Pandemi
“Enggak usah merajuk gitu, Ma. Papa kan dulu sering bilang, semua indah pada waktunya. Yang penting doa dan upaya kita jangan sampai putus.”
Tiba-tiba ada desir halus kurasakan di dada. Desir yang sepertinya memberi isyarat bahwa akan terjadi sesuatu yang berpengaruh pada hidupku. Namun, sebagaimana pernah kualami sebelumnya, tidak dapat kupastikan karena aku tidak cakap menerjemahkan firasat. Karena itu, yang dapat kulakukan hanya menebak-nebak.
Kendati tebakanku sering meleset, kali ini aku merasa agak yakin bahwa desir halus di dadaku ada hubunganya dengan wabah yang sudah dinyatakan WHO sebagai pandemi. Ya, wabah yang bermula di Wuhan itu. Imbauan menjaga jarak sosial atau menjaga jarak fisik itu sudah jelas pertanda buruk buat karierku. Upaya pemasaran seperti apa pun yang kulakukan tidak efektif lagi. Tingkat hunian hotel tempatku bekerja turun terus dari hari ke hari, bahkan banyak tamu yang membatalkan reservasi.
Begitulah, aku semakin resah seiring semakin banyaknya orang yang dinyatakan positif Covid-19 di mana-mana, tak kecuali Bali. Dapat kubayangkan betapa industri pariwisata tempatku mengais rezeki akan segera luluh lantak. Aku khawatir tak lama lagi manajemen akan membuat keputusan yang tidak dapat dielakkan: merumahkan karyawan sampai batas waktu yang tidak ditentukan, seperti halnya perusahaan-perusahaan lain yang telah lebih dulu melakukannya. Sudah terbayang olehku, tak lama lagi aku akan hengkang dari pulau yang merupakan salah satu destinasi pariwisata terbaik di dunia ini, tempat yang tiga tahun terakhir tidak saja memberiku nafkah yang layak, tetapi juga telah mempertemukanku dengan Baskara, laki-laki yang kuharap kelak akan menyempurnakan hidupku.
***
Aku bersyukur bisa kembali ke Tangerang dalam keadaan sehat sebelum protokol pembatasan sosial berskala besar ditetapkan. Bagaimanapun aku senang bisa berkumpul lagi dengan Mama dan adik laki-lakiku yang masih kuliah. Akan tetapi, hari demi hari yang kemudian harus kami lewati dengan diam di rumah saja tidak bisa tidak menghadirkan kejenuhan.
Tidak dapat dimungkiri, wabah yang sedang melanda menghadirkan ketidaknyamanan. Namun, hidup harus terus berjalan. Mama yang sebelumnya buka toko kue di sebuah pusat perbelanjaan mencoba menyiasati keadaan dengan menyibukkan diri di dapur, membuat beberapa jenis kue seperti ketika baru mulai berjualan kue di depan rumah. Anton yang hampir selesai dengan kuliahnya di Fakultas Teknologi Informasi sepanjang hari kerjanya hanya duduk di depan laptop, sementara aku mengisi waktu dengan membaca novel dalam jaringan yang aplikasinya semakin bertebaran di jagat maya.
Malam itu kami bertiga masih duduk bergeming di meja makan walau piring-piring kami sudah kosong. Ada kerisauan hinggap di dada demi menyadari sudah hampir tiga bulan kami melewati hari-hari di rumah saja. Bagaimana kalau itu berlangsung lebih lama? Enam bulan, setahun, atau bahkan lebih?
Mama mulai mencemaskan tabungannya yang terus berkurang. Sejak tidak buka toko lagi, praktis tidak ada lagi penghasilan. Aku sendiri tidak begitu khawatir karena masih menerima upah walaupun tidak sebesar saat aku masih aktif bekerja, tetapi tidak ada jaminan sampai kapan itu akan berlangsung. Sementara Anton hanya bisa diam menerima keadaan yang tidak pernah ia bayangkan. Bertahan hidup dalam keterbatasan yang tidak jelas ujungnya bagaimanapun membuat perasaan tertekan.
”Ini hari terakhir Mama bikin kue,” suara Mama putus asa.
”Kenapa, Ma?” tanggapku.
”Persediaan bahan habis.”
”Kok baru bilang?”
”Mama jadi malas. Kue-kue yang Mama gantung di pintu pagar makin sedikit yang ambil. Mungkin mereka lebih suka mi instan atau beras.”
