Soto Kerbau
Sejak dulu, kata banyak orang, soto kerbau yang disajikan di warung Pak Di paling lezat di dunia.
Setiap mudik ke rumah orangtua di Kudus dalam rangka liburan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh, aku selalu suka makan siang di warung soto kerbau Pak Di yang dibuka di dalam Pasar Kliwon.
Sejak dulu, kata banyak orang, soto kerbau yang disajikan di warung Pak Di paling lezat di dunia. Aku setuju karena bagiku soto kerbau di warung Pak Di memang sangat lezat dan karena itu aku selalu menyantapnya dua mangkuk sekaligus. Sehabis menyantap dua mangkuk soto kerbau, biasanya aku langsung kenyang dan mandi keringat segar, lantas mengantuk dan kemudian tidur sampai sore.
Soto kerbau di warung Pak Di diwadahi mangkuk China, bukan mangkuk bakso. Mangkuk China lebih kecil dibanding mangkuk bakso. Dinamakan mangkuk China karena konon bangsa China yang pertama kali memproduksinya.
Menurut Papa dan Mama, warung soto kerbau Pak Di sudah dibuka sebelum Indonesia merdeka, dan kini yang mengelolanya adalah generasi ketiga, atau cucu Pak Di.
Menurut sejarahnya, sebelum membuka warung sotonya di dalam Pasar Kliwon Kudus, Pak Di berjualan soto kerbau dengan cara dipikul atau angkringan yang setiap hari mangkal di sudut-sudut kota Kudus. Pelanggannya banyak, di antaranya adalah warga keturunan China.
Ketika masih kecil, menjelang tidur siang, aku sering diajak Papa makan soto kerbau di pojok perempatan dekat rumah sambil jongkok. Setelah perut kenyang, Papa dan aku langsung pulang dan kemudian tidur pulas sampai sore.
Mama sering ngomel jika Papa dan aku baru bangun tidur menjelang senja. ”Kalian jadi malas seperti kerbau karena suka makan soto kerbau.”
Omelan Mama selalu ditanggapi Papa dengan tertawa dan bersuara seperti kerbau. Lalu Mama ikut-ikutan tertawa.
***
Pada liburan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh kali ini aku kembali mudik ke Kudus. Sejak lulus kuliah aku bekerja di sebuah kantor bank swasta di dekat Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Aku sangat senang karena banyak rekanku yang ingin ikut liburan di Kudus. Mereka ingin mencoba ikut menikmati soto kerbau di warung Pak Di yang sering kuceritakan.
Mereka mengaku tiba-tiba sangat ingin mencoba menikmati lezatnya soto kerbau di Kudus setelah menyaksikan aksi unjuk rasa sekelompok massa yang membawa seekor kerbau untuk menyindir Presiden SBY, lalu SBY menanggapinya dengan nada prihatin.
Menurut sejarahnya, sebelum membuka warung sotonya di dalam Pasar Kliwon Kudus, Pak Di berjualan soto kerbau dengan cara dipikul atau angkringan yang setiap hari mangkal di sudut-sudut kota Kudus. Pelanggannya banyak, di antaranya adalah warga keturunan China.
Peristiwa politik yang melibatkan seekor kerbau itu memang sangat menarik sehingga kemudian menjadi pemberitaan hangat di media. Banyak orang kemudian mendiskusikan binatang besar bertanduk yang suka berkubang di dalam air berlumpur dan suka makan sepanjang siang malam itu.
Ketika berdiskusi tentang kerbau dengan rekan-rekan di kantor, aku tiba-tiba khawatir binatang besar itu akan punah sehingga anak cucuku tidak bisa menikmati lezatnya soto kerbau. Sejauh ini belum pernah ada pendataan yang akurat tentang jumlah populasi kerbau di Indonesia. Tapi seingatku, sekarang semakin jarang aku melihat kerbau merumput di persawahan-persawahan.
Pada tahun lalu, aku sempat berkunjung ke rumah kerabat di beberapa desa di Kudus. Di desa-desa itu sudah tidak ada warga yang memelihara kerbau. Padahal, ketika aku masih kecil banyak warga di desa-desa itu yang memelihara kerbau. Dulu aku juga sering melihat kerbau sedang dimanfaatkan untuk menarik pedati atau untuk membajak sawah.
