Kota ini adalah kota tak bernama, kota yang tiba-tiba dicekam ketakutan, dikungkung wabah penyakit mengerikan. Bayangan kematian seperti berkelebat setiap sudutnya, dan apa-apa yang tersentuh membusuk secepat angin mengantarkan kabar pada telepon genggam. Burung-burung menyanyikan duka cita tentang kecemasan yang merebak, dan langit menjadi lebih terang daripada biasanya, cerobong pabrik tak lagi mengepulkan asap. Orang-orang dipaksa mengisolasi diri. Detak jantung kota ini seperti tiba-tiba berhenti. Layaknya sebuah kapal, kota ini karam di perjalanan, dan sang kapten memerintahkan agar penumpang terjun ke laut; berenang sekuat tenaga untuk sampai ke tepi tanpa sekoci.
Kau merasakan ketakutan itu kian menggunung di dadamu. Menurut kabar yang kau dengar, bayang-bayang kematian itu kian meluaskan selubungnya. Wali kota mengimbau seluruh warga agar tetap tenang dan mengisolasi diri dari keramaian. Pasar ditutup, taman-taman kota dijaga. Kesepian melumat hidupmu bulat-bulat, dan setiap malam setelah itu tak ada lagi tempat yang bisa kau jajaki untuk mengusir segala kesepian yang tumbuh subur di hatimu. Kau terpaksa mengakrabi dinding kamar pengap itu dengan beberapa karung beras dan mi instan yang kau tumpuk di sudutnya.
Seminggu setelah itu kau merasakan sesuatu yang lain, kau tak lagi percaya tentang kabar-kabar yang menakutkan itu, kini bagimu kesepian jauh lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Kau tak tahu lagi bagaimana melarung kesepian dalam kesendirian yang begitu pekat di lubuk hatimu. Tak ada teman yang benar-benar bisa membantumu dalam hal ini, tak seorang pun.
Kau berharap secercah harapan masih tersisa untukmu di balik jendela. Kau pun mulai membukanya, dan merasakan sapuan angin pada wajahmu, kemudian kau memalingkan wajahmu pada lampu-lampu jalan. Di sana kau hanya melihat laron yang terbang mengitari lampu, lalu kau bertaruh pada dirimu sendiri; mereka tidak akan berhenti sebelum keempat sayapnya luruh. Seperti halnya manusia mengeja harap di tampuk dunia.
Kini kau mengalihkan pandanganmu, dan melihat dua orang bocah yang sedang duduk di bangku taman, tak jauh dari lampu jalan yang dari tadi selalu kau perhatikan. Dari tinggi badan mereka kau hampir bisa memastikan jika mereka adalah dua bersaudara, yang lelaki lebih tua beberapa tahun dari yang perempuan. Sang adik terlihat begitu senang, dia tertawa lepas memperhatikan tingkah kakaknya. Kemudian kau berkata dalam hati, ”Aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak keluar dari kamar pengap ini. Aku akan menemui mereka. Melihat mereka lebih dekat.”
***
Dari jauh mereka telah memperhatikanmu, sang adik merapat ke pangkuan kakaknya, lalu sang kakak mendekapnya erat. Aku tersenyum geli melihat bagaimana naluri mereka untuk saling melindungi dari hal-hal yang asing, termasuk dariku. Setibanya di sana kemudian kau duduk tak jauh dari mereka, berjarak hanya sekitar satu rentang tangan orang dewasa.
”Aku hanya ingin mencari angin segar, bolehkah aku juga duduk di sini, di bangku yang sama dengan kalian, jika tidak, mungkin aku harus berjalan lima ratus meter lagi,” ucapmu berbasa-basi sambil menunjuk bangku yang lain.
Sang adik menatap mata sang kakak, kemudian dengan pandang yang awas kepadaku dia mengangguk tanda setuju.
”Baiklah, sekarang begini, aku tak bisa menikmati angin sesegar apa pun tanpa ada teman yang bisa kuajak bicara,” ungkapmu lagi.
Mereka tetap saja diam.
”Jadi begini... Oh... sudahlah, tak usah takut, santailah, sebenarnya juga tak masalah bagiku jika tak ada teman yang bisa kuajak untuk bicara,” katamu sambil memikirkan sesuatu.
”Sekarang, jika memang kalian tak mau bicara denganku, mungkin kalian mau melihat ini,” katamu lagi sambil melipatkan kedua jari-jari tangan, kau posisikan sedemikian rupa, sehingga jika dilihat dari dalam maupun luar, salah satu jemari seperti hilang; tak lengkap sepuluh.