Aku terenyuh melihat wajah Mama tersaput mendung. Ia yang sebelumnya punya banyak kegiatan pasti stres kalau sampai tidak melakukan apa-apa sepanjang hari. Konon perasaan tertekan menurunkan imunitas tubuh dan bisa berakibat buruk di tengah merebaknya Covid-19.
”Mama jangan berhenti bikin kue,” bujukku.
”Mama kan sudah bilang, bahannya habis. Lagi pula siapa yang makan nanti?”
”Ya, kita dong.”
”Lha itu sisa kue numpuk, enggak ada yang menyentuh!”
Aku dan Anton saling pandang. Aku mendadak teringat Papa yang telah meninggal beberapa tahun lalu karena gagal jantung. Jika almarhum tidak mendapat pertanggungan asuransi yang cukup besar, tak dapat kubayangkan seperti apa buruknya keadaan yang harus kami hadapi.
”Enggak usah merajuk gitu, Ma. Papa kan dulu sering bilang, semua indah pada waktunya. Yang penting doa dan upaya kita jangan sampai putus.”
Habis berkata begitu, aku melepaskan pantat dari kursi, lalu mengumpulkan piring-piring kotor dan kubawa ke dapur untuk dicuci. Seperti biasa, sambil menunggu datangnya kantuk, Mama duduk di depan televisi di ruang keluarga dan Anton kembali ke laptopnya.
Ketika aku masuk ke kamarku di lantai dua, aku iseng menyibak gorden jendela dan melongok ke luar. Di langit sebelah timur tampak bulan mengambang dijauhi awan tipis. Itu mengingatkanku pada kawasan Sun Set Road, Kuta.
Tepatnya sebuah resto di mana aku pernah menikmati bebek renyah bersama Baskara pada saat terang bulan. Tempat itu pasti akan tetap tersimpan rapi dalam kotak memoriku karena di situlah pertalian batin kami berawal.
Sedang apakah ia sekarang? Kupikir ia juga tidak ke mana-mana. Aku tahu kebiasaan warga di tempatku bekerja. Kalau tidak ada kepentingan mendesak, mereka pasti patuh diam di rumah mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan walau mungkin ada saja segelintir yang bandel.
Baskara yang tinggal di desa mungkin tidak merasa tertekan karena lingkungan rumahnya cukup luas. Beda dengan kami yang tinggal di kompleks perumahan di lingkungan kota. Ruang gerak kami terbatas. Jika keadaan normal, aku pasti sudah ke mal atau bertandang ke rumah teman-temanku. Sekarang aku tidak melakukan itu karena sangat riskan. Wabah yang sedang melanda tidak bisa dianggap sepele karena sudah merenggut begitu banyak nyawa di mana-mana.
Ketika aku sedang menekan-nekan tombol ponselku, tiba-tiba ada panggilan masuk. Dan itu dari Baskara.
”Malam, Bas,” aku berdebar seperti biasanya setiap kali menerima teleponnya.
”Malam juga, Met.”
”Kok bisa pas ya?”
”Apanya yang pas?”
”Barusan saya mau nelepon kamu, tapi kamu sudah mendahului.”
”Kebetulan, kata orang. Tapi saya tak percaya dengan yang namanya kebetulan.”
”Kenapa?”
”Semua kejadian pasti ada sebabnya, tapi tak usah kita bahas ya.”
”Oke, ngomong-ngomong kamu jenuh enggak sih di rumah terus?”
”Ya pastilah. Tapi setelah ada kegiatan malah jadi lupa waktu.”
”Kegiatan apa?”
”Berkebun.”
”Berkebun? Saya kira asisten chef lebih cocok menghabiskan waktu di dapur.”
”Itu pasti. Beberapa hari setelah dirumahkan, ada saja teman yang pesan makanan. Setelah itu saya coba jualan online. Ternyata lumayan banyak yang minat.”
Aku tertegun. ”Kamu kok enggak pernah cerita?”
”Lha kamu kan tak pernah nanya.”
”Terus, kok sempat berkebun segala?”
”Di belakang rumah kan ada kebun manggis. Ayah merawat kebun itu sambil memelihara beberapa ekor sapi. Ketika saya iseng ke kebun, tak hanya pohon-pohon manggis yang saya temukan. Ada juga tanaman lain, seperti jahe, kunyit, temulawak, sereh, kelor, dan lain-lain.”
