Warung Sebelah
Mak Isah tergesa mengemasi barang dagangan yang bergelantungan di warung sayur yang memanfaatkan beranda rumahnya.
”Kalau jualan sayuran, jualan sayuran saja, jangan jualan yang lain. Itu namanya serakah, matiin rezeki tetangga.”
Bentakan Bu Darmi membuat jantung Mak Isah terasa mau copot. Tubuh Mak Isah gemetar melihat Bu Darmi berdiri dengan tangan kanan memegang kapak kecil. Mak Isah mengenali kapak kecil itu biasa digunakan Bu Darmi untuk mengupas batok kelapa. Mak Isah tak bisa membayangkan kalau Bu Darmi kalap dan menggunakan kapak itu untuk melukai dirinya.
”Maafkan saya Bu Darmi. Saya janji enggak akan jualan barang-barang lain,” kata Mak Isah dengan bibir bergetar.
Mak Isah tergesa mengemasi barang dagangan yang bergelantungan di warung sayur yang memanfaatkan beranda rumahnya. Beberapa renteng produk kemasan sachet, seperti kopi, makanan ringan, deterjen, lotion antinyamuk, dan lain-lain masuk ke dalam kardus. Begitu juga dengan bungkus-bungkus mi instan aneka rasa, gula pasir, biskuit, dan produk lainnya.
”Nah gitu dong! Awas kalau besok jualan itu lagi,” kata Bu Darmi sambil mengacungkan kapak kecil.
Perempuan berumur 50-an tahun itu bergegas kembali ke rumahnya yang berjarak sekitar tiga puluh meter dari rumah Mak Isah. Di rumah itu, Bu Darmi sudah puluhan tahun membuka warung kelontong yang menjual barang-barang kebutuhan rumah bagi warga RT 04 RW 05 Kampung Telaga.
Mak Isah menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menatap sisa-sisa sayuran dan bermacam bumbu dapur di atas meja. Mak Isah sama sekali tak menduga kalau Bu Darmi akan melabraknya. Akar masalahnya, Mak Isah mulai berjualan barang-barang selain sayuran dan bumbu dapur. Bu Darmi menganggap Mak Isah mau menyaingi usahanya.
Mak Isah sudah lima tahun berjualan sayuran dan bumbu dapur untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, sejak suaminya meninggal dua tahun lalu karena sakit keras, Mak Isah harus lebih gigih berjuang menghidupi keluarganya. Beban keluarga semakin berat saat Kirana sudah lulus sekolah menengah kejuruan dan harus masuk perguruan tinggi, sementara Raihan naik kelas 3 sekolah menengah pertama.
Sebenarnya Kirana ingin langsung mencari kerja selepas lulus sekolah menengah kejuruan. Tapi Mak Isah ingin membekali Kirana dengan pendidikan yang lebih tinggi agar lebih mudah menata masa depan. Mak Isah tak mau anak-anaknya senasib dengan dirinya yang hanya lulusan sekolah menengah pertama.
Tiap jam tiga pagi, Mak Isah naik angkot ke Pasar Kemiri belanja sayuran dan bumbu dapur. Pulangnya, ada tukang ojek langganan yang siap membawa belanjaan Mak Isah. Sewaktu masih hidup, suaminya setia mengantar Mak Isah belanja ke Pasar Kemiri. Setelah itu, jam tujuh pagi, suaminya akan berangkat kerja sebagai petugas kebersihan di pusat perbelanjaan di Ibu Kota.
”Coba Mak Isah jualan kebutuhan lain kayak mi instan, kopi, gula, dan barang lain, bisa buat nambah-nambah penghasilan. Saya kasihan sama Mak Isah, harus kerja sendirian. Kita juga enak, selain beli sayuran bisa beli yang lain, sekalian gitu enggak perlu ke mana-mana,” kata Bu Tejo dua minggu lalu sembari memilih sayuran.
Sebenarnya Kirana ingin langsung mencari kerja selepas lulus sekolah menengah kejuruan. Tapi Mak Isah ingin membekali Kirana dengan pendidikan yang lebih tinggi agar lebih mudah menata masa depan. Mak Isah tak mau anak-anaknya senasib dengan dirinya yang hanya lulusan sekolah menengah pertama.
”Tapi saya enggak enak sama warung sebelah, nanti dikira mau nyaingin usaha Bu Darmi,” jawab Mak Isah.
”Ya enggak apa-apa Bu. Itu di pasar orang jualan sama, dempet-dempetan tapi enggak pernah berantem,” kata Bu Tejo.