Kemudian jari-jari itu kau perlihatkan kepada mereka bolak-balik, bagian dalam dan luar. Seperti penipu lihai di pasar-pasar kampung nan udik, yang selalu melakukan beberapa trik sebelum menjual akar jelatang sebagai obat kurap, atau minyak lintah nan mujarab, yang selalu bisa membuat pejantan lusuh kembali menemukan semangat hidupnya yang saban hari berniat bunuh diri sebab merasa hidupnya sudah tak berguna lagi.
Kedua bocah, layaknya masyarakat yang menonton si penipu lihai di pasar kampung-kampung udik itu, terperangah sambil terus memperhatikan jari-jariku tanpa berkedip.
”Kalian mau tahu bagaimana rahasianya?”
”Ya, bagaimana caranya?” ucap sang kakak sedikit malu-malu.
”Baiklah, lihat baik-baik,” perintahmu.
Mereka terus memperhatikan dengan saksama bagaimana kau menautkan jari-jarimu untuk kemudian melipat salah satunya sedemikian rupa. Sang adik terlihat kebingungan, sang kakak mengikuti arahanmu dengan serius sampai ia betul-betul bisa menirukannya.
”Lihatlah, jariku hilang satu,” sang kakak begitu bangga memperlihatkan kepada adiknya.
”Oh aku hampir lupa, siapa nama kalian?” tanyamu ingin tahu.
”Namaku Sandi, dan ini Dita,” jawab kakaknya sambil menyenggol adiknya.
”Selarut ini, kalian tak takutkah?”
”Tidak, kami pergi bersama Ibu, kami berjalan terlalu cepat, jadi Ibu tertinggal jauh di belakang,” jelas Sandi panjang lebar.
”Kakak kok di luar, bukankah orang-orang berumah tinggi itu semuanya sedang sakit kakak?” sambungnya.
Kau tertawa sejenak, bagaimana mungkin bocah ini berpikir demikian.
”Siapa yang bilang begitu?” tanyamu lagi.
Belum sempat Sandi menjawabnya, seorang wanita paruh baya mendorong gerobak berhenti di depan kami. Ia kemudian memanggil Sandi dan Dita. Mereka berdua segera berlari lalu menyambar kantong plastik hitam di bawah lampu jalan. Ibu itu kemudian kembali mendorong gerobaknya. Sandi dan Dita mengikuti dari belakang.
***
Semenjak malam itu kau selalu mencari tahu tentang mereka. Ibunya ternyata berjualan kopi seduh di perempatan jalan sekitar dua kilometer dari taman. Kini setelah sekian lama kau tinggal di kota itu kau baru tahu, bahwa setiap larut malam menuju dini hari ada dua anak kecil yang menyambangi setiap bak dan tong sampah di jalan tempat kau tinggal, mengemasi botol-botol plastik dan memungut yang masih tersisa dari sampah di sepanjang jalan.
Setiap malam setelah malam itu kau selalu memutari kota dengan motor tua yang kau beli dua bulan lalu dari hasil kerja delapan belas bulan penuh. Kini kau sadar jika pekerjaanmu begitu menyita hari-harimu, sehingga tak menyisakan sedikit pun waktu agar kau mengenal kota yang baru saja kau tinggali. Semakin jauh kau berjalan, semakin banyak Sandi-Dita lain yang kau temui, pedagang kecil yang mengeluh, kuli panggul yang menggerutu soal bagaimana besok membeli beras.
Baca juga : Pulang ke Kampung Gedong
Melihat mereka semua kau sadar beberapa hal; di kota ini jauh sebelum wabah ini ada, kemiskinan telah lebih dahulu mengerikan dan tumbuh dan terpelihara entah bagaimana caranya sehingga demikian subur.
Sekarang kepalamu disesaki kenyataan-kenyataan, kemudian kau bergumam dalam hati, ”Dalam kota tak bernama, wabah menyaru banyak muka. Dan kita selalu menyerah pada ketakutan kita masing-masing: ada yang takut kesepian melebihi kematian, ada yang terpaksa melawan kengerian demi menenangkan rasa lapar, ada yang mengurung diri dan berlindung dari ketakutan itu sendiri, dan yang paling memuakkan dari semua itu adalah: ada politisi yang mengabaikan semuanya demi sebuah citra baik.”
Selesai
***
Lahir dengan nama lengkap Dino Rawan Putra di Kenagarian Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Sekarang mencari peruntungan dengan menjadi tukang takiak di kampung halaman sendiri.