Bahasa Apa yang Paling Berbahaya?
Tercium juga aroma sabun mandi. Ketika sesaat saya melirik ke sana, lampu-lampu lorong panti di sisi timur telah menyalakan warna sepia, dua orang dewasa melintas tampak belakang, dan...
Di panti anak-anak cacat, Lia memberi kami teka-teki. Ia seolah ingin menjerat kami lebih dalam.
Sementara, kasus perdagangan organ ilegal tak bisa kami biarkan lebih lama, lebih banyak korban lagi.
Udara lebih dingin. Selasa sore.
Di luar jendela ruang tamu, reruntuhan daun tersiuk angin muson timur ke sudut-sudut halaman. Bulan Mei. Pekan pertama. Ayunan kosong. Dari sini tampak samping, sunyi, dan kesepian. Langit meredup. Senja yang jauh melatari ranggas pucuk pepohonan di sisi gerbang. Sepasang burung hitam baru saja melintas ke barat daya. Empat bola warna pelangi berimpitan di atas rumput kering, di bawah hijau trampolin. Anak-anak panti sudah sejam yang lalu selesai bermain dan Lia, kepala dan pemilik pantinya, kini sedang menjawab pertanyaan kami dengan pertanyaan lain.
”Bahasa apa yang paling berbahaya?” tanya Lia.
”Bahasa dari langit ketika mulai disalahpahami, atau bahasa algoritma ketika mulai mampu membaca semua tanda dalam tubuh kita?” Lanjutnya memandang kami satu per satu.
Ia masih berbicara dengan sikap, pilihan kata, dan suara perempuan terdidik. Namun, saya tak boleh tertipu. Saya harus terus menaruh curiga pada tiap ucapan, gerak tangan, hingga caranya menatap lawan bicara. Ia adalah kunci kasus ini.
Ia duduk di kursi kayu coklat model klasik. Ia memakai bandana hitam. Rambutnya sebahu. Air mukanya ramah. Senyumnya terjaga dan sejauh ini tidak ada yang berlebihan.
Ia memakai stelan abu-abu. Ada bros kupu-kupu dari kerajinan perak bermutu tinggi di atas saku kiri. Roknya menutup hingga sejengkal di atas mata kaki. Sepatunya hak tinggi. Tanpa kaus kaki. Ujung sepatunya, hanya ujungnya yang ia tapak pada lantai marmer bermotif cangkang telur puyuh, seperti sedang berjinjit. Ia menautkan jempol kanan dan kiri di atas pangkuan, seperti sedang meditasi.
Saya semakin curiga: ia sedang berusaha agar terlihat tenang dan agar tidak dicurigai.
Di belakangnya, sebuah lukisan akrilik pada kanvas. Ukurannya dua meter kali satu setengah meter, diterangi cahaya artistik dari sudut atas, dan berisi dua tokoh dalam tipikal warna harapan.
Tokoh pertama, seorang anak laki-laki berseragam sekolah, memegang balon dari plastik putih yang diikat tali, dan berlari ke arah matahari. Tokoh kedua, seorang anak perempuan berseragam sekolah, dalam gendongan, memegang balon plastik sejenis, dan sama tertawa. Di atas mereka, sebuah balon hitam terbang. Kedua anak itu dalam sudut pandang samping.
Latar lukisan itu matahari terbit dan gunungan sampah. Sementara latar kanan posisi Lia duduk adalah jendela besar yang menghadap ke taman panti dengan senja di kejauhan, ayunan, trampolin, dan dingin pepohonan.
Karmin duduk memegang pena di sebelah kiri saya. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia tentang bahasa apa yang paling berbahaya.
Saya pun sama.
Seolah kami berdua sama-sama tahu situasi bahwa ada banyak jenis pertanyaan di muka bumi. Salah satunya, pertanyaan yang tidak menginginkan jawaban, melainkan hanya meminta perhatian. Seolah penanya merasa sedang mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui.
Lia mencondongkan badan.
Ia menggoreskan ujung telunjuk kanan ada permukaan meja kaca. Ia usap remah-remah biskuit sari kelapa.
Dari arah pintu yang separuh terbuka, saya dengar gelak tawa anak-anak.
Tercium juga aroma sabun mandi. Ketika sesaat saya melirik ke sana, lampu-lampu lorong panti di sisi timur telah menyalakan warna sepia, dua orang dewasa melintas tampak belakang, dan denting-denting sendok terdengar kemudian.
