Hingga sepuluh tahun usia pernikahannya, ia belum juga punya anak. Pada saat yang sama, dia selalu gagal dengan resep-resepnya di dapur. Ia tetap memasak meski setiap orang yang mencicipi masakannya mengatakan dia sama sekali tak berbakat.
Setiap kali menyelesaikan masakannya, pagi-pagi, ia akan membawa hasil karyanya itu ke taman depan rumahnya yang selalu tampak terawat itu. Di sana, ia menggelar pesta kecil untuk menjamu gerombolan kucing-kucing liar yang jumlahnya belasan. Mereka terlihat sangat akrab, seperti induk dengan anak-anaknya yang imut. Setelah itu, ia baru akan bisa tidur dengan nyenyak sembari menunggu suaminya pulang.
**
Di dalam tidurnya, dia adalah seekor merpati dengan bulu putih yang terang sekaligus lembut. Ia suka bertengger di dahan pohon yang tak pernah ia jumpai di dunia nyata. Pohon yang akarnya menjulur dan mencengkeram ke langit. Dahan, daun, dan buahnya bergelantungan di bawahnya. Konon, pohon itu bernama khuldi. Satu-satunya jenis tanaman yang dapat tumbuh di padang pasir yang kering itu.
Belum lama bertengger, badai pasir menyerangnya dengan ganas. Dalam hitungan detik, sebelum amukan badai itu menghantam tubuh wadakya, ia memutuskan untuk melawan naluri menghindar dari ancaman. Ia telah menempuh tahun-tahun perjalanan yang melelahkan. Ribuan kali ia terbang bermigrasi bersama burung-burung kutub, tapi perjalanan itu selalu berakhir pada kenihilan, kehampaan yang paripurna. Ia merasa telah sampai di titik akhir perjalanan.
Dia bersikap setenang embun pagi ketika pusaran badai makin mendekati. Ia tahu, lepasnya roh dari tubuh wadaknya akan menimbulkan rasa sakit yang hebat. Dia merasa telah merasakan dan meyaksikan semua kepahitan di dunia, dan ia mereka semua itu bekal yang lebih dari cukup untuk menghadapi kematiannya.
Pada detik seharusnya dia dihantam dan digulung pusaran badai pasir itu, sepasang kuku elang menyergapnya secepat kilat. Hampir-hampir cengkeraman itu meremukkan tulang-tulangnya.
”Kematian yang terbaik adalah menjadi mangsaku, merpati cantik yang dungu,” kata elang dengan jengah.
Setelah puluhan tawaf di angkasa, elang yang menyadari merpati tak bisa bicara karena kepayahan menahan sakit segera mencari dahan yang kukuh untuk ia bertengger dengan mangsanya. Tak tampak tanda-tanda badai telah menyapu tempat itu, membuat merpati yakin itu adalah tempat yang jauh dari tempat sebelumnya.
”Katakan sesuatu atau aku takkan menunda lagi untuk mencabikmu!” gertak elang yang tak sedikit pun lengah.
”Aku bukan burung….”
”Kukira hanya manusia yang bisa membual. Kamu belajar dengan baik kepada mereka, Merpati.”
”Aku adalah manusia yang meminjam tubuh burung dalam mimpi untuk mencari kekasih sejatiku yang tak kutemui di dunia. Kamu tahu pasti aku dari jenis burung yang setia.”
Setelah puluhan tawaf di angkasa, elang yang menyadari merpati tak bisa bicara karena kepayahan menahan sakit segera mencari dahan yang kukuh untuk ia bertengger dengan mangsanya. Tak tampak tanda-tanda badai telah menyapu tempat itu, membuat merpati yakin itu adalah tempat yang jauh dari tempat sebelumnya.
”Sekarang kamu menunjukkan bakatmu yang lain, melawak. Burung seperti kita tak memerlukan itu semua.”
”Sekarang kamu punya alasan untuk percaya bahwa aku bukan burung sepertimu.”
”Apa pun itu, kamu sekarang adalah milikku. Aku bebas melakukan apa saja atas dirimu.”
”Aku tak peduli, lakukanlah.”
”Sekarang juga aku tahu, manusia tak lebih baik dari burung pemangsa sepertiku.”
”Apa maksudmu?”
”Kamu memang lebih baik mati. Dengan begitu anak-anakku akan lebih cepat menumbuhkan bulu-bulunya sebelum belajar terbang dan menemukan takdirnya sendiri.”
Merpati seperti mendapat petunjuk gaib dari kata-kata elang. ”Lakukanlah segera, kumohon! Aku akan berbahagia jika itu untuk anak-anakmu.”
