Anwar Congo dari Banten
Seketika ia melepas ikat pinggang berwarna hitam keemasan dengan berhiaskan peluru. Ia menyangkutkan pada kastok yang tersedia di dinding, kemudian berbalik ke arah saya dengan tatapan garang.
Dia tidak tahu kalau ayah saya termasuk aktivis Pemuda Rakyat yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia di era tahun 1964. Karena sulitnya mencari pekerjaan di masa pemerintah Orde Baru yang cenderung memihak kapitalisme dan pasar bebas, maka saya menjatuhkan pilihan sebagai tukang cukur keliling, sampai akhirnya memiliki kios cukur di sekitar perempatan Desa Jombang sejak tahun 1995.
Itulah yang saya ceritakan kepada Pak Salim di warung kopi miliknya. Ia merasa terkagum-kagum mengapa kios kecil dan sempit yang saya jadikan tempat usaha tersebut, sering dikunjungi orang-orang terpandang dari kalangan pegawai negeri, kiai, guru, polisi, hingga tentara setingkat jenderal sekalipun. Hal itu bukan karena tempatnya atau peralatan cukurnya yang terbatas, tetapi justru karena kemahiran pelayanan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terampil mengolahnya.
Karena itu, waktu saya ceritakan tentang Jenderal Sadomo yang rambutnya ingin dipangkas di kios cukur saya, kontan Pak Salim merasa ketakutan mendengarnya.
Masalahnya semua orang tahu, jenderal itu pernah menjadi kroni dan kaki-tangan Presiden Soeharto yang ditugaskan menumpas orang-orang komunis di wilayah Banten Utara. Tetapi kini, di usinya yang sudah sepuh menginjak 75 tahun, yang tersisa hanya badannya yang kurus disertai batuk-batuk kering yang selalu mengganggu kesehatannya.
Jenderal itu dijuluki Anwar Congo dari Banten, terutama setelah tersiar kabar di tengah masyarakat bahwa ia terlibat aktif menghilangkan ratusan nyawa orang-orang komunis di wilayah Banten. Dan ia pun merasa bangga dengan julukan itu.
Ketika memasuki kios cukur, saya sedang mengasah pisau cukur terbaik yang saya miliki. Saya berusaha bersikap tak acuh sambil terus mengasah pisau cukur itu hingga tajam. Kemudian saya memastikannya sudah tajam betul setelah mengetesnya dengan memotong secarik kertas hingga terbelah dua.
Seketika ia melepas ikat pinggang berwarna hitam keemasan dengan berhiaskan peluru. Ia menyangkutkan pada kastok yang tersedia di dinding, kemudian berbalik ke arah saya dengan tatapan garang. Setelah saya persilakan duduk, saya mendengar suaranya yang serak dan parau, “Aduh, gerah sekali di sini. Pak, tolong cukur rambut saya sampai pendek.”
Memang rambutnya agak panjang, mungkin beberapa bulan belum dicukur. Selain itu, saya perhatikan jenggot dan kumisnya yang mungkin sudah beberapa minggu tak terurus. Wajahnya kelihatan pucat dengan kedua pipinya yang tirus.
Dengan cermat saya persiapkan semua peralatan di atas meja, kemudian ia mengamati rambutnya pada cermin, dan katanya lagi, “Dulu, waktu saya perintahkan regu tembak untuk menghabisi orang-orang komunis, beberapa di antara mereka juga rambutnya sudah memutih seperti saya ini.”
Saya tidak menanggapi omongannya. Sebuah mangkuk saya persiapkan, kemudian saya masukkan air dan sabun, lalu mengaduknya hingga keluar busa dari sabun itu.
“Berapa banyak orang komunis yang Bapak tangkap?” tanya saya.
“Tidak terhitung, mungkin ratusan. Mereka ada yang dari BTI, Pemuda Rakyat, Sobsi dan lain-lain. Ada juga yang dari organisasi lain… tapi entahlah organisasi apa… sepertinya mereka orang komunis juga.”
