Terusir
Perempuan muda itu, tidak menyangka akan terusir dari kampungnya.
Kesedihan sepertinya makin akrab dengan perempuan muda beserta bayinya. Sudah berhari-hari derita tak bosan mengepung hidupnya. Baru saja menginjakkan kaki di pekarangan rumah salah seorang warga di desa sebelah ia sudah disembur: "Istri orang kumunis, ya? Merad!” begitulah orang itu mengusirnya.
Perempuan itu pergi membawa air matanya. Kembali ia terlunta-lunta dari satu desa ke desa lainya—dari satu kesedihan ke kesedihan lainnya.
Keputusasaan tergurat di wajahnya yang layu. Setan pun mulai bergelantungan di pikirannya—membisikkan rayuan. Menggoda dirinya bahwa mengakhiri hidup ialah satu-satunya jalan terbaik untuk dirinya saat ini.
Apa lagi jika perempuan muda itu mulai mengingat-ingat perlakuan orang-orang terhadap dirinya. Semakin tenggelam saja ia dalam penderitaan: karam di pusaran duka. Sepertinya sudah tidak ada lagi makhluk bernama manusia yang bisa dimintai pertolongan, meski hanya untuk menumpang berteduh dari terik matahari yang menyengat dan hawa dingin yang menusuk hingga ke putihnya tulang saat malam menjelang. Barangkali itu pertolongan yang kelewat mahal. Nasi basi pun tidak ada orang yang mau memberi. Bagi mereka memberikan makan ayam lebih berguna daripada menolong dirinya.
Terlebih susu di dadanya juga sudah kering. Tak ada lagi sumber penghidupan yang dapat menenangkan perut bayinya.
Setelah berjalan puluhan kilometer meninggalkan sebuah desa yang baru saja menolak kedatangannya, perempuan itu kemudian duduk di tebing sungai untuk melepas lelah sambil mengurut telapak kakinya yang bengkak.
Lagi-lagi rayuan setan yang berbisik di pikirannya mengganggu ketegarannya.
“Sungai yang dangkal, tetapi jika melompat dari atas tebing sanggup meremukkan tulang,” gumamnya dalam hati.
Di pangkuannya tergolek bayinya. Sesekali menguap. "Nak, mari susul Bapakmu ke surga," ujarnya sambil menitikkan air mata. Untuk kesekian kalinya dihantam matanya dengan tangis sepuas-puasnya, “Kata orang-orang Bapakmu tidak akan pulang. Bapakmu sudah dibuang di tengah laut. Betapa kejamnya bangsa ini. Memperlakukan manusia seperti binatang."
Perempuan itu masih berbicara kepada anaknya yang hanya dijawab dengan senyuman. Sambil tangan mungilnya menjahili bibir Ibunya yang basah disiram air matanya sendiri.
Perempuan muda itu, tidak menyangka akan terusir dari kampungnya. Kota T di ujung akhir tahun 1966, sama halnya dengan kota-kota lainnya: Jawa, Sumatera, atau Pulau Dewata sekalipun. Di mana hari-harinya diliputi kengerian. Masyarakat dihantui kecemasan dan ketakutan karena keadaan sedemikian mencekam. Kalau tidak membunuh mereka akan dibunuh, begitulah kira-kira yang terselip di kepala setiap orang yang dipenuhi kecurigaan.
PKI (Partai Komunis Indonesia) telah menjadi momok. Orang-orang yang terlibat dengan partai berlambang palu arit itu akan dikejar-kejar, ditangkap, dibuang, bahkan direnggut nyawanya. Tidak sedikit pula dari mereka yang tidak tahu-menahu menjadi korban. Salah satu dari mereka yang menjadi amuk warga dan terusir lantaran dicap PKI ialah perempuan muda beserta bayinya yang sedang beristirahat di tebing sungai.
Perempuan muda itu kemudian bangkit sambil menggendong bayinya yang mungil. Cukup lama dirinya memandangi sungai. Terlihat bayangan suaminya saat diseret malam hari oleh sejumlah orang lengkap dengan senjata dan dilemparkan ke dalam truk.
Setelah peristiwa mengerikan itu, ia pun meninggalkan kediamannya. Barulah di tengah jalan ia mulai berpikir ke mana harus pergi? Sementara untuk mendapatkan sesuap nasi terpaksa ia mengemis dari satu pintu ke pintu lainnya.
"Kamu PKI?" selalu begitu pertanyaan yang pertama kali keluar tiap kali penghuni rumah mendapati perempuan muda itu berdiri di depan pintunya sambil mengulurkan telapak tangan. Tentu berharap ada sesuatu yang bisa diperoleh meski sering kali menggenggam angin setelah dihardik, “Merad! (pergi).”
Sebagaimana kebiasaan penduduk kampung, satu peristiwa akan cepat tersiarnya, meski puluhan kilometer jauhnya. Disiarkan dari satu mulut ke mulut lainnya—dari satu warung ke warung lainnya. Ringkasnya, dari satu desa ke desa lainya.
Mula-mula perempuan itu menaikkan kaki kanannya sebelum meloncat. Tiba-tiba ia dikejutkan suara lelaki yang menyeru, “Hai, apa yang kamu lakukan di situ? Kamu mau bunuh diri?”
Seorang lelaki tua berdiri tepat di belakang perempuan muda yang hendak menghabisi deritanya. Di sampingnya berdiri mematung seorang perempuan yang juga tak kalah tuanya. Keduanya baru saja pulang dari kebun, tampak sepasang kakinya masih berpupur lumpur.
Sebagaimana kebiasaan penduduk kampung, satu peristiwa akan cepat tersiarnya, meski puluhan kilometer jauhnya. Disiarkan dari satu mulut ke mulut lainnya—dari satu warung ke warung lainnya. Ringkasnya, dari satu desa ke desa lainya.
Perempuan muda itu awalnya diam saja. Kedua orang tua itu pun mendekatinya sambil berujar, "Jangan lakukan itu. Lihat anakmu. Kamu tidak kasihan?”
Setelah mengumpulkan keberaniannya perempuan muda itu menjawab, “Entah, ke mana lagi kami akan pergi. Setiap desa yang kudatangi selalu saja disambut dengan tatapan ganjil. Tidak ada satu orang pun yang bisa dimintai pertolongan.”
"Apa masalahmu. Kamu masih muda, jangan putus asa begitu."
"Apa hanya karena suamiku orang Lekra, mereka semua melihat kami berdua seperti melihat anjing yang najis untuk disentuh."
Sepasang orang tua itu hanya melemparkan pandangan. Kini, keduanya diliputi kebingungan. Setelah berbisik dan bertukar pendapat, akhirnya sang istri membimbing tangan perempuan muda itu, “Ikutlah dengan kami,” ujarnya sambil tersenyum.
***
Hujan turun membasuh malam, hawa dingin mulai menyergap penghuni rumah tua yang terbuat dari bambu dan anyaman. Rumah itu jaraknya cukup jauh dari pemukiman. Di dalam rumah itu, perempuan muda yang diketahui bernama Juminten, beserta bayinya akhirnya dapat berteduh, juga memperoleh makanan untuk menyambung nyawanya yang sudah beberapa hari hanya diisi angin dan air. Dari pengakuan mulutnya, diperolehlah sebuah keterangan mengenai seluk-beluk dirinya, juga kejadian yang menimpa dirinya.
Suaminya, katanya, adalah penyair Lekra. Meski dekat dengan beberapa orang penting di Jakarta, namun suaminya tidak ikut berpolitik. Suaminya hanya merasa tergugah jiwanya melihat penderitaan rakyat hingga ikut bergabung dengan Lekra. Oleh karenanya, suaminya beberapa kali mengunjungi kantor Lekra di Cidurian, Kota Jakarta. Itu sebabnya suaminya jarang pulang, katanya dapat tugas untuk turun ke bawah, supaya dapat melihat langsung penderitaan rakyat jelata.
Namun, takdir berkata lain. Pasca-peristiwa penculikan jenderal di Kota Jakarta, suaminya didatangi beberapa orang yang mengenakan baju loreng. Tanpa basa-basi suaminya diringkus dan dimasukkan ke dalam truk. Setelah kejadian itu, ramai-ramai orang berkumpul di depan rumahnya sambil berteriak: “Ganyang PKI. Usir. Usir.” Juminten pun diusir dari rumahnya, dari tanah tumpah darahnya.
