Penunggang Kuda Merah Padam
Dari salah seorang penggali kubur kakek mendapat jawaban: dalam sehari puluhan penduduk desa kami meninggal karena serangan penyakit yang mengerikan.
Hari-hari lalaran, kata kakek, jauh lebih mencekam dari hari-hari peperangan. Musuh tidak dapat dilihat dan dalam hitungan hari ribuan orang tumbang. Senjata tidak lagi diperlukan dan satu-satunya cara agar tidak terpapar lalaran adalah bersembunyi atau menghindar. Orang-orang menutup pintu rumahnya rapat-rapat, bahkan memalang pintu rumah mereka dengan kayu-kayu tebal.
Banyak orang menyepi ke bukit, bertapa di goa-goa, dan sebisa mungkin menjauh dari kerumunan. Sepanjang hari hanya terdengar suara batuk bersahutan dan bersin tak berkesudahan. Ribuan orang tiba-tiba terserang demam, kemudian lemas seperti tidak ada lagi tulang yang melekat di badannya. Dan ketika demam itu berpadu dengan salesma, mereka tinggal menunggu ajal yang akan segera tiba.
Ketika itu tahun 1923. Kakekku yang baru menginjak usia belasan tahun baru datang dari gerilya berbulan-bulan di hutan ketika wabah itu mulai masuk ke desa kami. Kakekku dibuat terkejut melihat banyaknya lubang kubur yang belum lama digali di perbatasan antara hutan dan perkampungan. Puluhan orang tampak menyeret belasan jenazah untuk dikuburkan. Kata para penggali kubur itu, masih ada puluhan jenazah lain yang menunggu giliran untuk dikuburkan. ”Apakah pasukan Belanda tiba-tiba datang dari arah laut dan melakukan pembunuhan massal?” tanya kakek ke para penggali kubur itu.
Mereka menggeleng. Dari salah seorang penggali kubur kakek mendapat jawaban: dalam sehari puluhan penduduk desa kami meninggal karena serangan penyakit yang mengerikan. Di desa-desa lain, ada ribuan orang yang juga tumbang.
Kakek mengenang hari-hari mewabahnya lalaran itu sebagai peristiwa terbesar dalam sejarah hidupnya yang dalam sekejap mampu mengubah tatanan kehidupan. Orang-orang tidak berani ke ladang karena menganggap lalaran adalah semacam siluman yang dapat menyerang mereka di tengah jalan. Pintu-pintu rumah tertutup rapat, orang-orang memilih bersembunyi meski harus menahan lapar. Penduduk desa mencurigai setiap orang yang baru datang dari gerilya atau baru pulang dari pengembaraan meski sebenarnya orang-orang yang baru datang itu adalah orang-orang yang sebelumnya telah mereka kenal.
”Kami seperti baru pulang dari perang yang lebih kecil, dan harus menghadapi perang yang jauh lebih besar. Sialnya, kali ini musuh kami tidak kelihatan,” kata kakek mengingat hari-hari yang penuh dengan kecemasan itu.
Kakek bergabung dengan Barisan Pejuang Kemerdekaan sejak berumur delapan tahun. Dari enam bersaudara, kakek adalah anak laki-laki satu-satunya sehingga ketika ada peraturan bahwa satu keluarga harus mengirim satu pejuang untuk melawan penjajah, kakeklah yang direlakan buyutku untuk berperang, sebab kakek buyutku harus bekerja menghidupi istri dan lima anaknya yang lain, sementara nenek buyut ketika itu masih menyusui anak bungsunya yang baru berumur beberapa bulan.
Bersama pejuang-pejuang lain, kakek ditempa di dalam hutan. Hutan di sebelah timur dan bagian selatan daerah kami adalah benteng yang akan melindungi kami dari serangan Belanda. Jika pasukan Belanda hendak masuk ke daerah kami, mereka harus menembus hutan yang luas dan rapat, atau harus melalui jalur laut di bagian utara—yang karena perairannya sangat dangkal mustahil kapal-kapal Belanda bisa merapat ke daratan.
Tiga bulan pertama adalah penempaan, dua tahun berikutnya adalah gerilya untuk menghalau pasukan penjajah agar tidak mendekati perkampungan penduduk. Bahkan dalam beberapa kesempatan, mereka harus berjalan lebih jauh untuk menghalau penjajah hingga ke wilayah Bancaran, kota pertama setelah kawasan pelabuhan yang sudah dikuasai Belanda di ujung barat daya pulau, menempuh perjalanan dua minggu berjalan kaki dari markas terdekat di desa kami. Pernah dalam dua tahun ia tidak pulang, namun tidak jarang—ketika pasukan Belanda ditarik kembali ke Pulau Jawa—kakek hanya di rumah selama berbulan-bulan.
