Musim Bunga
Nenek tersenyum lebar seolah hendak mengalahkan lebarnya daun-daun keladi hias dalam pot yang jadi latar belakang.
Nenek mengambil keladi yang daunnya berlubang itu sekitar lima tahun lalu. Tumbuhan kecil tersebut terserak tak terurus di sekitar parit rumah keluarga jauh. Keluarga yang diminta hanya senyum-senyum saja saat nenek mengatakan keinginannya meminta keladi tersebut.
”Tumbuhan begitu kok diminta?” kata keluarga jauh sembari senyum-senyum sendiri. Nenek senyum saja seolah menggumam, ”Justru tumbuhan secantik ini sayang disandingkan dengan parit kotor.”
Saat itu nenek belum belajar menggunakan gawai. Sekarang ia sudah bisa unggah-unggah foto dan berbalas komentar di Facebook. Sesekali juga memperbarui status di Whatsapp. Instagram sangat jarang dibuka.
”Tidak begitu cocok,” ujar nenek. Apalagi Tiktok. Meskipun begitu, nenek sekarang lebih rajin memegang ponsel. Tak jarang ia tergelak sendirian di kamar. Ketika kami, para cucunya, menengok karena ingin tahu, mafhumlah kami bahwa nenek sedang menonton sebuah konten komedi tunggal di Youtube.
Ketekunan nenek memandang layar ponsel sedikit berkurang saat cucunya yang ke-12 lahir. Ia kelihatan girang. Mungkin karena 11 cucunya yang lain sudah lewat masa lucu-lucunya sehingga kehadiran bayi ini memberikan hiburan baru. Ibunya si bayi, anak bungsu nenek, diam-diam merasa senang juga melihat sang nenek cekatan betul mengganti popok, memandikan, juga menjemur si bayi di pagi hari.
Tapi itu bukan berarti kegiatan berseluncur nenek di dunia maya berhenti sama sekali. Seperti umumnya bayi baru lahir, cucu terakhirnya juga lebih banyak tidur daripada terjaga. Di saat sang cucu tidur, nenek kembali menyelam ke dunia maya. Di saat bayi itu berusia sepuluh hari, nenek mengangkat wajah dari layar ponsel dan bertanya padaku, ”Sekarang lagi musim bunga, ya?”
Aku agak tak siap dengan pertanyaan itu, namun kemudian menjawab, ”Musim tanaman hias lebih tepatnya, Nek.”
Nenek mengangguk sembari menggumam pantas saja si anu posting foto bunga. Si itu juga. Si ini bahkan membeli lusinan pot kecil untuk disusun di teras rumahnya.
Aku hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. ”Orang-orang mungkin lagi bosan di rumah karena pandemi. Jadi mereka cari kegiatan. Mungkin karena itu tanaman hias trending, Nek.”
Hari itu juga aku lihat nenek mulai melihat-lihat teras rumahnya sendiri. Pekarangan dan teras rumah itu memang dari dulu sudah dipadati bunga dan tanaman hias lain. Makanya aku tak begitu takjub melihat rumah orang-orang yang ikut-ikutan demam ”bunga”. Meskipun begitu, rupanya nenek menemukan suatu fakta baru.
”Bunga ini harganya bisa dua ratus ribu. Aku lihat di-posting-an si Fulan,” ujarnya sembari menunjuk tanaman kecil berdaun lebar.
”Yang ini seratus lima puluh ribu. Yang ini sih cuma lima puluh ribu. Tapi dulu banyak orang yang menolak bahkan ketika dikasih cuma-cuma,” lanjut nenek sambil terus menunjuk-nunjuk tanaman-tanamannya. Hari itu juga aku diajaknya untuk mengatur ulang susunan dan tatanan pot-pot tanaman hias di pekarangan dan teras. Aku tidak tahu persis berdasarkan apa nenek melakukan penyusunan ulang itu, tapi hasilnya memang lebih menarik. Fotogenik, boleh dibilang begitu.
Yang ini seratus lima puluh ribu. Yang ini sih cuma lima puluh ribu. Tapi dulu banyak orang yang menolak bahkan ketika dikasih cuma-cuma.
Dan firasatku benar. Keesokan harinya, setelah memandikan sang cucu terbaru, nenek menggendongnya ke teras. Duduk di sebuah kursi yang telah disediakan di tengah-tengah dekorasi tanaman hias. Ia mengeluarkan ponsel dan memintaku untuk memotret.
Nenek tersenyum lebar seolah hendak mengalahkan lebarnya daun-daun keladi hias dalam pot yang jadi latar belakang. Cucunya yang baru lahir ada dalam gendongan tersenyum tenang dalam tidur. Setelah aba-aba, suara cekrek terdengar. Nenek melihat hasilnya dan mengunggah sebuah harapan di media sosial agar sang cucu menjadi anak soleh. Para kerabat ramai memberikan jempol dan salah seorang keluarga jauh berkomentar, ”Bunganya bagus sekali.”
