Mbah Yai
Kang Adi adalah salah satu santri dari Mbah Yai yang bisa dibilang istimewa. Selain sudah terhitung senior, dia juga dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata.
Setelah salat Isya, seluruh santri pondok pesantren Roudlotut Thullab baik putra maupun putri mengikuti kajian kitab kuning yang dipimpin langsung oleh pengasuh pondok, Kiai Haji Abdul Muhaimin. Para santri lebih sering menyebut beliau Mbah Yai.
Kang Adi adalah salah satu santri dari Mbah Yai yang bisa dibilang istimewa. Selain sudah terhitung senior, dia juga dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata. Dari segi hafalan saja misalnya. Para santri lain baru hafal sebaris nazam jika dibaca minimal tiga kali. Bahkan, ada yang membaca tujuh hingga empat belas kali baru hafal. Sedangkan, Kang Adi hanya sekali baca, nazam itu langsung melekat di kepalanya.
Barangkali Mbah Yai juga menyadari hal ini, maka beliau memperlakukan Kang Adi dengan tidak biasa pula. Seperti pada kegiatan mengaji ini. Jika para santri lain sudah duduk berjejer dan siap dengan kitabnya masing-masing, Kang Adi justru membawa kipas anyam di tangannya dan duduk tepat di sebelah Mbah Yai, tak lain untuk mengipasi beliau. Memang Mbah Yai sendiri yang memintanya. Kalau ada pertanyaan-pertanyaan spontan dari Mbah Yai, entah tentang isi kitab atau pun gramatika bahasa Arab, Kang Adi dengan cepat dan lugas langsung bisa menjawabnya. Kemudian jika Kang Adi sedang berhalangan dan tidak bisa mengikuti kajian, Mbah Yai tidak berkenan dikipasi oleh santri lain. Waktu itu pernah sekali Kang Misbah yang mengipasi beliau, tapi Mbah Yai malah berkata sudah, tidak usah, Kang. Kamu fokus maknani kitabmu saja.
Sebenarnya Kang Adi juga tidak mempermasalahkan. Walaupun sambil mengipasi, toh dia tetap paham dan mengerti apa yang diajarkan oleh Mbah Yai. Hitung-hitung juga melayani beliau. Lagi pula, ilmu akan lebih bermanfaat dan berkah jika pemiliknya menghormati dan melayani gurunya.
Ini berlangsung hingga bertahun-tahun.
Setelah sekian lama Kang Adi menuntut ilmu di sini, dia memutuskan untuk pamit boyong dan menikah. Di kampungnya, di Kota S, Kang Adi menjadi kiai besar yang mempunyai pesantren sendiri dengan santri ribuan.
***
Pondok pesantren Roudlotut Thullab memiliki koperasi sendiri. Kebetulan posisi pondok berada di pinggir jalan raya sehingga bisa dibilang strategis untuk membuka usaha. Mungkin karena faktor strategis ini, kebanyakan tanah yang terletak di pinggir jalan memiliki harga yang mahal. Di sini disediakan kitab-kitab yang diajarkan di pondok dan tentu saja barang kebutuhan para santri sehari-hari sehingga mereka lebih mudah untuk membeli sesuatu yang mereka perlukan.
Sejak adanya koperasi ini, Kang Sar yang semula santri tua biasa, sekarang menjadi salah satu santri yang \'dekat\' dengan Mbah Yai. Dialah yang menjaga koperasi dan dipercaya Mbah Yai untuk mengelolanya secara mandiri. Tapi sesekali Mbah Yai tetap menengoknya dan terkadang memberikan masukan.
Pagi ini kebetulan Mbah Yai datang dan beliau melihat ada rokok yang persediaannya masih relatif banyak dan ada rokok yang stoknya sudah habis. Kang Sar pun kena semprot.
"Kalau kulakan barang ya sedikit-sedikit saja, Kang. Sambil dititeni mana barang yang laku dan mana yang kurang diminati. Kalau habis baru nyetok lagi."
"Nggih, Yai," kata Kang Sar dengan senyum agak canggung.
Begitu seterusnya. Jika Mbah Yai berkunjung dan ternyata ada yang kurang pas, beliau segera menegur Kang Sar. Tentu teguran seorang kiai kepada santri adalah teguran sayang yang bersifat mendidik.
Setelah beberapa waktu yang lama, tibalah bagi Kang Sar untuk sowan ke ndalem dan pamit boyong. Di desanya, di kota B, Kang Sar pun menjadi pedagang sukses yang memiliki toko besar dan cabang di mana-mana.
***
Seperti biasa, Mbah Yai dan para santri melaksanakan kajian rutinan tiap bakda salat Isya; tapi kali ini seperti ada yang kurang. Hingga kajian hampir berakhir, tak ada tanda-tanda hadirnya Kang Hamdan.
"Kang Hamdan mana ya, Kang? Dari tadi saya perhatikan kok enggak ada," tanya Mbah Yai sembari memperhatikan satu per satu para santrinya dari kiri ke kanan.
"Di kamar, Yai. Tadi sebelum ngaji dia mengeluh agak kurang enak badan," jawab Kang Budi yang memang teman sekamarnya.
"Oh. Ya sudah," jawab Mbah Yai singkat.