”Bahkan dalam perang, kami memiliki waktu untuk beristirahat. Tapi tidak dengan lalaran, ia dapat menyerang siang dan malam,” ujar kakek, membandingkan betapa merepotkannya melawan musuh tidak terlihat seperti wabah lalaran.
”Kami seperti baru pulang dari perang yang lebih kecil, dan harus menghadapi perang yang jauh lebih besar. Sialnya, kali ini musuh kami tidak kelihatan,” kata kakek mengingat hari-hari yang penuh dengan kecemasan itu.
Ketika lalaran menjangkit penduduk desa kami, sudah lebih dari lima tahun kakek ikut berperang. Ia pernah mengalami hari-hari yang buruk selama peperangan, berlari dua malam tanpa henti untuk menghindari kejaran penjajah, terkena tembakan di kaki kanannya, bersembunyi di atas pohon selama berhari-hari, kehabisan bahan makanan selama berminggu-minggu, dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri satu demi satu rekan seperjuangannya tumbang dengan cara mengenaskan: dihunjam belasan peluru atau dieksekusi di tiang gantungan. Namun, betapa pun mengerikannya melihat orang mati karena perang, tidak semengerikan kematian karena lalaran.
Pasukan perang, kata kakek, mati terhormat sebagai pejuang, sementara kematian karena wabah adalah penderitaan tak tertanggungkan, mereka harus gugur dan dicap sebagai pembawa sial, atau penanggung kutukan.
* * *
Tidak banyak yang bisa mereka tahu tentang sebab musabab munculnya wabah itu. Ketidaktahuan itu membuat sebagian besar penduduk—yang memang dalam keseharian mereka percaya takhayul dan tulah makhluk halus jahat—mengusir anggota keluarga mereka yang terjangkit lalaran. Setiap hari ada yang harus terusir dari rumah dan dikucilkan.
Para anggota Barisan Pejuang Kemerdekaan yang baru kembali dari gerilya memutuskan membuat barak di tepi hutan, menampung mereka yang terusir, berusaha mengobati mereka yang terpapar—dengan peralatan dan obat-obatan seadanya. Barisan Pejuang Kemerdekaan memiliki persediaan obat-obatan yang biasa mereka gunakan untuk mengobati korban perang yang terluka, atau pejuang yang terjangkit malaria di tengah hutan. Mereka memberikan sisa obat-obatan itu kepada orang-orang yang terpapar lalaran di barak penampungan, meski mereka tidak terlalu yakin apakah obat-obatan itu dapat berkerja dan memperbaiki keadaan.
Di barak penampungan itu, mula-mula kakek ditugaskan sebagai juru masak. Orang-orang yang masih memiliki persediaan bahan makanan menyumbangkan sedikit persediaan mereka ke barak—sumbangan yang begitu berarti di tengah kondisi sulit yang mengharuskan sebagian besar orang terpaksa menahan lapar.
Ketika persediaan bahan makanan semakin menipis, bersama dua orang lain kakek mendapat tugas tambahan: harus bergantian masuk ke dalam hutan untuk mencari apa saja yang masih mungkin untuk dimakan.
Perang yang panjang telah menempa kakek mengolah apa pun yang bisa dimakan dari dalam hutan, menjerat binatang-binatang kecil dengan peralatan seadanya, memanjat hingga ke puncak pohon untuk mencari telur burung, atau menentukan bagian terbaik dari sebuah pohon untuk dijadikan bahan makanan atau bumbu masakan. Tiga hari sekali kakek harus berjalan masuk ke dalam hutan sendirian, berangkat di pagi buta dan baru kembali ke barak menjelang malam.
Di saat-saat sering masuk-keluar hutan itulah suatu sore kakek dikejutkan dengan kedatangan penunggang kuda merah padam.
Sosok dengan selubung hitam itu, kata kakek, datang dari arah selatan di suatu sore menjelang malam. Hari itu kakek kesulitan mencari bahan makanan dan harus berjalan lebih jauh ke dalam hutan sehingga kakek terpaksa kembali ke barak lebih sore dari biasanya. Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba kakek dikejutkan dengan lamat suara gesekan ladam pada tanah kapur di dalam hutan.
Kakek tentu ketakutan karena mengira pasukan Belanda datang kembali ke pulau ini dan kini mereka semakin dekat ke perkampungan.
Ketika suara ladam itu semakin dekat dan kuda itu semakin jelas dalam penglihatan, kakek memutuskan bersembunyi di balik semak-semak. Dengan parang di tangan, kakek bersiap menyerang jika ia terdesak sewaktu-waktu.
