Hikayat Mata Golok
Si tukang daging baik hati lalu menguliti binatang itu, memotongnya beberapa bagian, lalu tangan seorang perempuan menerimanya untuk dimasak menjadi gulai.
Di rerimbun semak perdu kau menggelosor seorang diri. Bocah-bocah kecil sama takut saat pertama kali menemukanmu terapung di antara riak-riak air sungai. Seonggok batang pisang membawamu dari seberang dengan cara begitu rupa. Sungguh kau tak sedang telanjang, dan bocah-bocah mafhum dengan dirimu yang seharusnya. Tak ada yang dapat menyalahkanmu, kecuali kau memilih menyalahkan dirimu sendiri. Beberapa orang menyesalkan kejadian itu, juga kau, karena sebuah nyawa tumpas setelah berurusan denganmu.
Di seketika itu kau tak mengingat apa pun, tapi telah jadi terang bahwa darah itu melumuri badanmu. Ya, darah si manusia yang terbunuh. Kau tak tahu apa pun, terpikir untuk melakukannya pun tidak. Saat beberapa orang berkerumun dan melihatmu sedang telanjang dan berlumuran darah, kau tinggal diam tanpa dapat berkata-kata, membela diri pun tidak. Kau bahkan tak berontak saat garis polisi dilingkarkan melingkup di tempat kejadian perkara.
Kejadian itu hanya seketika, tepatnya dua hari sebelum kau diangkat dari tempatmu tergeletak saat ini. Kau bersyukur, seseorang sedang mengangkatmu, lalu tak berapa lama kau dibaringkan di tempat yang tepat, di rumahnya. Di badanmu tak ada lagi bercak darah atau bau busuk daging manusia yang ternganga dan dikerubungi lalat. Kau lebih tenang, ya, kau tenang dan tak merasa perlu gusar oleh tuduhan-tuduhan yang secara tak langsung memojokkanmu, sebab kau memang tak mengetahui apa pun. Lagipula orang-orang di sekitar tempat terjadinya pembunuhan itu tak lebih dari makhluk pelupa. Mereka akan segera melupakan peristiwa berdarah itu, mereka juga akan segera melupakanmu.
Tak berapa lama kau berada di pasar bersama seorang yang tadi menemukanmu. Di antara daging-daging yang tergantung di kanan dan kirimu tiba-tiba kau merasa mual. Kau pusing, ada sesuatu yang memaksamu nyaris muntah. Daging-daging itu, ya, daging-daging itu memang tak lebih dari daging sapi, atau daging kambing. Tapi kau merasa bertemu dengan sebuah ingatan. Ini bukan perkara remeh, kau yakinkan dirimu sendiri. Kau belum selesai dengan siksaan pusing di kepalamu, kau meraba ingatan yang justru makin kabur. Kau hanya diam, diam, diam dan merenung seperti gunung. Ada perkara yang perlu kau selesaikan. Lalu kau berpikir sangat lama. Tapi siapalah kau, kau bukan siapa-siapa. Kendati matamu sangat tajam, kau tak bisa dengan mudah menggunakan pikiranmu, apalagi memanggil ingatan pada kejadian dua hari lalu.
Kau gelisah, ingin pulang, dan bertanya mengapa suara-suara manusia di sekelilingmu terdengar amat menyebalkan. Kiranya kau butuh beberapa teguk pil penenang, atau obat pereda nyeri yang mungkin saja dapat membikinmu membaik. Tapi tidak, takdir yang ditimpakan kepadamu membuatmu tak punya hubungan apa pun dengan industri farmasi. Kau kuat, membaja, dan keras bagai dirimu sendiri. Cepat atau lambat kau akan pulih dari kondisi kejiwaan yang kacau itu. Sekali lagi, kejiwaan. Bagaimanapun kau masih berjiwa, atau lebih tepat jika disebut: kau berjiwa, tergantung pada siapa yang berada di dekatmu. Demikianlah, setidaknya saat ini kau merasa perlu berdamai dengan dirimu sendiri.