”Tapi kan beda Bu. Kalau di pasar yang beli datang dari berbagai tempat. Saya kan cuma usaha di pinggir Gang Nangka yang sempit ini, yang beli cuma tetangga lingkungan RT.”
”Rezeki kan sudah ada yang ngatur. Mak Isah enggak perlu merasa bersalah sama warung sebelah.”
Ide dari Bu Tejo mengusik pikiran Mak Isah. Ia berpikir, sedikit barang dagangan tak akan menyaingi warung Bu Darmi yang sangat lengkap. Tiga hari lalu, selain kulakan sayur di Pasar Kemiri, Mak Isah juga belanja barang kebutuhan yang lain. Namun baru dua hari barang dagangan itu dipajang, Bu Darmi melabraknya.
”Kenapa Ibu enggak cerita kalau Bu Darmi datang ke sini sambil marah-marah,” kata Raihan pada malam harinya. Entah dari mana Raihan mendapat informasi itu. Namun, Mak Isah sadar kalau di Kampung Telaga yang padat penduduknya, tembok-tembok punya telinga.
”Enak saja marahin Ibu pakai bawa kapak segala. Raihan enggak terima. Raihan akan balas melabrak Bu Darmi,” kata Raihan dengan kedua tangan mengepal.
”Jangan Nak. Memang Ibu yang salah.”
”Raihan tetap enggak terima. Ibu tahu kan, di dekat pertigaan ada dua minimarket bersebelahan, tapi enggak ada yang saling labrak. Baru punya warung kelontong saja sudah belagu, beraninya sama Ibu. Coba kalau tadi ada Raihan.”
Dengan susah payah Mak Isah berhasil menenangkan Raihan. ”Sudah Nak, kamu jangan menambah masalah baru. Nanti Ibu yang repot. Kamu enggak mau kan ibu dapat masalah?”
Raihan tetap enggak terima. Ibu tahu kan, di dekat pertigaan ada dua minimarket bersebelahan, tapi enggak ada yang saling labrak. Baru punya warung kelontong saja sudah belagu, beraninya sama Ibu. Coba kalau tadi ada Raihan.
Akhirnya, Mak Isah memilih mencari tambahan penghasilan dengan menjual gorengan tempe, pisang, dan tahu isi. Kadang Mak Isah juga menerima pesanan kue atau nasi kotak. Roda kehidupan harus berputar, Mak Isah tidak mau berlarut-larut memikirkan peristiwa itu.
--- oOo ---
Mak Isah menatap daun-daun kangkung, bayam, kacang panjang, dan sawi yang mulai layu. Sudah lima hari warung sayurannya sepi pembeli sejak ada warung sayuran baru di dekat mulut Gang Nangka. Warung sayuran itu lebih luas dan lengkap. Pemiliknya seorang laki-laki pedatang yang baru tinggal dua bulan di Kampung Telaga. Namanya Sujarwo. Warung sayuran itu pun mulai dikenal dengan nama Warung Bang Jarwo.
Sebenarnya, Mak Isah tak mempermasalahkan Bang Jarwo yang membuka warung sayuran. Namun, Mak Isah merasa kecewa karena Bang Jarwo adalah keponakan Bu Darmi. Bahkan, sebelum membuka usaha, Bang Jarwo tinggal sementara di rumah Bu Darmi. Dari obrolan tetangga, Mak Isah mendapat informasi kalau Bang Jarwo mendapat suntikan modal dari Bu Darmi. Harusnya, Bu Darmi mengarahkan keponakannya untuk jualan selain sayuran.
Mak Isah pun mendatangi warung Bu Darmi untuk meminta penjelasan. Mak Isah bertanya secara baik-baik tanpa membawa pisau dapur atau kapak kecil.
”Maaf Bu Darmi, mengapa Bang Jarwo jualan sayuran juga, kan Bu Darmi tahu saya sudah lebih dulu jualan sayuran di kampung ini.”
”Memang Jarwo itu keponakan saya. Tapi keputusan buka warung sayuran itu bukan urusan saya, kalau mau komplain ke Jarwo saja,” kata Bu Darmi dengan ketus. Bu Darmi mengambil kapak kecil dan memukulkannya dengan keras ke batok kelapa, seperti memberi isyarat agar Mak Isah tidak memperpanjang urusan.
Mak Isah kembali menatap sayuran di atas meja. Pikirannya sibuk mencari jalan keluar agar roda ekonomi keluarganya terus berputar.
”Jualan sayur matang saja Bu. Nanti Kirana bantu masak,” kata Kirana yang seakan bisa membaca jalan pikiran ibunya. Mak Isah tersenyum sembari menatap anak perempuannya yang telah tumbuh dewasa.