“Lalu Bapak tembak juga yang dari organisasi lain itu?”
“Sebagai tentara saya harus siap menjalankan perintah dari Pangkopkamtib di Jakarta. Bapak tahu kan Pangkopkamtib, yaitu Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Ketika nama seseorang tertulis dalam daftar mereka, entah organisasinya apa, tetap saja kami habisi.”
“Walaupun dia bukan komunis?”
“Ya. Setidaknya dia pendukung partai juga. Bukankah Presiden Soeharto pernah menyatakan agar menumpas mereka sampai ke akar-akarnya?”
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi ketika melihat saya memegang kuas pemoles busa. Saya menyelimuti tubuhnya dengan syal berwarna putih. Ia terus saja bicara sambil menjelek-jelekkan orang komunis. Mungkin dia berpikir bahwa saya bersimpati pada retorika yang ia buat, juga pada keteledorannya mengikuti perintah untuk menghilangkan nyawa orang-orang tak berdosa.
“Mestinya orang-orang Banten mengambil pelajaran dari peristiwa Geger Cilegon. Waktu itu terjadi pemberontakan rakyat yang membuat pemimpinnya Kiai Wasid dituduh komunis, dan digantung di daerah yang diberi nama Kampung Pegantungan.”
“Berarti Bapak mendukung pihak Belanda sebagai penjajah?”
“Siapa bilang?”
“Kan kejadiannya pada tahun 1888, saat Belanda sedang sekuasa-kuasanya menduduki Hindia Belanda?”
“Anu… bukan begitu,” suaranya agak bergetar. “Maksud saya… sebaiknya Bapak teruskan saja mencukur…”
Saya mengikat simpul di lehernya yang mengendur. Penjagal itu berdehem beberapa kali. Seketika saya merasa curiga, jangan-jangan ayah saya termasuk salah satu dari orang-orang tak bersalah, yang telah ia korbankan. Sejak akhir tahun 1965 keluarga kami mencari-cari beliau, tetapi hingga memasuki tahun 1968 tetap tak diketahui rimbanya. Selama bertahun-tahun ibu saya terus mendesak kami anak-anaknya, agar tak putus asa mencari jejak Ayah.
Ibu saya dari keluarga besar NU, sebagai muslimah yang sangat menghargai tradisi ziarah kubur. Ia ingin memastikan di mana letak kuburan Ayah seandainya pun ia telah mati di tangan para militer Orde Baru. Setelah tahun 1979, setelah memastikan ketiadaanya di antara ribuan tahanan politik yang dipulangkan dari Pulau Buru, barulah keluarga kami berpasrah pada Tuhan, dan selalu mendoakan kebaikan dan kedamaian di akhiratnya.
Penjagal itu memejamkan matanya ketika saya memastikan ketajaman pisau cukur sekali lagi. Ia menantikan usapan busa sabun yang membuatnya merasa dingin. Terus terang, belum pernah saya berada sedekat ini dengan orang itu. Dulu, ketika saya masih bocah seusia tujuh tahun, saya pernah menyaksikan serombongan tentara menurunkan lima orang yang dituduh komunis, lalu menyeret mereka ke kebun karet di samping sungai Kalitimbang, kemudian mengeksekusi mereka di tempat itu.
Saat itu, saya berhadapan muka dengan penjagal itu. Tetapi, nasib tragis yang dialami kelima warga itu telah mengalihkan konsentrasi saya dari perhatian ke wajahnya, yakni wajah yang saat ini sedang berada dalam kekuasaan saya.
Dulu, masyarakat kami pernah menjulukinya “Tentara Sableng”, karena siapa lagi yang punya pikiran aneh mengeksekusi orang-orang yang dituduh komunis dengan hanya mengenakan cangcut. Orang-orang naas itu sebenarnya hanya dituduh terlibat G30S, meskipun tak pernah dibuktikan kebenarannya di muka meja hijau.