”Lihat,” kata Lia, menunjukkan serbuk itu pada kami, seperti orang sedang tunjuk jari sejajar dada, ”bukan hanya serbuk semacam ini yang terbaca oleh algoritma kecerdasan buatan. Namun, termasuk serbuk emosi yang paling dalam dari jiwa kita. Algoritma kini dapat mendatanya. Mengumpulkannya untuk kepentingan tertentu, bahkan memanipulasinya, mengendalikan emosi kita, mengubah karakter, dan mengarahkan cara pandang kita terhadap sesuatu.”
Saya memperhatikan tangannya.
Saya terpana pada tiga goresan luka. Masih baru. Tipis sejajar. Kemerahan. Melintang di bawah kuku jari tengah, jari manis, dan kelingking. Kemungkinan sayatan itu tidak sengaja, dimulai dari tengah, dan diolesi salep pengering.
Lia segera menarik tangannya. Ia duduk bersandar. Ia bersihkan serbuk biskuit itu dengan mengulum ujung telunjuknya.
Karmin menyenggol kaki saya dengan kakinya.
Saya membalas isyarat itu.
Memang aneh, pikir saya, seorang yang bersikap dan berucap seolah kaum terdidik, tapi membersihkan remah biskuit dengan mengulum ujung jari. Bukannya mengelap dengan tisu putih pada kotak kayu di atas meja kaca.
Lia mengamati perubahan sikap kami.
Ia senyum.
Ia berkata bahwa tiga puluh tahun yang lalu, ia adalah gadis kecil melarat. Ia tinggal bersama kakak laki-lakinya di sisi tempat pembuangan akhir. Ketika ia berusia enam tahun dan kakaknya delapan tahun, tiga orang bersenjata berseragam mendobrak pintu rumah mereka pada dini hari. Kepanikan. Ketakutan terjadi.
Seorang kemudian bersenjata menembak ke arah televisi tabung zaman dulu, tercipta letupan kecil, lalu percikan api listrik. Dua orang bersenjata yang lain mengikat ayah dan ibunya. Lalu, ia dan kakaknya. Dengan plester, mereka bungkam mulut. Dengan kain hitam, mereka tutup kepala. Truk melaju. Tak terdengar suara tetangga.
Tak lama kemudian, Lia kecil malah mendengar suara air sungai. Hawa dingin. Truk berhenti.
Keluarganya diturunkan. Ayahnya ditembak pertama setelah kata-kata dari seorang bersuara serak, ”Penghianat, pemberontak!” Lalu jerit kematian. Debur air. Tangis ibunya. ”Pelacur, penari telanjang pembunuh jenderal dengan silet! Ke neraka sana!” Suara cempereng. Suara senjata. Pekik ngeri. Debur air. Panggilan menjauh pilu pada nama Lia dan kakaknya. Lia terus menangis. Meronta. Namun, tak ada suara letusan berikutnya. Hanya kata-kata, ”Hemat peluru, dorong saja. Dua bocah ini akan mati bersama mayat pengacau keamaan yang lain.”
Lia kini menundukkan kepala.
Ruangan hening.
Ia menangkup wajah dengan kedua tangannya. Pundaknya berguncang. Isaknya terdengar.
Saya harus fokus. Saya tidak boleh terlibat dengan permainan emosinya.
”Kalian tahu bagaimana kami bisa selamat?” Lia mendongak. Matanya sembab. Ia mengambil tisu dari kotak.
”Tentu,” Karmin yang mengambil jawab. Suaranya tenang. Tangan kanannya memutar-mutar pena.
”Kalian berhasil ke tepi,” lanjut Karmin, ”tinggal di hutan sisi sungai. Hidup dengan memakan ikan-ikan yang berebut daging mayat-mayat orang-orang yang dibantai tentara pada hari-hari gelap sejarah, sebelum kelak sukses dengan mengejutkan.”
Karmin melanjutkan bahwa, ketahuilah, kami tidak datang dengan kepala kosong melompong. Kami telah mempelajari enam puluh lima dokumen, empat belas majalah yang berisi profil Lia, dua puluh wawancara langsung di televisi, tiga puluh dua di radio, dan telah menamatkan sebuah buku biografi setebal tiga ratus empat belas halaman.