Kau menemukan setitik kebaikan, dan kebaikan demi kebaikan terus merasuki benakmu. Nyatanya orang yang menemukanmu adalah orang yang cukup baik. Ia menyayangimu, merawatmu, dan tak dapat membiarkanmu berlama-lama berlepot darah dan bau amis. Suatu hari ia bahkan mengganti gagangmu yang patah dengan kayu bermutu tinggi. Ia menyayangimu, dan kau pun kemudian menyayanginya. Kau jadi kesayangannya, bukan tanpa alasan, itu karena kau adalah yang paling tajam di antara kepunyaannya yang lain. Diam-diam lalu kau berjanji pada dirimu sendiri, kau akan menjaga pemilikmu itu bahkan hingga titik darah penghabisan. Dan diam-diam kau juga memberi nama pemilikmu itu sebagai si tukang daging baik hati. Hanya itu, tak ada nama lain di pikiranmu, dan lagipula kau tak tahu, bahkan tak pernah ingat siapa nama aslinya.
Kini tak ada lagi siksaan dari bau amis atau bercak darah atau rasa mual yang mungkin saja memojokkanmu. Kau bahkan bisa berteman dengan lalat-lalat yang berseliweran di antara daging-daging yang tergantung di palang besi. Kau senang, seperti tanpa alasan, dan kau dapati dirimu sebagai makhluk yang paling berbahagia. Di waktu luangmu kau gemar mencuri dengar pembicaraan ibu-ibu yang menggerutu soal naiknya harga sembako, soal anak-anaknya yang kadang ugal-ugalan di jalan, soal suami-suami yang susah bangun pagi, bahkan di waktu yang lebih jarang lagi mereka turut memperbincangkan kebijakan kepala negara dan menteri pertahanan. Sedap betul, pikirmu. Dan makin jelaslah, tak ada alasan lagi kau perlu membenci hiruk-pikuk pasar di mana pemilikmu mencari pundi-pundi.
Kau senang, pemilikmu juga. Dirasanya kau merupakan bagian dalam hidupnya yang membawa untung. Tak terasa sudah lima tahun kau hidup bersama tukang daging baik hati itu. Tenang. Damai. Kau pun mulai dapat merekam kehangatan keluarga kecilnya. Kau menjadi kepercayaannya dan keluarga kecilnya itu, bahkan mereka nyaris selalu melibatkanmu dalam saat-saat paling genting.
Dengan percaya penuh padamu, ia dapat begitu mudah mengalirkan pundi-pundi dari kerjanya. Lagipula ia memang baik, dan orang-orang sama memujinya, atau sekali-dua ada yang mengundangnya memotong hewan untuk acara selamatan.
Hingga suatu ketika datang undangan buatnya memotong hewan di kampung seberang sungai. Dengan wajah sumringah ia menyeberang sungai menumpang pada perahu kayu. Dengan senang hati kau ikut bersamanya, terselip tenang di ikat pinggang yang ia sediakan khusus sebagai tempatmu berlela. Arus sungai yang tak begitu deras menghadirkan cerita masa silam tersendiri buatnya, juga buatmu. Lalu tiba-tiba ada hal ganjil menyerobot di tengah-tengah ketenanganmu. Kau gusar, tapi kau tahan. Saat si tukang daging baik hati tiba di kampung seberang sungai, berangsur-angsur kegusaranmu makin terang, tapi kau tetap tak dapat mengingatnya. Maka kau menahan diri hingga tugas yang dipercayakan kepadamu benar-benar tuntas. Matamu yang berkilat tajam berhasil menghadiahi seekor kambing gemuk untuk hajatan selamatan. Ya, leher binatang itu kau bikin menganga dengan darah segar yang menyembur, membikin binatang itu kejang-kejang dalam sakaratul maut.