Seseorang di atas kuda berwarna merah padam itu seakan tahu di mana kakek bersembunyi. Ia menghentikan laju kudanya, memandang ke arah semak-semak di mana kakek bersembunyi, lalu mengulurkan tangan kanannya dari atas kuda tunggangannya seakan hendak memberi tanda agar kakek tak perlu takut. Ia tetap tenang dan tidak beranjak dari pelananya, tanpa ada gelagat untuk berbuat jahat atau menyerang. Sebelum kakek memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya, sesosok berselubung hitam di atas kuda itu tiba-tiba mengambil sesuatu di balik punggungnya, kemudian melempar sebuah buntalan yang semula terikat di balik punggungnya ke arah tempat persembunyian kakek.
Sebelum kakek menyentuh buntalan itu, lelaki di atas kuda itu membalikkan arah kudanya, kemudian memacu kudanya kencang-kencang meninggalkan kakek yang masih kebingungan.
Baca juga : Rahasia Bubur Pedas
Dari tempat persembunyiannya, kakek hanya terpana menyaksikan penunggang kuda merah padam itu berlalu, dengan surai dan ekor berwarna keperakan memantulkan sinar matahari senja yang menerobos ranting-ranting pohon tinggi di dalam hutan.
* * *
Mula-mula tidak seorang pun di barak penampungan yang percaya ketika kakek bercerita tentang sosok penunggang kuda merah padam yang baru ditemuinya di dalam hutan. Namun, ketika kakek membuka buntalan besar itu di tengah-tengah mereka, barulah mereka mulai memikirkan kebenaran cerita kakek.
Buntalan besar tertutup kain hitam itu berisi obat-obatan dalam kemasan dan beberapa peralatan kesehatan yang masih sangat langka di zaman itu, dan tidak mungkin di dalam hutan ada obat-obatan dan peralatan seperti itu kecuali ada seseorang yang memberikannya.
Sosok penunggang kuda merah padam itu terus menjadi bahan perbincangan dalam waktu yang sangat lama. Beberapa orang berusaha mengaitkan sosok misterius itu dengan kuda merah padam koleksi keraton. Seorang pangeran dari kerajaan kecil di ujung timur pulau dikenal memiliki puluhan kuda, dan bukan tidak mungkin kuda merah padam itu adalah salah satunya. Namun, hari demi hari orang-orang kemudian tidak lagi memikirkan siapa sebenarnya sosok misterius itu sebab yang paling penting puluhan bahkan ratusan orang di desa dapat disembuhkan dengan obat-obatan yang dikirim secara misterius itu. Dan ketika wabah lalaran itu telah lenyap dari desa kami, kedatangan penunggang kuda merah padam yang menemui kakek di dalam hutan itu dikenang sebagai sebuah mukjizat dan terus diceritakan secara turun-temurun.
Di masa pendudukan Jepang, ketika seluruh pasukan Belanda ditarik pulang, tempat-tempat yang pernah dijadikan markas pasukan Belanda dibakar atau dijadikan gudang, setelah sebelumnya sisa-sisa barang berharga di markas Belanda itu dijarah oleh Barisan Pejuang Kemerdekaan sebagai harta rampasan perang. Dari beberapa rumah dan tempat yang pernah dijadikan sebagai markas pasukan Belanda, kakek berhasil mendapatkan piring, teko, dan beberapa buku tebal yang tidak ia pahami bahasanya.
Bertahun-tahun kemudian, ketika suatu hari kakek iseng membuka-buka buku tebal yang dulu dijarahnya dari rumah yang ditinggali pasukan Belanda, kakek menemukan beberapa foto pasukan Belanda yang terselip di salah satu buku itu.
Salah satu foto yang ditemukan kakek menampakkan seorang pemimpin pasukan Belanda sedang menunggang kuda—kuda yang memiliki perawakan, bentuk surai, dan ekor yang sama dengan kuda berwarna merah padam yang dulu pernah dilihatnya di dalam hutan pada masa gerilya puluhan tahun lalu.
Baca juga : Negeri Matahari
Kakek tidak akan pernah melupakan peristiwa itu, ketika seorang penunggang kuda merah padam melemparkan sebuah buntalan berisi obat-obatan ke hadapannya, obat-obatan yang telah menolong puluhan nyawa selamat dari wabah yang mematikan.
”Kadang-kadang, juru selamat datang dengan cara yang tidak pernah kita pikirkan,” ujar kakek memungkasi ceritanya, seakan masih tidak percaya bahwa kuda merah padam yang pernah dilihatnya di hutan adalah kuda milik pasukan Belanda, dan bukan tidak mungkin jika penunggang kuda merah padam yang mengenakan selubung hitam dan memberikan bantuan obat-obatan kepada kakek adalah salah satu di antara mereka.
[]
Lalaran (Madura): penyakit menular
Badrul Munir Chair lahir di Sumenep, 1 Oktober 1990. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain novel Kalompang (2014) dan kumpulan puisi Dunia yang Kita Kenal (2016). Saat ini mengajar Filsafat di UIN Walisongo, Semarang.