tapi cerdas.” Dan bla-bla-bla, Buyung diam-diam tersenyum.
Lalu, Buyung berpikir, apa yang dialami saat ini sebagai ketua kampung, hampir sama dengan kisah waktu berkunjung ke kebun binatang dulu. Dalam arti: jika di kebun binatang, banyak binatang dan banyak ciri serta sifat yang aneh. Sedang di kampung, banyak kepala yang kerap berubah dan banyak pula keganjilannya. Buyung tercekat. Tak berani meneruskan pikirannya. Lalu, dengan perlahan, Buyung meneguk sisa kopinya. Pahit benar rasanya. Tapi kenapa kok membuat dirinya ketagihan pada pahit kopi? Dan kenapa pula dirinya membuang-buang waktu hanya untuk menikmatinya? Buyung membayar kopi. Terus berlalu.
***
”Pak, ada masalah?”
”Apa?”
”Si ketua rapat, Pak, sakit….”
”Kenapa?”
”Cepat ke rumahnya,”
”Apa?”
”Ayo, cepat ke rumahnya,”
Tanpa ini atau itu, Buyung melesat ke rumah si ketua rapat. Di depan rumah si ketua rapat telah berkumpul sekian warga. Seperti biasa, dalam tatapan Buyung, banyak dari kepala sekian warga itu berubah. Rata-rata kali ini, berubahnya lebih dekat ke benda-benda yang mudah bergerak atau bergoyang: air, bendera, rerambut, dan gelembung. Tapi Buyung terus saja masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Buyung melihat si ketua rapat duduk mematung. Si istri menggoyang-goyang tubuhnya. Tapi tetap saja diam. Seakan terbuat dari perunggu.
”Kenapa?” tanya Buyung.
”Entahlah, Pak. Suamiku hanya diam kaku,” jawab si istri.
”Kaku?”
”Ya, kenapa?”
”Tak tahu, Pak.”
”Atau…”
”Entahlah, Pak.”
Buyung meraba nadi di tangan si ketua rapat. Denyutnya masih ada. Buyung melirik ke kepalanya, astaga, kepala itu tiba-tiba berubah jadi mawar yang mekar setelah sebelumnya jadi tembok. Lalu entah bagaimana, tiba-tiba mawar yang mekar itu pun dengan cepat membesar. Membesar. Dan makin membesar. Seakan ingin melingkupi diri Buyung. Tentu saja Buyung mundur. Tapi mawar yang makin membesar itu terus memburu Buyung. Buyung pun makin mundur. Dan keluar rumah.
”Ada apa, Pak?” tanya sekian warga serempak.
”Adakah yang melihat?” jawab Buyung.
”Melihat apa?”
”Mawar itu,”
”Mawar apa?”
”Mawar yang makin membesar dan mengejarku.”
Ternyata, tak satu pun warga yang melihatnya. Buyung tercekat. Sebab tak mungkin menjelaskan lebih jauh. Sekian warga yang melihat jadi keheranan. Lalu ada yang mencoba memegangi Buyung. Buyung menepis. ”Aku mesti bercerita tentang apa yang telah aku lihat. Meski, kalian tak melihat,” kata Buyung. Sayangnya, perkataan itu tak ada yang mendengar. Malahan, sekian warga kampung makin banyak yang mencoba memegangi Buyung. Buyung kembali menepis. Dan itu terus berulang. Sampai Buyung menyerah. Sampai Buyung membiarkan dirinya dilingkupi mawar yang makin membesar itu. Bet-bet-bet….
”Buyung, Anda terpilih jadi ketua kampung,” kembali kalimat itu yang didengar Buyung. Dan, ah, tiba-tiba Buyung merasa telah dikembalikan lagi ke balai kampung. Dan juga kembali mengikuti sebuah rapat pilihan ketua. Tapi, kali ini, bukanlah pilihan ketua kampung. Melainkan, ketua yang lebih tinggi: Ketua desa. Ketua kota. Ketua ibu kota. Bahkan, juga ketua dari sekian ibu kota yang menyatu. Lalu antara sadar dan sebaliknya, Buyung, tiba-tiba, merasa ditarik oleh satu tangan yang tak dikenal. Satu tangan yang begitu kuat tiada tara. Zleb! Buyung meronta. Meronta sambil mendongak. Seperti mendongaknya anak ayam yang baru menetas dari sebutir telur. (*)
Gresik, 2021
Mardi Luhung, Penulis puisi, guru, Ketua RT 006/018 PPS Suci Manyar Gresik, dan tahun 2010 mendapat KLA (Khatulistiwa Literary Award) untuk bidang puisi.
Hadi Soesanto lahir di Jember. Lulus studi di Fakultas Seni dan Desain Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 1994. Aktif mengikuti pameran lukisan di dalam dan luar negeri sejak 1987. Menerima penghargaan dari The ASEAN Art Award pada 1999. Pada 2015, mengorganisasikan penyelenggaraan Yogyakarta International Art Festival di Yogyakarta, diikuti 52 seniman dari 22 negara.