Dulu, setiap kali melihat kerbau yang berjalan lambat sedang menarik pedati atau menarik luku (alat untuk membajak sawah) aku sering tersenyum sinis dan berkomentar dalam hati. ”Bangsa ini bisa menjadi bangsa terbalakang jika selalu beraktivitas serba lamban seperti kerbau.”
Lalu aku jadi teringat omelan Mama karena Papa dan aku suka tidur siang sehabis menikmati soto kerbau yang lezat. Omelan Mama terasa relevan untuk didengungkan pada saat ini, ketika pemerintah dinilai serba lamban dalam menyelesaikan banyak masalah. Karena itu rasanya tidak berlebihan jika muncul aksi unjuk rasa yang membawa seekor kerbau untuk menyindir pemerintah.
***
Setibanya di Kudus, aku langsung mengajak rekan-rekan makan siang di warung soto kerbau Pak Di.
”Soto kerbau ternyata betul-betul sangat lezat,” kata rekan-rekanku sepulang dari warung Pak Di. Mereka tadi begitu lahap sehingga masing-masing mampu menghabiskan dua mangkuk soto kerbau sekaligus. Mereka tampak segar bermandikan keringat.
Begitulah, semua orang pasti akan menjadi segar dan berkeringat sehabis menyantap soto kerbau yang disajikan dalam keadaaan masih panas.
Setibanya di rumahku, karena perut mereka kenyang, rekan-rekanku langsung tidur sampai sore. Dan ketika bangun tidur, mereka ingin kembali menyantap soto kerbau.
”Eh, soto kerbau hanya nikmat disantap pada siang hari. Jadi, besok siang saja kita kembali menikmatinya di warung Pak Di,” ujarku sambil tersenyum. Aku senang melihat mereka tampak puas menikmati lezatnya soto kerbau dan ingin mengulangi kepuasannya itu.
”Kalau suatu saat SBY mengunjungi Kudus ini, pasti suka menikmati soto kerbau,” seloroh seorang rekanku.
”Eh, jangan mencoba memancing diskusi politik di Kudus. Lagi pula, SBY tidak akan berani mengunjungi Kudus ini,” tukasku.
Rekan-rekanku menatapku dengan penuh tanda tanya.
Eh, soto kerbau hanya nikmat disantap pada siang hari. Jadi, besok siang saja kita kembali menikmatinya di warung Pak Di.
Aku kemudian menjelaskan tentang mitos yang sangat populer di Kudus. Bahwa sejak zaman Kerajaan Demak pada masa kejayaan Walisongo, tidak ada raja atau orang berpangkat yang berani mengunjungi Kudus karena takut lengser atau kehilangan pangkatnya.
Konon, tanah Kudus telah dipagari dengan rajah (sejenis jimat) oleh Sunan Kudus agar semua orang berpangkat yang mengunjungi Kudus segera lengser jika pernah berbohong kepada rakyatnya.
Gara-gara mitos itu, semua Presiden Indonesia, kecuali Gus Dur, tidak berani mengunjungi Kudus. Entah kebetulan atau memang karena mitos itu, beberapa pekan sehabis mengunjungi Kudus, Gus Dur langsung mundur sebagai Presiden dan kemudian digantikan oleh Megawati.
”Kalau begitu SBY pasti tidak berani mengunjungi Kudus dan karena itu tidak akan bisa menikmati lezatnya soto kerbau,” ujar rekanku sambil menerawang. Entah apa yang dibayangkannya.
***
Lezatnya soto kerbau di dalam mangkuk tiba-tiba membuatku ingin membuka warung soto kerbau di banyak kota di China dalam rangka perdagangan bebas yang mulai berlaku tahun ini. Lalu gagasan itu kusampaikan kepada rekan-rekan. Mereka langsung setuju karena sama-sama ingin mengubah nasib menjadi pengusaha di mancanegara.
