Sore Bersama Ibu
Ibu menghela napas, kemudian tersenyum dan mengangguk. Tentu saja Ibu sangat tahu betapa kerasnya aku dalam hal itu. Dan ia tidak bisa menyalahkanku sepenuhnya, karena ia merasa ikut andil atas traumaku pada pernikahan.
Ibu mengaduk chai tea hangat yang kubuatkan untuknya. Ibu suka chai tea buatanku. Katanya aku pintar menakar susu, teh hitam, jahe, dan rempah-rempah yang pas. Kami duduk di ruang tamu. Sayup-sayup terdengar suara TV menyiarkan iklan komersial tentang produk kecantikan di ruang sebelah.
”Dulu mereka bilang cantik itu kuning langsat, sekarang cantik itu putih,” ujar Ibu tiba-tiba mengomentari suara iklan di TV.
Aku hanya tertawa kecil.
”Tapi, kamu tetap putri Ibu yang paling cantik Nduk,” Ibu melanjutkan sambil meneguk chai tea perlahan.
Aku tersenyum tipis, menatap cengkih dan bunga lawang yang mengapung di chai tea-ku. Aku melihat bahwa warna chai tea itu hampir serupa dengan kulitku, coklat susu. Mungkin itu maksud Ibu mengomentari iklan TV tadi. Tapi pikiranku tidak di situ.
”Ibu tidak ingin menikah lagi?” Aku sebetulnya bukan ingin membicarakan tentang hal ini, tapi entah kenapa kalimat itu yang meluncur dari mulutku.
Ibu hanya menatapku sejenak dan menggeleng.
”Belum,” jawab Ibu datar.
Kami terdiam, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Aku teringat pernikahan Ibu. Ibu pernah menikah tiga kali. Semuanya kandas, kecuali yang terakhir, Ibu ditinggal mati lebih dulu. Pernikahannya yang pertama seharusnya menjadi sebuah pernikahan yang bahagia. Dari pernikahan itulah lahir aku, putri semata wayangnya. Kata Ibu, saat itu merupakan salah satu hari paling menggembirakan dalam hidupnya. Aku tahu Ibu tidak berbohong. Aku melihat sendiri pada sebuah foto usang. Ibu menatapku penuh kebahagiaan saat aku masih merah dalam gendongan.
Sayangnya, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Hanya satu tahun setelah kelahiranku. Kemudian keluarga kecil Ibu diteror oleh seorang perempuan. Perempuan itu mengaku memiliki anak dari Ayahku, dan mengancam untuk membunuh bayi dan dirinya sendiri jika tidak dinikahi. Lebih lagi, dia juga memaksa Ayah untuk meninggalkan kami. Bapak perempuan itu adalah bos di tempat Ayah bekerja. Ayah masih pegawai rendahan saat itu. Ayah merasa tidak punya pilihan. Bukan, Ayah punya pilihan, Ayah memilih untuk meninggalkan aku dan Ibu sendirian.
Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara sendok yang jatuh berdenting. Ibu tertidur di kursi tamu, menjatuhkan sendok teh kecil di genggamannya. Ibu juga terbangun karenanya.
”Wah, sudah waktu Ashar, sebentar, ya, Nduk, Ibu sembahyang dulu, kamu sudah sembahyang?”
Aku hanya meringis. Ibu tersenyum dan beralih ke ruang sebelah, menggelar sajadah dan mukena. Sambil menunggu Ibu sembahyang, aku menatap foto masa kecilku yang dipajang di dinding ruang tamu oleh Ibu. Tenggelam kembali dalam lamunanku. Aku memang tidak mengingat dengan baik kisah pernikahan pertama Ibu, atau perceraiannya dengan Ayahku itu. Tentu saja karena masih balita umurku pada saat itu. Justru, yang banyak menghantuiku adalah pernikahan keduanya. Pernikahan sialan itu. Aku meyakini, itu juga sangat melukai Ibu.
Aku masih TK nol besar waktu itu. Ibu menikah lagi dengan seorang juragan besi. Kata Ibu, pernikahan itu hanya sebentar. Ibu tidak pernah mau mengingat dan membahasnya. Aku pun tidak pernah sudi memanggilnya Bapak sampai kapan pun. Seingatku, juragan besi itu bukan orang yang menyenangkan. Dia suka sekali membentak dan juga kasar kepadaku ataupun Ibu. Aku masih terlalu kecil untuk memahami keadaan. Tapi aku tahu, pernikahan itu tidak pernah membawa kebahagiaan buat Ibu.