Si tukang daging baik hati lalu menguliti binatang itu, memotongnya beberapa bagian, lalu tangan seorang perempuan menerimanya untuk dimasak menjadi gulai. Beberapa bentar kemudian dibersihkannya kau hingga lenyap noda-noda darah yang melumuri tubuhmu. Ia lalu meninggalkanmu di beranda depan beberapa saat, sebab si tuan rumah merasa perlu menjamunya bersantap pagi. Kau diam, mengumpulkan napas yang tinggal satu-satu. Kau menunggu dengan kesabaran tingkat tinggi, namun kegusaran yang tadi menguasaimu mulai kembali mengambil alih. Sementara tuanmu terdengar masih berbincang dan berbasa-basi begitu akrabnya dengan si tuan rumah yang ternyata adalah kawan lama saat duduk di bangku sekolah kejuruan. Kau menunggu, masih menunggu hingga seperempat jam lamanya. Terdengar suara gelak tawa sambung menyambung, dan tampaknya si tukang daging baik hati belum mau undur diri dalam reuni dadakan itu.
Hingga suatu ketika datang undangan buatnya memotong hewan di kampung seberang sungai. Dengan wajah sumringah ia menyeberang sungai menumpang pada perahu kayu.
Kau menunggu begitu sabar hingga datang seorang lelaki yang tampak tak asing bagimu. Sesaat kau dapat mencium aroma tubuhnya dari kejauhan sambil meraba-raba ingatanmu yang centang perenang begitu degilnya, tapi kau hanya temukan kekosongan. Kau lupa siapa lelaki itu, tapi ingatanmu tak mau menjadi alpa. Kau lalu ingat, sekadar ingatan lamat-lamat yang kadang menipu. Kau lalu sungguh-sungguh ingat, lelaki itu adalah lelaki yang pernah melibatkanmu dalam suatu pembunuhan berencana. Kau sungguh-sungguh ingat, lelaki itu adalah lelaki yang pernah melibatkanmu dalam suatu pembunuhan berencana demi merebut harta warisan yang bukan haknya. Kau sungguh-sungguh ingat, lelaki itu adalah lelaki yang pernah melibatkanmu dalam suatu pembunuhan berencana yang memang ia rencanakan demi merebut harta warisan pada lima tahun lalu. Lalu perlahan kau ingat si mati. Kau berani bersaksi dengan tubuhmu sendiri bahwa kau diayunkan dua kali ke leher si almarhum.
Mendung hitam terasa mengangkangi benakmu. Perasaan geram dan muak bercampur-baur jadi jalinan yang membikinmu mendidih sekaligus ingin meludah. Dan entah kenapa kumis tebal yang memayungi bibir lelaki itu membikinmu makin sebal. Kau bertanya-tanya sekaligus hendak menuntut, bagaimana bisa pembunuh itu tak ditangkap dan dijebloskan di jeruji besi seumur hidup. Dan bagaimana bisa polisi tak tahu kebusukannya yang tega menghabisi nyawa saudara kandung itu. Dengarlah pembunuh, kau mesti menebus perbuatanmu!, ucapmu tanpa seorang pun mendengar. Kini si lelaki pembunuh tengah duduk menggelosor sambil mengipas-ngipas dirinya. Ia tak tahu bahwa kau sedang mengincarnya, mengincar nyawanya. Kesempatan mungkin datang dua kali, tapi kau tak boleh abaikan kesempatan pertama. Selagi ia seorang diri, kau bisa saja melompat dari tempatmu dan menebas lehernya dari samping. Pikiran membalas dendam itu rupanya menemui kenyataannya dengan cepat. Kau benar-benar menebasnya, membikinnya meraung sesaat, membikin orang-orang berlari dan telah menemukannya tengah menikmati sekarat yang tak tertolong. Ia mati. Sedikit rasa puas dan bangga kini memihakmu. Semoga kau berbahagia di neraka, pembunuh. Cuih, ucapmu seraya mencoba meludahi mayat yang baru tuntas sekarat itu.
Kau tak pernah sebangga ini. Kau bahkan tak menyesal atau berkecil hati jika mesti mendekam di penjara seumur hidup. Kau pun tak gusar jika pemberitaan di koran memojokkanmu begitu rupa, lalu menulis berita pembunuhan yang kau lakukan dengan kalimat begini: SEBILAH GOLOK DIVONIS PENJARA SEUMUR HIDUP SETELAH MEMBUNUH WARGA DI KAMPUNG SEBERANG SUNGAI. Kau tak keberatan dengan tetek bengek itu, sama sekali tidak, sebab keadilan harus ditegakkan setegaknya. Kau akan mendekam seumur hidup, dan kiranya butuh waktu beberapa puluh tahun hingga setengah abad bagi penjara itu membikinmu berkarat dan kehilangan fungsimu yang paling hakiki.