”Terus?”
”Saya jadi ingat teman saya, seorang herbalis. Ia senang ketika saya bilang saya punya stok bahan herbal yang cukup banyak. Ia langsung memborong. Ia bilang herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh sedang banyak dicari sampai ia kekurangan bahan.”
”Wah, seperti dapat durian runtuh dong.”
”Ia bahkan minta saya menanam lebih banyak pohon kelor.”
”Untuk apa?”
”Daun kelor ternyata banyak manfaatnya. Coba deh kamu googling. Kamu pasti kaget. Teman saya itu sudah mengekspor ekstrak daun kelor ke Perancis. Ia bilang belum bisa memenuhi semua permintaan.”
”Wow, pandemi ternyata menyodorkan hal lain.”
”Kata orang, selalu ada peluang tersembunyi di balik kesulitan. Kita pasti menemukannya jika kita berpikir positif dan jeli.”
”Dan kamu begitu jeli.”
”Saya harap kamu juga begitu.”
”Dalam keadaan begini, apa kamu yakin ekspor kelor masih jalan?”
”Jika tidak, saya punya rencana lain.”
”Apa itu?”
”Daun kelor yang saya hasilkan akan saya olah sendiri. Mungkin dalam bentuk teh atau kerupuk atau yang lain. Begitu juga dengan jahe, kunyit, dan temulawak.”
”Saya senang mendengarnya, dan jadi tak sabar ingin ketemu kamu.”
”Sama, Met. Saya juga kangen kamu. Sekarang giliran kamu yang cerita. Apa yang kamu lakukan selama ini?”
”Ah, enggak pantas saya ceritakan. Saya keranjingan baca novel.”
”Awal yang bagus.”
”Maksud kamu?”
”Banyak membaca bisa memicu keinginan menulis.”
”Apa iya?”
”Itu kata teman saya yang penulis.”
”Seandainya saya bisa...”
”Pasti bisa kalau kamu punya kemauan.”
”Terima kasih, Bas. Saya senang kita bisa ngobrol seperti ini.”
***
Aku melesat ke luar kamar. Kuturuni anak tangga dengan gerakan tergesa sambil menyesali diri yang tidak begitu tanggap pada peluang yang bisa ditangkap.
”Bagaimana kalau...,” usulku ketika sudah berada di dekat Anton yang masih asyik dengan laptopnya.
”Kalau apa?” respons Anton sambil memalingkan wajah dengan tatapan heran.
”Kalau kue buatan Mama kita jual online.”
”Memang bisa?” Mama yang sudah setengah mengantuk nyeletuk.
”Ya bisalah, Ma.”
”Tapi kita enggak ada pengalaman.”
”Makanya kita coba.”
”Terus bahannya bagaimana?”
”Kita beli online juga.”
”Apa ada yang jual bahan online?”
”Pasti ada. Yang jual sayur aja ada kok.”
”Masa sih?”
”Memang Mama enggak pernah lihat di ha-pe?”
Baca juga: Sore Bersama Ibu
Mama menggeleng pelan.
”Ah, Mama. Punya ha-pe cuma buat nelepon aja sih.”
”Mama kan enggak ngerti kalau bisa buat begituan.”
Aku dan Anton saling pandang sembari senyum-senyum geli.
”Enggak masalah sih,” aku menanggapi. ”Mama nanti fokus aja buat kue. Meta yang urus pemasarannya dan Anton yang kebagian tugas mengirim.”
”Ini ide keren. Akhirnya semua akan punya kesibukan,” sambut Anton gembira.
”Mama setuju. Kapan kita mulai?”
”Beli bahannya sekarang juga bisa,” ujar Anton.
”Malam-malam begini?” Mama mengerutkan keningnya.
”Belanja online itu bisa kapan saja, Ma. Tapi dikirimnya paling cepat besok.”
”O, begitu ya,” Mama manggut-manggut.
__________________
Ketut Sugiartha tinggal Tabanan, Bali. Menulis esai, puisi, cerpen, dan novel. Tulisan-tulisannya telah tersebar di sejumlah media cetak dan daring. Telah menerbitkan 10 buku fiksi meliputi kumpulan cerpen dan novel. Novel terbarunya: Kembali ke Bali.