”Kita harus mengekspor warung soto kerbau ke China agar bangsa China suka makan soto kerbau dan kemudian makin gemuk lantas serba lambat sehingga kita bisa mengalahkannya,” tuturku bergurau.
”Ya, kayaknya kita baru bisa mengalahkan bangsa China dalam persaingan global jika bisa membuatnya gemuk dan malas sehingga serba lambat dalam banyak hal.” Rekan-rekanku sependapat denganku.
Lantas kami kembali ke Jakarta lagi, sehabis perayaan Cap Go Meh. Di samping tetap bekerja di kantor bank swasta, kami sibuk menyusun proyek proposal ekspor warung soto kerbau ke China.
Ketika proyek proposal itu kami sodorkan ke lembaga-lembaga berwenang, langsung disetujui. Sejumlah investor dari dalam negeri maupun dari luar negeri juga langsung sepakat mendukung permodalan yang kami perlukan.
Langkah berikutnya kami segera pergi ke daratan China untuk menentukan sejumlah lokasi yang akan kami gunakan untuk membuka warung soto kerbau. Kami kemudian memutuskan untuk membuka warung soto kerbau di dalam mal-mal dan pusat-pusat keramaian di sejumlah kota di China.
Acara pembukaan warung soto kerbau di sejumlah kota di China kami lakukan secara serentak dengan menampilkan lomba makan soto kerbau terbanyak dan tercepat yang diikuti oleh gadis-gadis cantik. Acara ini ternyata sangat menarik. Banyak gadis China yang cantik-cantik mengikutinya. Bahkan, putri-putri pejabat tinggi China juga mengikutinya.
Kemudian, pada setiap malam akhir pekan, kami menggelar pementasan barongsai dengan atraksi utama barongsai makan soto kerbau. Acara ini pun sangat digemari warga China. Mereka pun sangat lahap menyantap soto kerbau di warung-warung milik kami.
”Aku akan bikin acara yang lebih heboh lagi.” Aku tiba-tiba mendapat gagasan baru yang diilhami kisah kerbau mengamuk di pusat kota Kejaraan Demak pada masa lalu. Bahwa Mas Karebet alias Jaka Tingkir adalah pemuda gagah perkasa dari desa yang menyusup ke pusat kota dengan membawa seekor kerbau besar.
Kerbau besar itu kemudian dilepas di tengah kota Demak setelah lubang telinganya dimasuki seekor serangga hitam dan kemudian disumpal dengan tanah liat. Merasa telinganya sakit, kerbau besar itu pun mengamuk, menerjang apa saja dan siapa saja yang ada di depannya.
Pasukan keamanan dikerahkan untuk menangkapnya. Tapi kerbau besar itu sulit untuk ditangkap. Bahkan, semakin liar dan semakin beringas, mengamuk membabi buta. Lantas Raja Demak menggelar lomba: Siapa yang mampu menaklukkan kerbau besar yang mengamuk itu akan dijadikan menantu Sang Raja.
Baca juga: Mengantar Markus Pulang
Mas Karebet alias Jaka Tingkir kemudian berhasil menaklukkan kerbau besar yang mengamuk itu, lalu menjadi menantu Sang Raja.
”Aku akan melepas beberapa ekor kerbau di pusat kota-kota di daratan China. Siapa yang mampu menangkapnya akan mendapat hadiah makan soto kerbau di warung setiap siang selama satu tahun. Pasti sangat menarik.” Gagasan ini kemudian terlaksana. Banyak wartawan internasional meliputnya. Soto kerbau kemudian menjadi sangat terkenal di seluruh dunia.
”Eh, ayo bangun! Jangan tidur lama-lama, nanti kamu bisa mimpi aneh-aneh dan gemuk seperti kerbau!” seru Mama sambil mengguncang-guncangkan kepalaku. Aku langsung tersentak bangun dari tidur siangku yang sangat nyenyak sehabis menyantap dua mangkuk soto kerbau di warung Pak Di...***
Joglo Pilar Papat, 2021
***
Marta Mahardika lahir pada 10 Mei 1993. Penulis banyak menghasilkan karya prosa, esai, puisi dan features. Dia juga menjadi peneliti kebudayaan di Skala Prioritas Institute.