Mengantar Markus Pulang
Untuk beberapa saat, paman dan keponakan itu beradu tatap. Lemanu tidak ingin menghindari sorot mata Abdurrahman yang mengintimidasi.
Markus duduk di lantai dan menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu. Meski masih lunglai, tapi wajahnya terlihat lebih segar malam itu. Berjarak hanya sedepa di depannya, dua orang sikerei dengan jejeneng bergemerincing di tangannya mengalunkan nyanyian yang terdengar seperti mantra. Bersamaan dengan itu, mereka juga membentangkan laka—kain berwarna merah seukuran bendera. Laka itu terus-menerus diayunkan di atas kepala Markus hingga mereka melangkah keluar ruangan dan mengibaskannya dengan kencang. Bagian ritual penyembuhan seperti itu diulang dua kali, sebelum kemudian ujung laka dicelupkan ke dalam piring yang berisi ramuan obat.
”Bagus juga rekaman wartawan itu,” ujar Abdurrahman dengan nada sinis. ”Dia akan bayar berapa?”
Lemanu menekan tombol pause sebelum kemudian meletakkan gawai di atas lantai kayu. Sedari awal, dia menduga bahwa Abdurrahman memendam sesuatu. Abdurrahman tampak kurang menyukai kehadiran tamu asing dalam ritual penyembuhan Markus malam itu. Padahal, bukan pertama kalinya seseorang dari tempat yang jauh datang ke kampung halamannya dan mengabadikan ritual semacam itu.
”Mengapa Paman berpikir seperti itu?” tanggap Lemanu. ”Dia hanya ingin menulis cerita. Dia bisa menceritakan sesuatu yang baik di kampung kita ini.”
”Mungkin saja tidak ada masalah,” ujar Abdurrahman. ”Saya hanya tidak mau kita seolah-olah menjual orang yang sedang menderita. Kamu tahu bagaimana riwayat penyakit bapakmu, kan?”
Untuk beberapa saat, paman dan keponakan itu beradu tatap. Lemanu tidak ingin menghindari sorot mata Abdurrahman yang mengintimidasi. Berikutnya, ketika Abdurrahman memilin tembakau dan membakar rokok lintingnya yang kedua, Lemanu kembali meraih gawainya. Matanya tertumbuk pada wajah Markus yang tampak lebih segar—diam-diam dia menaruh harapan, bapaknya akan pulih seperti sediakala.
”Kekuatan sikerei akan menyembuhkannya,” ujar Lemanu, lebih kepada dirinya sendiri.
Markus telah mengalami sakit yang panjang. Enam bulan sebelumnya, dia pernah dirawat di sebuah puskesmas di Muara Siberut. Pihak puskesmas menyarankan agar Markus dibawa ke rumah sakit daerah di Sipora jika kondisinya tidak juga membaik dalam beberapa hari. Namun, seperti mendapatkan mukjizat, Markus berangsur-angsur membaik.
Belakangan, Lemanu menyadari bahwa bapaknya pandai menutup-nutupi penderitaan fisik yang dialaminya. Markus selalu berusaha agar dirinya tampak baik-baik saja. Dia juga melarang keras Lemanu pulang ke Ugai untuk menjenguknya. Bagaimanapun, Lemanu memang harus menyelesaikan tugas-tugasnya di Sipora. Ketika itu belum lama dirinya bekerja di Pos Pengawas Pantai Mapaddegat. Lemanu harus membuktikan bahwa dirinya layak bekerja di tempat itu dan Markus tidak ingin anaknya gagal gara-gara sering pulang kampung. Lagi pula, Markus tidak sendirian di rumah. Masih ada istrinya dan Abdurrahman—adik kandungnya—yang bisa merawatnya dengan baik.
Untuk beberapa saat, paman dan keponakan itu beradu tatap. Lemanu tidak ingin menghindari sorot mata Abdurrahman yang mengintimidasi. Berikutnya, ketika Abdurrahman memilin tembakau dan membakar rokok lintingnya yang kedua, Lemanu kembali meraih gawainya. Matanya tertumbuk pada wajah Markus yang tampak lebih segar—diam-diam dia menaruh harapan, bapaknya akan pulih seperti sediakala.
Namun, pada suatu hari Markus mengalami nyeri kepala yang begitu hebat hingga tidak sadarkan diri. Abdurrahman bersama istri Markus dan dua orang tetangganya kembali membawanya ke sebuah puskesmas di Muara Siberut. Keesokan harinya, mengingat kondisi kesehatan Markus yang menurun drastis, pihak puskesmas merujuknya ke rumah sakit umum daerah yang ada di Sipora. Kali ini Markus tidak bisa lagi berpura-pura agar dirinya terlihat baik-baik saja. Markus pun menjalani rawat inap selama seminggu di rumah sakit daerah itu dan kondisinya berangsur membaik.
Pada hari terakhir ketika dokter yang menanganinya membolehkannya pulang, Lemanu memutuskan untuk turut serta. Laut Selat Siberut sedang tenang dan wajah Markus seperti menyiratkan harapan berumur panjang selama dalam perjalanan. Dalam perjalanan pulang itu, turut pula kawan baru Lemanu—seorang penulis dari Bengkulu. Penulis tersebut sangat senang ketika Lemanu memperbolehkannya bergabung dalam rombongan kecil itu. Sudah lama dia ingin bertemu langsung dengan para sikerei—tabib tradisional yang hanya bisa diketahuinya lewat media massa dan sejumlah buku. Namun, Abdurrahman sepertinya merasa kurang nyaman dengan kehadirannya. Setelah malam ritual penyembuhan itu, Lemanu mulai memahami apa yang sebenarnya sedang dirisaukan oleh pamannya.