Bahkan, lanjut Karmin, ia sendiri telah memberi stabilo merah pada peristiwa seperti makan ikan pemakan bangkai tadi, lalu diselamatkan tukang rongsok pencari barang-barang berharga milik mayat-mayat. Termasuk pencuri baju-baju, organ, hingga celana dalam mereka. Sejarah telah mencatat, pembantaian itu terjadi di masa sulit dan membuat keadaan ekonomi semakin mencekik.
Kalian tinggal di dekat pembuangan sampah akhir, Karmin melanjutkan. Hari-hari memakan makanan sisa. Sesekali kalian pergi ke tukang sate di pasar kecamatan buat membungkus asap-asapnya dengan plastik seperti dalam lukisan itu. Lalu, kalian menghirup aromanya saat makan nasi sisa. Tentu agar terasa nikmatnya dan seterusnya. Kami telah membaca tentang hal-hal seperti itu.
Karmin menarik napas panjang.
Mata Karmin kini sangat fokus, hampir melotot. Kemeja hitamnya menguatkan kontras ekspresi wajahnya.
Ia mendesak. Ia berkata bahwa ada pertanyaan yang belum dijawab dengan jelas.
”Apakah benar kabar yang beredar bahwa di panti ini sejumlah orang tua pengadopsi adalah bodong, abal-abal, palsu? Apakah benar mereka dijual, diambil organnya, kornea matanya, dan sebagainya? Apakah benar yang dituliskan oleh Damar dan istrinya, yang viral di medsos itu, tentang anak mereka Panjalu? Jangan buang-buang waktu, lanjut Karmin, hari mau gelap. Kecuali, jika besok kita dapat bertemu lagi. Jika tidak dipersulit bertemu tentunya.”
”Bahasa algoritma telah mampu merekam kegiatan kita,” Lia seperti mengelak, mengalihkan fokus kami.
Ia mengambil telepon seluler merah marun dari saku kiri stelan abu-abu.
Ia menyodorkannya pada kami. Ia meletakkannya di meja kaca, sebelah kanan cangkir tehnya di atas remah biskuit sari kelapa. Ia menantang kami untuk menyelidiki percakapan, memeriksa kamera pengintai di seluruh gedung panti, dan kalau perlu bertanya langsung pada Tuhan.
”Silakan! Dan dapat saya pastikan,” lanjut Lia dengan tenang dan percaya diri, ”tidak ada seorang pun bernama Damar dan istrinya itu pernah datang ke tempat ini membawa seorang bayi laki-laki berusia dua puluh hari bernama Panjalu dan tidak ada pengadopsi palsu. Kalau tetap tidak percaya, tanyakan kepada Tuhan.”
”Bukankah Tuhan mendata aktivitas manusia lewat bahasa, lewat buku catatan amal baik dan buruk?” tanya Lia sesaat kemudian. “Bukankah ada malaikat yang mencatat perbuatan kita setiap hari? Persis sebagaimana tuhan-tuhan data masa kini mencacat perilaku manusia modern setiap hari, lewat data bahasa algoritma, pada aplikasi perangkat elektronik, serta pada lalu lintas jaringan internet.”
”Tidak perlu bawa-bawa Tuhan,” giliran Karmin mencondongkan badan.
Saya menahannya. Dia tidak boleh bertindak berlebihan. Karmin mengisyaratkan dengan tangan kirinya, tenang saja.
Saya kembali mencatat.
Saya kembali memastikan rekaman digital masih menjalankan fungsinya dengan baik.
”Tuhan tahu segalanya dan sebenarnya. Dia sudah tahu bagaimana semua ini bermula dan berakhir,” kata Karmin mulai emosi. ”Tugas manusia adalah menemukan kebenaran yang disediakan oleh Tuhan, yang kerap tertutupi oleh bahasa muslihat dan tipu daya dari manusia-manusia tanpa kemanusiaan. Anda terdidik, pasti mengerti maksud saya.”
”Manusia tanpa kemanusiaan itu yang seperti apa?” Lia menegakkan badan.
Sorot matanya menajam.