***
Paman datang ke rumah nenek dan memberikan selamat atas kelahiran cucu ke-12. Ia lalu mengambil pose dan berfoto bersama si bayi lucu. Lokasinya di kamar. Bukan di teras dengan latar belakang tanaman-tanaman hias. Ia lalu membuka Facebook dan mem-posting foto itu dengan caption yang isinya kurang lebih seperti ini: ”Alhamdulilah. Telah lahir dengan selamat cucu kedua belas ibu kami (ia tag akun Facebook nenek). Selamat pada adikku (ia tag akun Facebook ibu si bayi) yang telah melahirkan bayi imut ini.” Tentu saja penutupnya ada doa-doa yang baik untuk si bayi dan ibunya, serta neneknya.
Karena paman adalah seorang pejabat daerah, tidak heran dalam hitungan detik sudah begitu banyak like dan komentar yang ia dapatkan di posting-an tersebut. Sialnya, orang-orang justru mengira itu adalah anaknya. Ia kemudian sibuk membalas komentar-komentar tersebut untuk mengklarifikasi bahwa itu adalah anak dari adik bungsunya.
Dengan wajah tertekuk-tekuk, paman menggerutu tentang malasnya orang-orang membaca berita dengan benar. Ia kemudian melihat padaku dan berujar,
”Kau jangan malas baca! Tidak akan bisa jadi pejabat dan orang kaya kau kalau malas baca seperti orang-orang yang komentar ini.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala dengan mulut tetap terkatup. Telepon paman kemudian berdering. Dari atasannya. Orang paling penting nomor tiga di kabupaten kami, kata paman. Lalu aku melihat paman tertunduk-tunduk memegang telepon sembari senyum-senyum tak enak (padahal orang yang sedang meneleponnya tak akan tahu ia melakukan itu). Paman berujar, ”Terima kasih, Pak. Tapi itu keponakan saya. Anak adik. Bukan anak saya.”
***
Seorang keluarga jauh datang berkunjung. Membawa beberapa hadiah untuk menyatakan suka cita atas kelahiran cucu ke-12. Nenek menyambutnya di teras. Mereka kemudian berbincang-bincang di sana. Saat keluar untuk menyuguhkan teh hangat, aku mendengar bahwa obrolan keduanya tak jauh dari bunga-bunga dalam pot.
Baca juga : Cerpen Tato, Ciuman, dan Sebuah Nama
Ketika sang tamu hendak pulang, ia dengan malu-malu kucing menyatakan keinginannya untuk meminta tanaman keladi yang daunnya berlubang. ”Cantik sekali tanaman ini,” katanya.
”Oh. Itu aku ambil dari dekat parit,” sahut nenek.
”Parit?”
Nenek mengangguk.
”Sayang sekali. Bisa-bisanya orang membiarkan tanaman mahal begini tumbuh dekat parit.”
Nenek tersenyum karena sepertinya tamu itu tak ingat bahwa lima tahun lalu tanaman itu diminta nenek dari parit di dekat rumahnya sendiri. Tamu itu bahkan menambahkan, ”Orang itu pasti tak mengerti tentang tanaman. Apalagi musim bunga begini.”
”Sepertinya memang begitu.”
Setelah berterima kasih karena nenek memberikan satu pot berisi tanaman yang ia minta, si tamu pun pamit. Tapi kemudian batal melajukan kendaraan karena teringat sesuatu. ”Lebih tua bayi yang ini atau anaknya si anu (menyebut nama paman)? Kulihat kemarin dia juga posting foto bayi di Facebooknya.”
Nenek tidak menjawab. Hanya tersenyum. Tapi senyum itu hilang ketika si tamu tak tampak lagi. Ia menoleh padaku dan berujar sengit, ”Kau bacalah buku dengan benar! Aku tak mau anak-cucuku cuma pandai kasih like tapi tak pandai membaca dengan benar.”
Aku mengangguk. Dengan takut-takut mengambil buku Enny Arrow yang sampulnya sudah kurekayasa sehingga tak tampak gambar dan judul aslinya. Di teras, di antara bunga-bunga. Ada sesuatu yang juga mengembang dalam diriku secara diam-diam. Nenek melihatku membaca dengan tekun. Ia tersenyum. Bangga. Lalu mengambil ponselnya untuk kemudian tergelak mendengarkan komedi tunggal yang ia tonton di Youtube.
***
ART.
Palembang, 24 November 2020.
Untuk Gema Muhammad Turama
---
Rizqi Turama, dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Sriwijaya. Lahir di Palembang, 4 April 1990. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang. Ia juga merupakan anggota komite sastra Dewan Kesenian Palembang. Pernah mengikuti Workshop Cerpen Kompas tahun 2016.