Seketika saya memoleskan busa sabun pada dagunya. Saya perintahkan untuk mendangak dan menatap ke atas. Kedua tangan saya agak gemetar. Saya akan mencukur jenggot itu sebagaimana pelanggan lain, dengan penuh kecermatan dan kelembutan. Bagaimanapun saya akan berusaha agar tidak satu pori-pori pun menitikkan darah, lantaran mata pisau yang kesasar. Saya akan berusaha dengan cermat untuk memastikan bahwa pada akhirnya kulitnya harus bersih, lembut dan sehat.
Di satu sisi, ada juga jiwa pemberontak yang diwariskan ayah pada diri saya, seorang ayah yang barangkali tewas karena dieksekusi oleh salah seorang penjagal seperti dia. Tetapi di sisi lain, saya toh harus menjaga profesi sebagai tukang cukur yang sudah dikenal luas di Kota Cilegon. Dan jenggot yang sudah beberapa minggu tak diurus ini adalah tantangan yang tak terduga buat saya.
Pisau cukur saya ambil dari atas meja. Mata pisaunya yang tajam setajam silet, saya gesekkan mulai dari pipi terus menurun ke bawah. Jenggotnya agak kaku dan keras, tidak terlalu panjang tetapi tebal. Sedikit demi sedikit permukaan kulitnya muncul. Pisau cukur itu berjalan terus dan mengeluarkan suara yang khas saat busa dan potongan rambut yang kecil.kecil menumpuk di sepanjang mata pisaunya. Saya berhenti sejenak membersihkannya, lalu mengambil pengasah untuk menajamkannya sekali lagi.
Orang itu membuka matanya, menggerakkan salah satu tangannya dari bawah syal, merasakan bagian di wajahnya yang baru saja bersih dari busa sabun, lalu katanya lagi, “Pernah saya menembak tiga orang yang diseret ke belakang sekolah. Lalu anak-anak sekolah menyaksikan kejadian itu…”
“Bapak tidak menyesal dengan melakukan itu?” tanya saya jengkel.
“Apa? Anda ngomong apa tadi?” katanya seperti menginterogasi, kemudian lanjutnya dengan suara pelan, “Sebetulnya kami menyesal. Anak-anak sekolah itu tidak kami perintahkan menonton, tapi barangkali mereka menyerbu karena mendengar suara tembakan.”
“Lalu, Bapak bawa ke mana… maksud saya, mayatnya…,” kata saya agak terbata.
Sekali lagi ia menyandarkan punggung dan memejamkan matanya, dan jawabnya, “Kami hanyutkan ke sungai yang ada di belakang sekolah itu.”
Pisau cukur terus berjalan ke bawah. Kali ini dari belahan pipi yang satu lagi terus ke bawahnya. Nampak jenggotnya yang sudah memutih. Pikir saya, mengapa tidak dipelihara saja bagaikan seorang sufi atau penyair. Tentu orang-orang tidak banyak mengenal, dan bukankah hal itu akan menguntungkan baginya? Sementara saya terus mengerjakan bagian lehernya. Di sekitar leher pisau cukur harus dikendalikan dengan cermat, karena rambut di situ meskipun lebih lembut, tetapi tumbuh tak beraturan. Ada yang panjang dan ada yang pendek, juga ada bulu-bulu yang keriting meliuk-liuk.
Ia menengadah dengan mata terpejam. Di tengah leher nampak jakunnya yang menonjol. Muncul lagi pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran saya: seberapa banyak orang yang telah mati di tangannya? Berapa banyak orang-orang seperti Ayah yang tewas ditembak atas perintahnya?
Ah, lebih baik saya tak usah memikirkannya. Penjagal itu tidak tahu kalau keluarga saya kehilangan orang tuanya sejak akhir 1965 lalu.
