Melankoli Patriot
Perasaanku sakit. Mereka menganggapku orang yang tak waras.
Sepasang anak muda itu berjalan menuju bangku melewatiku sembari bercakap. Mereka seperti dua orang yang paling bahagia di dunia ini. Tersenyum dan saling berbagi harapan. Di antara rumput hijau dan pohon ringin tua di mana aku tinggal, di belakang mereka duduk –bertahun-tahun silam, sebuah peristiwa tertanam dalam ingatanku. Aku menunggunya dan mengingatnya setiap pagi dan petang, bergilir seperti angin membawa aroma kehidupan dan kematian, seperti seorang bayi lahir, dan yang lain meninggalkan dunianya yang fana.
Saat itu Juli 1947, usiaku sudah menginjak 30 tahun, berdarah panas dan belum menikah. Ketika pertama kali melihat gadis itu, Rukmini, bangsaku tengah terancam oleh orang-orang asing yang membawa senjata untuk merebut mata air kehidupanku dan orang-orang di sekitarku. Mereka keluargaku, bangsaku.
Kewajibanku sebagai pria terhormat adalah melawan dan melidungi kepentingan bangsa. Aku melihatnya tengah mengaduk sebuah wajan besar di atas tungku yang menyala. Kulit tangan langsatnya berkeringat, menyala keemasan di bawah cahaya matahari di antara keteduhan pohon ringin tua. Dahi dan pipi halusnya dipenuhi rambut yang melengket oleh keringat. Ia dengan terampil mengaduk isi dalam wajan besar yang berisi sayur mayur yang dimasak dengan bumbu tumis. Aroma wangi bumbu menyengat di hidung dan membangkitkan rasa lapar. Saat itu, ia melihat dan tersenyum padaku, sembari lengannya mengusap keringat di dahinya. Anehnya, senyum itu membuat bibirku beku, hingga otot bibirku tak mampu mengangkat garis bibirku untuk membalas senyuman.
Dalam waktu yang cepat, aku mulai sadar, bahwa aku menginginkannya. Tapi aku tak mampu mengungkapkannya. Selain situasi yang tengah genting di masa itu, aku juga belum begitu mengenalnya. Setelah keadaan menjadi lebih baik, aku mencoba mencarinya. Dari seorang teman yang membantu di dapur umum, akhirnya aku menemukan tempatnya berada. Gadis itu tinggal di pinggir kota tak terlalu jauh dari desaku. Hanya butuh sekitar satu jam dengan perjalanan sepeda. Suatu siang, aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Dengan semangat kukayuh sepedaku kencang-kencang. Setelah bertanya pada orang sekitar, aku mendapatkan alamat rumahnya yang besar dan terasa mewah bagiku. Tentu saja, kenyataan itu membuaku bimbang. Mengingat keadaanku setelah perang adalah pengangguran dan terperosok dalam kesulitan seperti kebanyakan orang di masa itu. Orang bisa saja menjadi bajingan, kecu, begal atau bahkan pemberontak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi aku adalah orang baik. Seorang patriot. Tak bisa menjadi bajingan hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Kehilangan keberanian, aku pun hanya mampu menyandarkan sepedaku pada sebatang pohon talok di seberang jalan. Menatap nanar pintu rumah yang tertutup rapat –dan hanya berharap gadis itu keluar untuk membangkitkan semangatku yang tiba-tiba runtuh. Di antara gelombang pikiranku yang tak tentu, dan panasnya cuaca siang yang membuat dahiku berkeringat, tiba-tiba kulihat sebuah mobil Morris Minor datang dan memasuki halaman. Dari dalam mobil itu keluar seorang pria bertampang Eropa. Ia diikuti seorang gadis yang kucari. Penglihatan itu membuatku terkejut dan nyaris melumpuhkan lututku. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, selain berdiri kaku di depan pohon talok.
Aku hanya berdiri dan menyaksikan mereka disambut seorang wanita tua cantik yang tampaknya ibu gadis itu. Gelap oleh rasa marah dan cemburu yang pekat, aku hanya mampu mengeluarkan suara geram yang menggema dalam diriku sendiri. Aku tak mampu melakukan hal lain, selain berdiri dalam balutan pilu yang nestapa. Didera gelombang cemburu, tubuhku tiba-tiba terserang demam yang membuatku lemas. Aku mencoba bertahan dalam gempuran rasa sakit dan marah, hingga merasa tak mampu lagi bertahan –dan memutuskan pulang dengan diiringi badai cemburu dalam dadaku.