Badai berikutnya datang. Elang terkejut demi mendengar gemuruhnya, dan membuatnya lengah. Merpati mendadak mendapatkan kembali tenaganya yang sempat hilang beberapa saat lalu. Ia yakin itu pertanda ia harus pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum selesai, entah apa.
Ketika ia berharap untuk keluar dari alam mimpinya, ia justru terjebak di pintu berlabirin. Tiba-tiba rasa sakit dan lelah menyergapnya. Tenggorokannya terasa begitu kering. Rasa haus yang bisa mengalahkan rasa jijiknya pada kencing seekor anjing sekalipun.
Dengan pandangan yang mulai kabur, ia melihat seekor anjing dewasa dan anak kucing yang berjalan beriringan. Anjing itu mendekatinya dan menggonggong sekali. Tanpa sesiapa pun memerintahkan, anjing itu menjejalkan putingnya yang kemerahan dan terlihat mengkal itu ke mulut Merpati. Dengan rakus, ia memompa susu anjing. Kucing kecil itu menyadap puting yang lain. Mereka seperti sebuah keluarga yang hangat.
Merasa cukup, Merpati melepaskan puting itu. ”Terima kasih induk anjing berhati malaikat.”
”Berhentilah memujiku. Berterima kasihlah pada Tuhan.”
”Maaf, aku terkejut. Aku baru tahu seekor anjing pun bertuhan.”
”Maksudku tuhanmu.”
”Aku telah lama melupakannya. Mungkin sejak aku tahu dia melarangku memasak dan tak mau memberiku anak.”
”Sungguh keterlaluan, tuhanmu.”
”Tidak seburuk itu sebenarnya.”
”Apa kau bermaksud menyalahkan dirimu sendiri, Merpati?”
”Mungkin. Aku menikah pada usia empat puluh tahun. Suamiku lima tahun lebih tua.”
”Itu takkan terlalu menolongmu.”
”Sepertinya pilihan yang tak terlalu buruk daripada aku meminta pertanggungjawaban pada orang lain.”
”Untuk itulah kalian tak mungkin hidup sendiri.”
”Kamu pandai melucu rupanya, Anjing.”
”Lihatlah anakku ini!” Anjing itu memukulkan lembut satu kaki depannya ke kepala kucing yang sedang seperti tak lelah memompa susunya. Kucing itu hanya melirik tak acuh—tak peduli pada pembicaraan Anjing dengan Merpati.
”Dia anakmu? Kamu yakin?”
”Aku yang melahirkannya.”
”Tapi, kamu ingat pasti dengan siapa kamu melewatkan malam yang bergairah itu bukan?”
”Tentu saja. Sebelum melahirkannya, aku menghabiskan malam-malamku dengan sesosok malaikat.”
”Apa kamu pernah memangsa seekor kucing betina yang tengah mengandung?”
”Aku vegan.”
”Oke. Kau bukan Anjing yang pernah lepas dari laboratorium seorang profesor?”
”Kamu hanya perlu percaya dengan segala sesuatu yang jujur. Dan, semuanya akan terjadi secara alami.”
**
”Kau bertemu kucing-kucing itu lagi, Sayang?”
Nyonya Betty ingin tersenyum saat suaminya mencium keningnya, tapi otot-otot di wajahnya masih terlalu kaku.
”Mbak Sum yang mengatakan padamu?”
”Kamu sesak napas lagi, tak seharusnya kamu terlalu berdekatan dengan mereka.”
”Jadi ini belum sore? Aku telah membuatmu cemas. Maaf, Sayang.”
”Ini jam istirahat makan siang.”
”Kamu sudah makan siang?”
Menggeleng. ”Kau masak apa hari ini?
”Sudah dihabiskan kucing-kucing itu.”
”Kamu memang lebih mencintai mereka,” goda suaminya berlagak cemburu.
Baca juga : Cakar Dubuk Tutul
Nyonya Betty sebenarnya ingin bercerita apa yang menjadi mimpinya pada suaminya; dan membicarakan rencananya untuk mengadopsi belasan kucing kampung itu. Tapi dia tahu, itu hanya akan membuat suaminya sedih dan merasa bersalah.
Sejak awal, ia tahu akan menikah dengan seorang yang impoten. Menurut cerita suaminya—yang ia peroleh dari guru spiritualnya di lereng Merapi—kejantanan suaminya tersangkut di hati cinta pertamanya. Semestinya kutukan itu tak perlu terjadi jika saja dulu ia mengakui buah cintanya. Tapi, semua terlambat, kekasihnya justru meregang nyawa saat proses aborsi janin dalam rahimnya.
Nyonya Betty sendiri telah mengangkat rahimnya saat ia berumur dua puluh lima. Ibu dan kakak perempuan Nyonya Betty meninggal karena kanker rahim.
Fakuntsin, 2020
***
Mufti Wibowo lahir dan tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.