Pada suatu siang yang terik. Aku sedang bermain masak-masakan di halaman belakang. Ada Ibu yang sedang sibuk membersihkan daun talas dengan pisau di situ. Biasanya Ibu gunakan sebagai bahan membuat buntil untuk dijual.
Ibu seperti tidak menyadari kehadiranku. Aku melihat sudut bibir Ibu membiru. Aku tahu pasti si juragan itu habis memukul ibuku. Tidak lama, Ibu tiba-tiba menangis meraung-raung. Ibu kemudian membawa pisau yang terhunus dan menancapkannya ke pintu berkali-kali seperti kesetanan.
Aku mematung dan menangis karena ketakutan. Pisau menancap di daun pintu. Ibu jatuh tersungkur masih setengah histeris. Aku berlari memeluk Ibu dalam diam dengan tubuh gemetaran.
Setelah dewasa, aku baru tahu, juragan besi itu mengkhianati Ibu dan kabur membawa seluruh tabungan Ibu yang disiapkan untuk sekolahku. Ia juga pergi membawa seluruh perhiasan dan meninggalkan utang yang harus dilunasi ibuku hingga bertahun-tahun kemudian.
Aku meneguk chai tea-ku yang sudah hampir habis. Aku melirik jam, sudah 40 menit lebih. Ibu masih belum selesai sembahyang. Aku tahu Ibu punya kebiasaan berdoa lama setelah selesai sembahyang. Tapi ini sudah terlalu lama. Aku tidak sabar karena sebetulnya hendak menyampaikan sesuatu pada Ibu.
Saat hendak kutengok, tiba-tiba Ibu muncul dengan sepiring tahu susur panas, lengkap dengan cabai hijau pedas.
”Kamu pasti lapar, kan, ini barusan Ibu belikan tahu kesukaanmu,” ujar Ibu sambil menyodorkan piring itu kepadaku.
“Ah, kapan Ibu membelinya? Aku tidak tahu,“ ujarku sedikit terkejut.
”Kamu kebanyakan melamun dari tadi.” Ibu tersenyum.
”Paklik Budi nanti mau ke sini, Ibu bilang ada kamu di rumah, dia senang sekali.”
Ah, Paklik Budi, dia adik kandung ibuku yang nomor dua. Ibu sendiri adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Dulu, kata Ibu, saat pernikahan salah satu saudaraku, seperti umumnya selalu ada sesi foto keluarga. Biasanya keluarga besar berfoto semua, kemudian baru dibagi per anggota keluarga yang lebih kecil.
Waktu itu, aku menangis berteriak-teriak dan tidak mau difoto. Aku marah pada Ibu karena aku merasa hanya keluargaku yang tidak lengkap saat berfoto. Aku tidak punya Ayah. Sedang semua sepupuku berfoto dengan Ibu dan Ayahnya. Akhirnya Paklik Budi bilang padaku, bahwa dia akan jadi Ayahku. Aku kemudian mau difoto bersama, dan bilang pada Ibu aku mau punya Ayah seperti Paklik Budi. Aku tersenyum mengingat hal itu.
”Nduk, Paklik Budi tanya ke Ibu, kamu kapan menikah?”
”Bu....” Aku hendak mengatakan sesuatu, ya, tujuanku semula datang ke rumah Ibu sore ini, tetapi dipotong ibuku.
”Ibu cuma menyampaikan. Nanti, kan, kamu juga ketemu, bisa kamu jawab sendiri.”
Aku mengangguk dan akhirnya diam sambil mengunyah tahu susur yang masih hangat. Sebetulnya diam-diam aku kagum dengan ibuku. Aku yakin, aku sudah menjadi bahan gunjingan para tetangga di desanya sebagai perawan tua yang belum kawin. Usiaku sudah menginjak kepala tiga. Dan pertanyaan-pertanyaan seperti Paklik Budi selalu ditanyakan keluarga besarku, Budeku, Pakdeku, Bulikku. Pasti ditanyakan juga oleh tetangga-tetangga di desa.