Pada saat itu, aku berpikir bahwa gadis itu pasti dalam bahaya. Semua orang asing di sini selalu menjadi ancaman. Mereka terus berupaya menguasai sumber daya alam dan manusianya. Komandanku pernah mengatakan padaku saat usai penyerangan yang gagal di sebuah gudang senjata. Ia katakan semua kegagalan itu akibat orang pribumi yang rela menjual dirinya untuk kepentingan asing . Mereka menguasai apa saja termasuk anak-anak dan wanita. Mengingat itu, aku menjadi semakin curiga bahwa pemuda itu tengah bermaksud melemahkan bangsaku. Menyadari itu, sebagai seorang patriot aku mulai memikirkan bagaimana menyelamatkan pujaan hatiku dan bangsaku.
Semakin gelisah oleh keadaan yang membuatku menguatirkan keadaan gadis itu, aku memutuskan untuk setiap hari berada di depan rumahnya. Berdiri persis di depan batang pohon talok dari pagi hingga malam. Aku sering melihat wanita membuka pintu rumah, tapi bukan Rukmini. Mungkin ibunya, atau siapa saja. Tapi bukan dia. Aku juga melihat pria menyapu halaman, tapi bukan pemuda asing itu. Aku semakin bersedih dan kebingungan. Otakku terasa mendidih memikirkannya hingga membakar isi dadaku. Setiap detik jantungku berdetak tak beraturan. Suaranya seperti dentuman meriam.
Orang-orang, setiap waktu, kulihat juga semakin aneh menatapku. Mereka bahkan seperti kehilangan kewarasannya dengan mencurigaiku. Mereka tidak sadar bahwa sikap mereka tak menunjukkan jiwa seorang patriot. Mereka dengan tololnya selalu memintaku pergi dari tempatku mengintai. Tapi, demi membuat mereka tenang dan tak mengusik tujuanku, aku memang menuruti kemauan gila mereka. Namun, aku selalu kembali lagi saat mereka sudah pulas tidur menjelang subuh.
Semakin gelisah oleh keadaan yang membuatku menguatirkan keadaan gadis itu, aku memutuskan untuk setiap hari berada di depan rumahnya. Berdiri persis di depan batang pohon talok dari pagi hingga malam. Aku sering melihat wanita membuka pintu rumah, tapi bukan Rukmini.
Hari itu, ketika mendung menggelapkan langit –saat hari menjelang senja, tiba-tiba orang-orang datang dengan suara yang tak menyenangkan. Beberapa, aku mengenalnya sebagai opsir polisi. Mereka kasar dan langsung menyeretku seolah aku seorang penghianat. Aku berteriak lantang mengingatkan bahwa aku adalah seorang patriot bangsa yang sedang menjalankan misi mengusir orang asing. Ketika itu aku melihat Rukmini bersama pemuda asing itu, dan ibunya mengawasiku dari gerbang rumahnya. Melihat itu, ku berteriak memanggilnya. Namun, salah satu polisi itu membentakku.
“Dasar gila!” Teriaknya.
Perasaanku sakit. Mereka menganggapku orang yang tak waras. Mereka bahkan menolak bahwa aku seorang patriot untuk bangsa ini. Aku sampaikan pada mereka bahwa ada gadis yang kelak akan menjadi istriku dalam keadaan bahaya. Ia disihir oleh orang asing yang selalu mengincar bangsa ini. Aku berteriak mengingatkan.
Baca juga : Warung Sebelah
“Perang belum usai, “ jeritku mencoba memperingatkan berkali-kali. Tapi mereka hanya tertawa dan mengejekku. Mengabaikan semua yang kutahu dari misi orang asing itu. Aku terpuruk dalam kegelapan kamar sel, dan kegelapan jiwa orang sebangsaku sendiri. Mereka bukan saja tidak memercayaiku, tapi juga menyiksaku tanpa ampun –seolah aku bukan manusia yang pantas dihargai. Ketika akhirnya aku terbunuh akibat perlakuan mereka, aku merasa bahwa seluruh jiwaku bebas dari kurungan kebodohan dan kepicikan mereka.
Aku memutuskan selalu duduk di depan beringin tua di taman kota. Dari tempat ini aku selalu bisa melihat kehidupan yang terus berjalan, meskipun aku tak pernah melihat Rukmini. Tetapi, aku selalu berharap suatu saat aku pasti akan menjumpainya.
Sepasang anak muda yang bahagia itu kulihat beranjak dari bangku. Sepertinya mereka telah usai melukisi masa depannya di cakrawala senja. Mereka sekali lagi melewatiku. Berjalan bergandeng tangan. Betapa bahagianya mereka bisa bersama, berbagi masa depan. Hidup merdeka di tanah merdeka. Baiklah, aku harus berhenti bercerita kepadamu. Sebentar lagi, cahaya senja akan padam. Burung-burung juga akan segera bersarang.
***
Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris dan naskahnya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pacamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud.