Cakar Dubuk Tutul
Para penari menelan api, lalu menyemburkan ke arahku. “Moto!**” teriak mereka berulang-ulang. Apakah aku dianggap pencuri dan oleh hukum adat Malawi harus dibakar hidup-hidup?
Di Nsanje, pada musim kemarau awal Juni 2016 aku bertemu Kulunga, perempuan Malawi berusia sekitar 30-an dan berkulit legam. Dengan tatapan mata putus asa ia menceritakan rahasia tentang ritual persetubuhan dengan “Dubuk Tutul”.
”Suami saya baru saja meninggal, Dok. Sesuai adat, saya harus menjalani Kusasa Fumbi. Orangtua saya membayar seorang Dubuk Tutul untuk berhubungan intim dengan saya. Saya sudah pernah menjalani satu kali dan masih trauma. Ini pemerkosaan, Dok. Saya tidak mau lagi,” ucap Kulunga pelan. Mimik wajahnya ketakutan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Sebentar, siapa itu Dubuk Tutul? Kenapa keluarga Anda membayar orang untuk memerkosa Anda?”
Pertanyaanku tak terjawab. Mulut Kulunga segera terkatub saat Azibo, perawat pria Malawi memasuki tenda. Perempuan berambut keriting spiral itu segera pergi. Aku bertambah penasaran. “Apa itu Kusasa Fumbi?” tanyaku kepada Azibo.
Azibo diam. Ia berdiri di sampingku dan pura-pura sibuk melihat tumpukan file kesehatan. Aku tepuk pundaknya. Ia menoleh dan menjawab dengan ketus, “Jangan ikut campur adat Malawi, Dokter Thomas. Anda hanya orang asing. Kusasa Fumbi bukan urusan Anda.”
Azibo benar. Aku meninggalkan Belgia, negara asalku untuk bergabung dengan Medecins Sans Frontières (MSF)*. Misiku di Afrika adalah memberikan vaksinasi kolera di tiga distrik di Nsanje, bukan mengurusi pemerkosaan.
Malam itu aku tidak kembali ke kantor MSF di Blantyre, aku memilih tidur di tenda. Senja begitu damai. Sunyi. Dari balik jendela plastik, bulan sabit pucat bersinar seperti cakar keperakan di langit gelap. Namun pengakuan Kulunga membuat aku tidak bisa tidur. Kuputuskan berjalan-jalan menyusuri pasir kecoklatan di sepanjang Sungai Shire. Demi keamanan, kubawa ranting kayu kokoh untuk menghalau buaya yang kadang muncul di sekitar sungai.
Beberapa nelayan menyapaku. Kugunakan kesempatan ini untuk bertanya tentang ritual di Nsanje. Mereka saling memandang satu sama lain tapi bungkam. Aku berikan beberapa kwachas, “Untuk ngopi,” kataku.
Setelah menerima uang, mereka menceritakan tradisi “pembersihan kotoran” di daerah selatan Malawi. Adat lokal ketika seorang gadis yang baru saja mendapatkan haid diharuskan bersenggama dengan pria yang ditunjuk para Tetua untuk menjadi Dubuk Tutul. Fisi sebutan Dubuk Tutul dalam bahasa Chicewa. Hal ini berlaku juga untuk perempuan yang baru saja menjanda.
Aku puas mendengar penjelasan mereka. Aku kembali ke tenda dan tidur nyenyak.
Keesokan harinya, saat aku bekerja, tiga pria jangkung mengawasiku dari jauh. Ketiganya berkulit sehitam arang tanpa alas kaki. Bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian kemaluan dengan jerami. Mereka menghilang, lalu muncul lagi ketika matahari tenggelam. Aku tahu mereka mengintaiku dari balik tenda, bisa kulihat sekelebat bayangan mereka.
Aku bukan pria berotot besar yang mahir berkelahi, tapi bukan juga seorang pengecut. Aku tidak takut ancaman fisik. Kugenggam erat ranting yang kugunakan untuk mengusir buaya, berjaga-jaga dari serangan.
Aku tertidur dalam keadaan tangan masih memegang ranting. Azibo membangunkanku, menggoyang-goyang badanku. “Pasien sudah menunggu, Dokter Thomas,” katanya. Segera kukenakan rompi putih seragam MSF, berkumur dengan cairan penyegar mulut dan menemui pasien. Azibo terlihat sibuk dan menghindari percakapan denganku. Saat pasien terakhir pergi, dengan jemawa aku bilang, “Aku tahu apa itu Kusasa Fumbi.”