Namun bukan kau yang mesti dipenjara, sebab hukum di negaramu merasa tak punya wewenang menghakimi makhluk yang dianggap sebagai benda mati, termasuk kau. Alangkah sakit dan menyebalkan dikatai sebagai benda mati, sementara kau sendiri merasa memiliki jiwa. Lalu sebagai gantinya, jaksa penuntut umum menyerang tuanmu, si tukang daging baik hati itu. Jaksa tak tahu apa-apa itu melontarkan beraneka tuntutan yang kemudian memberatkan tuanmu yang amat penyayang dan murah hati itu. Istri tuanmu, tanpa didampingi pengacara tanpa didampingi saksi, mencoba mengajukan keberatan pada tuntutan jaksa. Tapi sungguh sayang, hakim pada pengadilan itu kemudian memvonis tuanmu dengan hukuman penjara sembilan tahun. Palu terlanjur diketukkan tiga kali.
Baca juga: Klub Televisi Ajaib
Kau meradang, kemudian timbul penyesalanmu yang nyaris tak berarti apa-apa. Kau jadi gelap mata. Lalu pada tengah malam kau meloloskan diri dari kantong plastik bertulis ‘barang bukti’. Dengan amat perkasa kau membikin koyak kantong yang mengurungmu itu. Tubuhmu masih berlumuran darah kendati kering, tapi peduli apa, pada tengah malam diam-diam kau kabur dari kantor polisi. Kau berjalan terseok, menyeret diri, sambil menggerutu dan memaki-maki di sepanjang jalan. Hakim goblok, jaksa tolol, harusnya akulah yang kalian hukum. Penegak hukum tak becus, katamu sambil terus berjalan menyeret diri. Dalam dendam yang tak terbendung itu kau datangi rumah si jaksa yang menyebabkan tuanmu masuk penjara, kau ayunkan dirimu di lehernya, lalu kau kabur dengan menjebol kaca jendela. Setelahnya kau datangi rumah si hakim yang sembarangan mengetuk palu, dan tanpa ragu kau tancapkan dirimu ke dadanya selagi ia terlelap pulas.
Namun akhirnya ada juga padamu penyesalan. Kau sudah membikin tiga nyawa tumpas. Kau lelah, merasa tak sanggup lagi berjalan. Kau berhenti, lalu tak berapa lama terjatuh ke selokan di dekat lapangan bola. Kau tak peduli lagi, kau merasa perlu menghukum diri dengan menenggelamkan diri di selokan kotor itu. Dua hari kemudian seseorang menemukanmu, mengangkatmu dari selokan, dan membersihkanmu hingga tajam mengkilat seperti semula. Kau ditaruh berjajar bersama beberapa belati dan senjata tajam yang kau belum tahu namanya. Kau berjiwa, tergantung pada siapa yang berada di dekatmu, gumammu lirih.
Tak lama kemudian kau mendengar percakapan mengenai rencana merampok yang dibisikkan tiga orang berwajah keruh di dekatmu.[]
02:42
09112019
Hari Niskala, dilahirkan di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Tak banyak kegiatan berarti yang dilakukan sebab dua pertiga hidupnya sering dihabiskan di warung kopi untuk mencelotehkan hal-hal yang masih dapat dijangkau oleh nalar manusia. Juga sebulan sekali mencoba peruntungan dengan menjadi pengamen di gubuk maya sederhana bernama Sadha. Sejak 14 tahun yang lalu mencoba sepenuh hati menggemari tim sepak bola Liverpool dan di waktu yang lebih luang menjadi pengagum tim sepak bola Juventus. Novelnya yang telah terbit berjudul Jalan Pulang dan Omong Kosong yang Menunggu Selesai (Rua Aksara, 2021).