--- oOo ---
Ibu-ibu yang mau pesan, pagi ini saya masak: sambel kentang hati, jengkol balado, acar, sayur bayam, orek tempe, tahu isi, bakwan jagung. Ayo daripada repot masak.
Semenjak pandemi Covid-19, setiap jam tujuh pagi, Mak Isah selalu mengirimkan pesan instan di grup Whatapps (WA) ibu-ibu RT 04 RW 05 Kampung Telaga. Jika berminat, mereka bisa datang langsung ke rumah Mak Isah atau diantar ke rumah masing-masing tanpa dikenakan ongkos kirim.
Masa pandemi membuat Mak Isah harus menjalani kebiasaan baru dengan menawarkan sayur matang lewat media sosial meskipun masih tingkat RT. Ibu-ibu yang lain tak mau ketinggalan menawarkan bermacam produk di grup WA mulai dari masker, pakaian, bakso, kerudung, telur, tisu, dan lain-lain.
Pandemi Covid-19 memang mencemaskan masyarakat. Sudah hampir setahun, tapi belum ada kejelasan kapan pandemi akan berakhir. Setiap hari, layar televisi tak bosan menyiarkan ribuan orang yang positif, meninggal ataupun sembuh dari Covid-19. Di sisi lain, pandemi membuat banyak orang lebih disiplin dan kreatif untuk bertahan hidup. Ibu-ibu menjadi akrab dengan media sosial dan jual beli online.
Semasa pandemi, beberapa warga juga memanfaatkan halaman rumahnya untuk berjualan. Warung-warung sebelah bermunculan, mulai dari jualan makanan dan minuman untuk anak-anak, warung cilok, warung sayuran, hingga warung kelontong. Mak Isah berharap tetangga yang membuka warung kelontong tidak dilabrak Bu Darmi.
Malam hari sebelum tidur, sambil menonton sinetron di televisi, Mak Isah dibantu Kirana meracik sayuran dan bumbu-bumbu. Jam empat pagi, Mak Isah sudah bangun untuk memasak. Kirana akan membantunya sambil berbenah rumah. Jam tujuh pagi biasanya semua masakan sudah matang dan siap diumumkan lewat grup WA.
”Ibu sudah nulis pesan di grup RT ya,” tanya Kirana saat hendak mengirimkan pesan instan di grup WA.
”Belum. Makanya tadi suruh Kirana yang kirim,” kata Mak Isah sambil menggoreng tahu isi.
”Lha ini siapa yang jualan sayur matang juga. Oalah, Bu Tejo. Bukannya Pak Tejo itu kerja di perusahaan besar di Jakarta Bu,” kata Kirana.
”Emang enggak boleh orang kaya jualan sayur matang?” kata Mak Isah sambil membaca pesan dari Bu Tejo di grup WA. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahan di wajahnya agar tak terbaca oleh Kirana.
Rumah keluarga Bu Tejo berjarak tiga rumah ke arah belakang dari rumah Mak Isah. Setiap pergi kerja, Pak Tejo lewat di gang depan rumah Mak Isah, jalan terdekat menuju lahan kosong tak jauh dari pintu masuk Gang Nangka. Pemiliknya memanfaatkan lahan kosong itu untuk disewakan sebagai tempat parkir mobil pribadi milik warga RT 04 dan sekitarnya.
”Bu Tejo kan sudah akrab banget sama Ibu, harusnya ia jualan yang lain. Bu Tejo juga sering beli sayur ke Ibu. Kok tega sih jualan sayur matang juga,” kata Kirana sewot.
Baca juga: Akhirnya Kita Semua Menjadi Maling
”Jangan begitu, Nak. Ini musim yang sulit, semua orang berjuang untuk mempertahankan hidup. Kita juga tidak tahu, mungkin Bu Tejo juga sedang kesulitan ekonomi. Ingat Nak, rezeki sudah ada yang mengatur,” kata Mak Isah.
”Terus gimana sayur dagangan ibu?” kata Kirana.
”Sabar Nak, kita tunggu saja, nanti juga ada yang beli. Jualan bukan pekerjaan gampang Nak, perlu stamina dan ekstra kesabaran untuk bisa bertahan.”
”Kalau sayurnya enggak habis gimana, Bu?”
”Nanti ibu bawa ngider, jualan dari rumah ke rumah.”
--- oOo ---
Depok 2021
Setiyo Bardono kelahiran Purworejo dan bermukim di Depok ini telah menerbitkan tiga buku antologi puisi tunggal, yaitu Mengering Basah (2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (2012). Novel karyanya Koin Cinta (Diva Press, 2013), Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014), dan Bukan Celana Kolor Biasa (Kwikku, 2020).