Pria berkepala plontos itu mengapitkan jempol dan jari telunjuk, memberi tanda agar aku tutup mulut. Aku membalas isyaratnya dengan tatapan menantang. “Akan kulaporkan ke polisi.” Perawat sialan itu malah tertawa sambil menepuk-nepukkan tangannya di atas meja kerjaku.
“Anda pikir polisi Malawi tidak tahu? Ritual itu sudah dilarang sejak 2013. Mereka tidak bisa menangkap Dubuk Tutul. Para Tetua melindungi identitasnya.”
“Kalau begitu, akan kuungkap siapa Si Dubuk Tutul,” ucapku tegas.
Tawa Azibo semakin keras. “Anda ini masih muda, Dokter Thomas. Masih 35 tahun. Bersenang-senanglah. Kalau Tetua tahu, kematian Anda akan mengerikan.”
Aku menelan ludah. Meskipun aku masih duduk tegak dengan kepala terangkat, tapi terus terang nyaliku sempat menciut. Azibo keluar tenda meninggalkan aku sendiri. Aku menghela napas, kuputuskan mencari tahu identitas Dubuk Tutul.
Di budaya barat, dubuk tutul adalah hewan yang dikaitkan dengan simbol negatif: lusuh seperti pemulung, pecundang, dan oportunis. Namun tampaknya di budaya Afrika, dubuk tutul merupakan simbol kejantanan. Benar, hewan ini bisa memakan mangsanya tanpa sisa, termasuk menghabiskan tulang belulang. Kekuatan gigitannya melebihi singa dan harimau.
Bulu kudukku berdiri, aku ngeri. Namun aku bersikukuh melanjutkan rencanaku.
Ternyata tidak sulit mendapatkan informasi tentang siapa Dubuk Tutul. Dengan iming-iming kwachas, warga membisikkan beberapa nama. Tiap distrik punya setidaknya satu orang. Cireavna adalah Dubuk Tutul di distrik Kulunga.
Aku kembali ke tenda ketika matahari tenggelam. Kuseduh kopi sambil mencari tahu siapa Cieravna. Beberapa menit kemudian kutemukan berkas kesehatan atas namanya. Kuperhatikan fotonya: pria dengan rahang tegas, berhidung mekar, bibirnya menyungging senyum menawan. Kubuka lembar demi lembar. Aku tersentak. Cireavna adalah pasien HIV positif.
Tanganku gemetar. Aku berdiri mondar-mandir. Mengatupkan ujung-ujung jari kedua tangan sambil berpikir. Tak ingin membuang waktu, aku menyambar kunci mobil menuju kantor MSF di Blantyre.
Butuh waktu tiga jam dari Nsanje menuju Blantyre. Setiba di kantor, kuceritakan ritual Kusasa Fumbi serta peran Dubuk Tutul dalam penyebaran virus HIV.
Hening sesaat di antara kami. Kami tahu Malawi adalah salah satu negara dengan tingkat HIV tertinggi di dunia. Setelah berdiskusi, mereka menyarankanku untuk tidak bertindak gegabah dan menyerahkan kasus ini ke MSF pusat. Mana mungkin? Aku tidak punya waktu lama karena aku harus segera menyelamatkan Kulunga.
Aku meminta Jumbe, pria Blantyre untuk menemaniku kembali ke Nsanje. Jarak 183 kilometer kami tempuh berdua tanpa bercakap. Aku kesal. Kupacu mobilku sekencang mungkin.
Sesampainya di rumah Kulunga, kuberikan uang kepadanya dan memintanya pergi meninggalkan Nsanje malam itu juga. “Selamatkan dirimu,” kataku. Perempuan berbibir delima itu menurutiku dan bergegas mengemasi pakaian, lalu pergi dengan Jumbe.
Aku pulang berjalan kaki dari rumah Kulunga menuju tendaku. Hanya beberapa langkah berlalu, aku dikejutkan oleh kehadiran beberapa laki-laki bertopeng kayu. Mereka terang-terangan mengepungku dan membentuk formasi setengah lingkaran. Angin malam melingkar-lingkar di dada telanjang para lelaki berkulit hitam. Beberapa menabuh genderang, sedang yang lainnya menari-nari kesetanan.
Dua lelaki bertopeng kayu menyerupai dubuk tutul berlari ke arahku. Sontak aku menjauh, berlari secepat yang kubisa. Namun keduanya menangkapku. Mencakar bahuku, mencabik punggungku hingga tergores. Kemudian, tubuhku diikat dengan tali tambang dan dilempar di antara semak-semak akasia, di bawah pohon baobab. Teriakanku tak mampu melampaui bising mantra-mantra gaib mereka.