Suara tenang dan redahnya berubah cepat meninggi ketika berkata bahwa apakah manusia tanpa kemanusiaan itu adalah mereka yang menembaki orang tidak bersalah pada suatu dini hari? Melemparnya ke jembatan bersama tumpukan mayat? Menenggelamkan anak kecil yang bagi mereka telah mengacaukan keamanan, membunuh para jenderal, dan mengubah haluan negara? Menghukum mereka seumur hidup dengan kesalahan yang tak pernah mereka perbuat? Mengucilkannya dari masyarakat sampai akhir hayat?
Atau mereka yang datang ke tempat ini mengirimkan bayi-bayi yang tak dikehendaki? Bayi hasil pemerkosaan yang kebingungan mencari hak nama ayah, sebab kalau ibunya harus menikah mesti menunggu bayi lahir, dan bagaimana hukumnya jika ia menikah dengan orang lain? Apa yang diperintahkan Tuhan tentang itu?
Atau bayi cacat yang dianggap akan merepotkan? Atau bayi perempuan yang dianggap tidak berguna karena tidak membawa nama penerus keluarga, yang hanya akan menjadi pengikut marga suami, yang hanya menghabiskan uang membesarkan dan setelah besar jadi milik orang lain?
”Katakan,” Lia semakin emosi meneruskan, ”dari mana dan siapa yang akan membiayai semua anak-anak malang itu di tempat ini? Kalian bahkan tidak tahu apa yang terjadi dengan kedua kaki saya ketika dilempar dari jembatan oleh manusia bersenjata yang merasa paling manusiawi di muka bumi. Lihat ini baik-baik!”
Ia berdiri.
Secepat kilat, ia menendang udara dengan kaki kanannya ke arah pintu yang terbuka.
Saya tak menduga.
Kaki itu lepas berdentang pada marmer motif telur burung puyuh, menggelundung membentur sisi bawah lemari, telapak kaki buntung itu menampilkan garis-garis platina. Sepatunya terlempar ke ambang pintu.
Lia kini berdiri dengan satu kaki.
Tangannya memegang kursi, lalu berjingkat mundur, kembali duduk. Ia menarik napas. Matanya memejam sesaat. Kemudian, ia melepas lagi kaki palsunya yang kiri, menawarkannya pada Karmin.
”Manusia tanpa kemanusiaan? Apa yang kalian berikan pada manusia lain? Cacian? Sindiran? Komentar kasar?” Lia bertanya pada Karmin.
Karmin tampak gugup di hadapan sepotong kaki telanjang.
Saya mencoba tenang.
Tidak boleh lengah. Kaki saya gemetar.
Saya benar-benar tidak boleh terlibat dengan permainan emosinya yang terkenal ahli dan lihai. Tangan saya mulai dingin. Saya harus tetap fokus mengamati setiap ucapan, gerakan tangan, dan caranya menatap mata lawan bicara. Mata saya mulai tidak berani. Dada saya sedikit sesak. Saya harus mengendalikan situasi. Tidak boleh terjerat. Ingat, ia adalah kunci kasus ini.*
Expert Building XISU, Xi’an, Musim Semi, 2021
Eko Triono, lahir di Cilacap, 1989, berproses kreatif di Yogyakarta. Kumpulan cerpennya, Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon? (2016) menjadi pemenang penghargaan sastra Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta (2017). Ia menempuh sarjana di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNY, kemudian magister di Pendindidikan Bahasa Indonesia, UNS. Sejak tahun 2019, ia bermukim di Xi’an, Tiongkok.
Butet Kartaredjasa
Dikenal sebagai aktor monolog. Sejak di bangku SMSR, Sekolah Menengah Seni Rupa akhir tahun 70-an, lelaki kelahiran Yogyakarta 1961 ini aktif berteater. Ayah tiga anak dan kakek satu cucu ini pernah menyandang gelar Aktor Terbaik (1979 dan 1981) dan Sutradara Terbaik (1981). Tapi Butet lebih suka mengejek dirinya sendiri sebagai ”pengecer jasa akting”. Sekarang, sejak ayahnya, Bagong Kussudiardja, wafat tahun 2004, ia didaulat keluarganya memimpin Yayasan Bagong Kussudiardja, mengembangkan tempat seni Padepokan Seni Bagong Kussudiardja; menata dan mengelola kelompok-kelompok kesenian yang ada di dalamnya: Pusat Latihan Tari Bagong K, Komunitas Seni Kua Etnika, Teater Gandrik dan Orkes Sinten Remen.