Di bawah kuasa sang malam, ditemani cahaya remang lampu minyak, tiga kepala orang dewasa duduk melingkar. Di pangkuan Juminten bayinya tertidur pulas, barangkali rembulan telah memberikan mimpi indah untuknya.
“Bapak dan Ibu hanya tinggal berdua?" tanya Juminten setelah menceritakan peristiwa yang dialaminya.
“Anak kami sudah mati beberapa bulan yang lalu di Kota Jakarta. Dan kami berdua hidup dalam kecemasan,” jawab perempuan tua itu lirih.
“Tapi, kalau boleh tahu, anak Bapak dan Ibu meninggal karena apa?”
Lelaki paruh baya itu dan istrinya saling memandang. Keduanya tak memberi jawaban.
“Maaf jika pertanyaanku mengusik hati Bapak dan Ibu.”
Setelah diam beberapa saat, perempuan tua akhirnya menjawab, “Anakku mati ditembak. Saat kerusuhan meletus di Jakarta.”
Betapa kaget Juminten mendengarnya. “Kenapa anak Ibu ditembak?” tanya
Juminten, “Apa kesalahan anak Ibu?”
“Kesalahan anak kami sama persis dengan kesalahan suamimu yang sekarang entah di mana, yakni sama-sama anggota Lekra,” sambung lelaki paruh baya itu sambil menenggak air teh dari tekonya.
Tiba-tiba saja Juminten memeluk kedua orang tua itu sambil menangis meraung-raung.
Ketiga orang itu saling berangkulan dan menangis. Ketiganya menangisi nasibnya yang malang. Menangisi sesuatu yang telah dirampas dan selamanya tidak akan dikembalikan. Selamanya pula ketiganya akan menangis. Sungguh pun hingga mereka menangis darah, meminta sesuatu yang telah dirampas dari hidupnya, sekalipun itu hanya kata maaf, mereka tidak akan pernah memperolehnya. Entah sampai kapan.
"Itu sebabnya kami cemas Jumi. Sebab, ada saja yang masih mendatangi kami di sini. Mengacak-acak rumah ini. Dikiranya kami menyembunyikan seseorang. Nok Jumi tidak usah takut. Nanti kalau ada yang datang lagi, katakan saja kamu anak kami berdua," perempuan tua itu menjelaskan keadaannya yang membuat hati Juminten ciut.
***
Malam telah sampai pada puncaknya. Tinggi dan sunyi. Juminten belum bisa memejamkan matanya. Pikirannya berkecamuk. Kini, ia tidak hanya memikirkan dirinya dan anaknya saja, melainkan juga sepasang orang tua yang sudah baik hati menerima dirinya. Akan tetapi, di situ persoalannya. Di luar cuaca masih panas. Orang lebih gemar mengumbar kemarahan daripada mengikuti kejernihan akal pikiran. Jika sudah begitu tidak ada ampun. Tidak ada pilihan: Disingkirkan atau diringkus. Syukur kalau tidak dicincang. Pendeknya, Juminten tidak mau menjadi benalu bagi sepasang orang tua yang belum kering air matanya lantaran menangisi kematian anaknya.
Baca juga : Melankoli Patriot
Sementara ia sendiri bingung kemana lagi harus pergi. Di bolak-balikan badannya kadang ke kiri, kadang kanan, tetapi hatinya bertambah gelisah.
“Tidak ada cara lain. Tekadnya harus ditunaikan dengan cepat,” pikirnya.
Perlahan-lahan Juminten bangkit dari ranjangnya. Ditatap bayinya, sekali-dua kali diciuminya anak semata wayangnya itu. “Kamu baik-baik ya di sini,” bisiknya.
Dengan satu gerakan cepat Juminten sudah berdiri di atas kursi. Tentu sesudah menyiapkan tali yang akan mengalungkan lehernya. Semuanya sudah dipikirkan. Tidak ada jalan keluar. Negara yang seharusnya melindungi justru mensponsori. Dengan satu gerakan yang tenang Juminten memasang kuda-kuda untuk menyingkirkan kursi tempat ia berdiri.
Bruuug.
Kursi pun jatuh dengan sekali sepak.
***
Ade Mulyono. Menulis fiksi dan nonfiksi. Novel perdananya “Lautan Cinta Tak Bertepi”. Sedang menyiapkan novel keduanya “Namaku Bunga”