Para penari menelan api, lalu menyemburkan ke arahku. “Moto!**” teriak mereka berulang-ulang. Apakah aku dianggap pencuri dan oleh hukum adat Malawi harus dibakar hidup-hidup? Bulan separuh menyaksikan ketika mereka melempari tubuhku dengan api. Aku mengerang kesakitan. Tercium asap daging bakar.
Aku masih melolong seperti anjing liar ketika kudengar suara sirene polisi. Mereka bubar, kalang kabut. Azibo melemparkan selimut tebal untuk memadamkan api. Seluruh tubuhku dibungkus. Kemudian, aku tak sadarkan diri.
Ketika kubuka mata, kudapati tubuhku seperti mumi. Hanya ke sepuluh jemariku dibebaskan demi dapat memegang benda-benda yang kuperlukan. Aku menangis, menyesal kenapa aku tidak mati saja.
Dua hari aku dirawat di Nsanje, lalu aku dipindahkan ke rumah sakit Blantyre.
Dengan bantuan seorang perawat, aku manfaatkan jaringan internet di Blantyre untuk menghubungi kawan di BBC News London. Ia berjanji akan menginvestigasi ritual Kusasa Fumbi. Aku tersenyum dari balik perban.
Hanya berjarak dua minggu, kawan wartawan BBC mengirimkan video interviewnya dengan Cireavna. Si Dubuk Tutul itu tampak percaya diri di depan kamera.
“Wajar ya bila keluarga membayarkanku 10.000 kwachas. Aku membantu anak gadis dan janda untuk membersihkan debu kotoran yang melekat di tubuh mereka. Melindungi dari kemarahan roh jahat. Kalau tidak ada aku, semua akan penyakitan dan dikutuk. Sudah 104 wanita kuselamatkan,” Cireavna membusungkan dadanya.
“Mahal sekali. Uang sebesar itu setara dengan separuh gaji minimum Malawi. Apakah mereka tahu Anda HIV positif?” tanya jurnalis.
“Mereka tidak perlu tahu ya. Saya juga tidak pernah menggunakan pengaman. Leluhur kami mengajarkan seperti itu. Ya saya kerjakan seperti itu,” jawab Cireavna ringan.
Tanggal 25 Juli 2016, beberapa hari setelah tayangan BBC, polisi Malawi menangkap Cireavna. Identitasnya terbuka. Meskipun terjadi penolakan dari para Tetua, tapi pemerintah tetap menjatuhkan hukuman dua tahun kepada Dubuk Tutul tersebut.
Aku masih terbaring di rumah sakit ketika kabar tersebut disiarkan di televisi. Kulunga datang tiap hari. Ia selalu mengenakan chitenjes, kain tradisional warna-warni khas Malawi dan dengan sabar menyuapiku dengan nsima, bubur jagung. Tak ada lagi tatapan mata putus asa yang terpancar dari kedua bola matanya. Mata Kulunga selalu berbinar memandangku tanpa rasa takut. Padahal, wajahku sekarang mirip Frankenstein.
*Medecins Sans Frontières (bahasa Prancis) berarti Dokter Lintas Batas.
**Moto! (bahasa Chichewa) berarti api.
Naning Scheid, lahir di Semarang, 5 Juni 1980. Penulis dan Pemain Teater. Pengajar di Fakultas Bahasa Inggris UPGRIS sebelum meninggalkan Indonesia. Aktif dalam organisasi sosial kemanusiaan di Belgia. Tinggal di Brussel sejak 2006. Bukunya: Melankolia – Puisi dalam Lima Bahasa (Pustaka Jaya, 2020), Novela Miss Gawky – Cinta Pertama Kirana (Pustaka Jaya, 2020). Cerpennya “Bulan Biru di Laut Flores” menjadi juara favorit Lomba Cerpen Sastra Pariwisata 2020 yang diselenggarakan oleh Yayasan Pustaka Obor dan Rayakultura.
Ugo Untoro, lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 28 Juni 1970, menamatkan pendidikan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pameran tunggal karya lukisannya antara lain "Homagae to Black Board" yang diselenggarakan secara virtual dengan live zoom pada 2020, "Rindu Lukisan Merasuk di Badan"di Galeri Nasional Jakarta pada 2019. Aktif pula dalam beragam pameran karya bersama.