Tapi tidak dengan Ibu. Ibu sama sekali tidak pernah bertanya apa pun tentang itu dan tidak peduli dengan desakan orang-orang di sekitarnya. Aku tahu, Ibu diam-diam justru membelaku.
Pernah setahun yang lalu. Aku sempat bilang pada Ibuku bahwa aku enggan menikah. Dengan alasan aku tidak percaya sama sekali dengan ikatan pernikahan. Aku sudah mengantisipasi dengan menyiapkan jawaban-jawaban jika Ibu marah saat aku mengutarakan pikiranku. Ibu sedang mengaduk sayur waktu aku menyampaikan hal itu.
”Nduk, hidupmu adalah milikmu sepenuhnya, pilihanmu, Ibu bisa apa selain mendukungmu,” Ibu menatapku sesaat, kemudian sibuk mengaduk sayur kembali.
”Jangan pedulikan omongan orang lain, bukan mereka, tapi kamu sendiri yang menjalani hidupmu.”
Untuk seorang wanita yang hidup di desa, jawaban Ibu sungguh di luar dugaanku. Aku mengira, pengalaman-pengalaman Ibu tentang kegagalannya menikah barangkali yang membuatnya setenang itu menghadapi pikiranku. Dan aku meyakini, tentu Ibu tidak ingin aku mengalami hal serupa dengannya.
Pernikahan Ibu yang terakhir, bisa jadi pernikahannya yang paling bahagia. Meskipun harus kembali dipisahkan pada akhirnya. Aku masih SD waktu itu saat Ibu bilang dia menemukan Bapak untukku. Ya, aku kemudian memanggilnya Bapak. Seorang pria pendiam yang senang menembang Jawa sambil memberi makan perkutut peliharaannya.
Ketika Bapak, kemudian meninggalkan Ibu lebih dulu karena serangan jantung, butuh waktu yang sangat lama bagi Ibu untuk sembuh dari dukanya. Dan seingatku, aku tidak betul-betul ada di samping Ibu waktu itu. Aku justru sibuk dengan pikiranku sendiri. Sibuk dengan lukaku sendiri. Aku menyalahkan Ibuku atas semua hal yang terjadi.
Hubunganku dengan Ibu merenggang. Aku memutuskan untuk keluar dari rumah Ibu, menjalani hidup sendiri. Mungkin baru beberapa waktu terakhir, hubungan kami membaik kembali. Kadang-kadang aku datang mengunjunginya, seperti sore ini.
”Bu, sebetulnya ada yang harus aku sampaikan pada Ibu.”
”Apa itu Nduk, katakan saja.” Seperti biasa Ibu menaggapiku dengan tenang.
”Ibu tahu, kan, aku enggan menikah, aku tidak percaya itu semua.”
Ibu menghela napas sesaat, kemudian tersenyum dan mengangguk. Tentu saja Ibu sangat tahu betapa kerasnya aku dalam hal itu. Dan ia tidak bisa menyalahkanku sepenuhnya karena ia merasa ikut andil atas traumaku pada pernikahan. Hal yang diam-diam juga menghantuinya dengan rasa bersalah.
”Itu aku yang dulu, Bu, yang masih marah, dendam, dan trauma.” Aku terdiam sejenak menatap mata Ibu. Ibu tampak sedikit bingung dan berusaha menebak apa yang sebetulnya hendak kusampaikan.
”Bu, besok calonku mau berjumpa dengan Ibu.”
Ibu tampak seperti tidak percaya mendengar hal itu. Sekilas kulihat, ekspresi wajahnya sama bahagianya dengan wajah yang ada di foto usang saat menggendongku. Ibu kemudian memelukku erat sekali.
”Aku buatkan chai tea lagi, ya, Bu.”
Ibu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Aku meninggalkan Ibu di ruang tamu seorang diri. Seorang Ibu yang sedang bersyukur karena doa-doanya yang panjang akhirnya dikabulkan.
Annisa Hertami, pekerja film, tenaga pengajar dan penulis. Kini bermukim di Yogyakarta.
Slamet Riadi, lahir 27 Februari 1967 di Malang. Menamatkan pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Kini bermukim di Bantul, DIY.