Tentunya saya juga keberatan untuk bercerita ke orang-orang yang senasib dengan keluarga kami, yang juga telah kehilangan anggota keluarganya setelah peristiwa 1965. Bahwa saya telah mencukur seorang penjagal yang mencabut nyawa orang-orang komunis di Banten, dan saya membiarkannya bebas dalam keadaan tercukur rapi. Bahwa orang itu kelihatan lebih muda dan lebih tampan dari sebelumnya.
Sedikit busa lagi di bawah dagunya, pada jakunnya, dan di atas pembuluh darah yang besar itu. Betapa hangatnya. Penjagal itu mulai berkeringat. Saya mengerik lagi kulit di sekitar jakun, dan berusaha menjaga agar darah tidak keluar dari pori-porinya.
Muncul lagi pikiran-pikiran aneh, seandainya saya memberi sedikit tekanan saja pada kerongkongannya, kres… kres… bereslah sudah. Bisa saja saya tak memberi kesempatan untuk mengaduh, di samping karena matanya yang terpejam juga ia tak melihat kilauan mata saya dan mata pisau itu.
Tetapi kemudian muncul pertanyaan lain, apakah benar-benar beres dengan mengambil keputusan itu?
Lalu, bagaimana dengan jasadnya? Apakah akan saya kubur di bawah pohon karet, ataukah digelindingkan saja ke sungai seperti yang pernah ia lakukan terhadap musuh-musuhnya dulu? Tetapi, tentu saja ini negara hukum, dan semua orang akan dibuktikan kesalahan atau kebenarananya di muka meja hijau.
Bagaimana ketika televisi dan media-media lainnya memberitakan nama saya sebagai “penjagal baru” yang telah menggorok kerongkongan seorang mantan tentara pada saat ia dicukur? Dasar pengecut!
Sebaliknya, tentu ada saja segelintir orang yang menyatakan bahwa saya adalah seorang pahlawan dan pemberani. Lalu, siapakah saya ini sebenarnya? Pembunuh atau pahlawan?
Nasib saya tergantung pada ujung mata pisau ini. Saya bisa saja menekan tangan sedikit serta membenamkannya. Ini pisau cukur saya yang terbaik, dan mata pisaunya pun adalah mata pisau yang terbaik.
Baca juga : Pulang ke Kampung Gedong
Tetapi, pada akhirnya saya berpendapat bahwa saya tidak ingin menjadi pembunuh. Saya tak ingin melakukan kekerasan yang kelak akan berbuah kekerasan lagi. Orang itu datang ke kios untuk memotong rambut dan membersihkan kumis dan jenggotnya, dan saya harus melaksanakan pekerjaan secara cermat dan terhormat. Saya tak mau ada darah di tangan saya.
Mungkin saja ia telah mencabut nyawa banyak orang, termasuk nyawa ayah saya. Mungkin saja. Tetapi kata ‘mungkin saja’ bukanlah suatu kebenaran ilmiah. Mungkin juga apa yang dikatakannya pada saya itu benar-benar terjadi. Tapi mungkin juga tidak. Sebab, bicara di hadapan saya sebagai kebenaran belum tentu di muka pengadilan menjadi kebenaran yang disepakati semua pihak. Sesuatu yang kemarin dapat dinyatakan sebagai kebenaran, mungkin saja hari ini atau esok dianggap kekeliruan dan kesalahan.
Sekarang ini kita semua hidup di negara hukum, dan setiap kesalahan harus benar-benar dibuktikan bahwa ia suatu kesalahan, secara ilmiah, dan bukan atas dasar ambisi dan nafsu kekuasaan semata!
(*)
Muakhor Zakaria, cerpenis dan esais kelahiran Banten, dosen perguruan tinggi La Tansa, Rangkasbitung, kini menjadi pengajar sastra di wilayah pedalaman Banten Selatan.