Sesudah kajian selesai, Mbah Yai segera menuju ke kamar Kang Hamdan berniat untuk menjenguk santrinya itu. Tapi tak disangka-sangka, ketika Mbah Yai masuk, terlihat badan Kang Hamdan masih begitu segar; duduk santai di pojok kamar dengan ponsel di tangan kanan dan sebatang rokok yang masih menyala; melekat di mulutnya.
"Kaaang!! Bukannya ngaji malah main HP! Merokok lagi! Maumu apa?!" bentak Mbah Yai dengan menatap tajam santrinya itu.
Kang Hamdan jumpalitan. Dia refleks membuang rokoknya dan melempar ponselnya ke bawah bantal, baru kemudian berdiri dengan tangan sedekap dan kepala tertunduk. Dia benar-benar panik serta bergumam dalam hati, "Waduh! Kena hukuman pasti aku." Benar saja, setelah kemarahan Mbah Yai agak mereda, beliau dawuh.
"Kaaang!! Bukannya ngaji malah main HP! Merokok lagi! Maumu apa?!" bentak Mbah Yai dengan menatap tajam santrinya itu.
"Besok bakda Subuh, kamu langsung ke sawah, Kang! Sirami semua tanaman di sana! Semuanya!"
"Nggih, Yai," jawab Kang Hamdan pasrah.
Esok paginya, Kang Hamdan bertolak ke sawah untuk melaksanakan takzir-an karena ulahnya semalam. Kebetulan Kang Amin dan Kang Ihsan juga berangkat; bukan untuk menyelesaikan hukuman tapi memang tugas mereka untuk merawat sawah. Mereka bertiga pun pergi bersama. Ketika di jalan, Kang Ihsan nyeletuk.
"Makanya, kalau waktu ngaji ya berangkat, Ndan. Malah main HP sambil merokok di kamar," sindir Kang Ihsan.
"Iya, San. Kapok aku dimarahi Mbah Yai. Bukan karena ta\'ziran ini. Kamu kan tahu sendiri kalau Mbah Yai itu jarang marah. Sekalinya marah, mak dhek mak tratap di hati," kata Kang Hamdan menyesal.
Kang Amin hanya mendengarkan percakapan mereka berdua sambil tersenyum.
Sesampainya di sawah, Kang Hamdan langsung menyirami setiap tanaman.
Untuk informasi saja, sawah Mbah Yai luasnya sekitar satu setengah hektar. Bisa dibayangkan betapa capeknya jika harus menyiram semua tanaman di sana. Sementara Kang Hamdan sibuk dengan hukumannya, Kang Amin dan Kang Ihsan sedang matun, semacam mencabuti rumput-rumput liar.
Hari pun makin siang dan sinar matahari makin terik. Kang Amin dan Kang Ihsan sudah selesai dengan pekerjaannya. Di kejauhan, Kang Hamdan masih terlihat belum kelar.
"Hamdan! Bantuin nggak?" teriak Kang Amin memberi tawaran kepada temannya.
"Nggak usah, Min. Yang dihukum aku. Kalian istirahat saja sudah," sahut Kang Hamdan mantap.
"Oke. Kami tunggu di sini. Nanti pulangnya bareng," pungkas Kang Amin.
“Iya,” sahut Kang Hamdan.
Selesai menyirami semuanya, Kang Hamdan istirahat sebentar di dekat Kang Amin dan Kang Ihsan yang sedari tadi menunggunya. Setelah dirasa cukup, mereka bertiga kembali ke pondok.
Tibanya di pondok, Kang Hamdan langsung menuju ndalem untuk laporan kepada Mbah Yai bahwa hukumannya sudah dilaksanakan. Bertepatan dengan itu, ternyata ada tamu, Habib Ali Muhammad. Kang Hamdan pun mendekat ke Mbah Yai dengan langkah malu-malu dan sedikit menundukkan kepala.
"Sudah, Yai," katanya lirih.
"Iya, Kang. Jangan ulangi ya?" jawab Mbah Yai halus.
"Nggih, Yai."
Baca juga : Akhirnya Kita Semua Menjadi Maling
Tiba-tiba Habib Ali menarik tangan Kang Hamdan dan diperhatikannya telapak tangannya pelan-pelan. Kang Hamdan agak kaget dan merasa canggung tapi hanya bisa mengikuti saja.
"Tanganmu adem, Kang," kata Habib Ali tiba-tiba.
Kang Hamdan hanya bisa tersenyum bingung namun tetap merasa senang karena dipuji oleh seorang habib.
"Hehe. Terima kasih, Bib," jawabnya walaupun tidak begitu mengerti apa maksud perkataan Habib Ali. "Kalau begitu saya mau bersih-bersih badan dulu, Bib. Mohon pamit, Yai," tukas Kang Hamdan.
"Iya, Kang," kata Mbah Yai dan Habib Ali hampir bersamaan.
Hari-hari kemudian berlangsung seperti biasa.
Sesudah beberapa tahun belajar di sini dan dirasa cukup, Kang Hamdan pamit pulang; boyong. Di kampungnya, di Kota P, dia menjadi petani berhasil yang memiliki sawah sangat luas dan selalu memanen berbagai komoditi besar tiap tahun.
Rembang, Januari 2021
***
A. Zulfa Muntafa, mahasiswa dan santri asal Kemadu—Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Saat ini, penulis berstatus sebagai mahasiswa semester enam di program jurusan Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.