”Saya pernah melihat foto-foto dalam sebuah majalah dan itu membuat saya sedih. Itu salah satu warga kampung ini. Orang itu badannya kurus dan wajahnya pucat dan menderita. Kenapa wajah semacam itu harus berada di sana? Ya, biar orang-orang di luar sana datang ke kampung kita untuk melihat ritual penyembuhan orang sakit. Orang yang menderita!” jelas Abdurrahman.
”Di mana letak kesalahannya?” tanya Lemanu. ”Apa salahnya memberitakan hal semacam itu?”
Abdurrahman tampak seperti seseorang yang sedang menahan geram. ”Kamu tahu?” ujarnya. ”Sudah berapa banyak yang datang ke sini dan berapa banyak yang mereka dapatkan? Tapi lihatlah kampung ini. Cari sinyal hape saja susah!”
Lemanu berusaha memahami jalan pikiran Abdurrahman. Dia sendiri tidak pernah memiliki pengalaman buruk dengan orang-orang yang pernah datang ke kampung halamannya—entah mereka yang mengaku sebagai wartawan, pelancong, penulis, atau peneliti. Dia juga tidak pernah merasa bahwa mereka datang untuk ”menjual” kampungnya dengan semena-mena.
”Tenang, Paman. Kawan saya itu tidak akan menjual penderitaan siapa pun di tempat ini. Dia hanya ingin menceritakan sesuatu tentang ritual pengobatan itu.”
”Saya tidak melihatnya sedari pagi. Ke mana dia?”
”Pergi ke rumah Aman Ipai dan Teu Tonem.”
”Dia tidak akan memuat wajah bapakmu yang sedang sakit di sebuah majalah, kan?”
Lemanu menggeleng. Beberapa saat kemudian, dia merasa tergelitik untuk menanyakan sesuatu kepada Abdurrahman.
”Mohon maaf, Paman,” ujar Lemanu dengan hati-hati. ”Sejak Paman pergi dan kembali bersama keyakinan yang berbeda dengan kebanyakan kami yang ada di sini, banyak hal yang berubah. Apa Paman merasa tidak nyaman lagi tinggal di kampung ini?”
Abdurrahman mengisap rokok lintingnya dalam-dalam dan berkali-kali sehingga bunyi gemerisik kecil tembakau yang terbakar itu bisa mendebarkan jantung Lemanu. Lalu tanpa diduga-duga, dia menepuk-nepuk bahu Lemanu.
”Saya lahir di sini, Lemanu, dan tetap merasa seperti dulu,” ujarnya. ”Yang berubah itu cara saya menjalankan keyakinan. Di luar semua ini, kamu pikir mudah meninggalkan Sabulungan?”
Lemanu tidak menduga akan mendapatkan jawaban seperti itu. Selagi masih muda, laki-laki yang bernama Agustinus itu pernah pergi merantau untuk belajar berdagang. Sepulangnya dari rantau, dia sudah menyandang nama lain, yakni Abdurrahman dan menjadi seorang Muslim.
”Apa kamu masih sering pergi ke Gereja?” tanya Abdurrahman seraya tersenyum.
”Tentu, Paman,” jawab Lemanu singkat.
”Meski begitu, apa kamu yakin sudah benar-benar bisa meninggalkan Sabulungan, keyakinan leluhur kita itu?”
Lemanu terdiam. Dia tatap wajah pamannya yang seolah menunggu jawaban itu. Lalu dia pun tersenyum. Namun, sebelum sempat mengatakan sesuatu, ibunya muncul di beranda rumah dengan wajah pucat dan mata sembab.
”Panggilkan Teu Tonem,” ujar istri Markus dengan suara gemetar.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Lemanu pun bergegas menuju ke rumah Teu Tonem—salah seorang sikerei yang mengobati Markus pada malam sebelumnya. Abdurrahman, yang begitu yakin bahwa Markus sedang membutuhkan pertolongan, segera mengekor istri Markus ke dalam ruangan.
***
Setelah dua tahapan yang masing-masing diulang sebanyak dua kali tersebut, kedua sikerei memulai tahapan penyembuhan berikutnya. Pada bagian ini, Aman Ipai dan Teu Tonem memborehkan ramuan obat ke sekujur tubuh Markus yang lampai. Wajah Markus—yang tersorot kamera—tampak lebih jelas. Dia tersenyum ke arah kamera dan mencoba melambai seperti mengisyaratkan kepada seseorang agar mendekat.
”Tahan di situ,” ujar Lemanu tiba-tiba.
Penulis itu tampak gugup. Dia tidak menyangka bahwa Lemanu sudah berada di dekatnya. Mungkin karena terlalu serius menyimak ritual penyembuhan itu—dan di telinganya masih menyumpal earphone—dia tidak mendengar ketika ada langkah-langkah kaki mendekat.
”Saya tidak tahan untuk melihatnya lagi. Masih tidak percaya. Wajahnya terlihat segar malam itu,” ujar penulis itu. ”Apa kamu keberatan?”
Lemanu memandang ke sekitar. Bantaran Sungai Rereiket masih bertahan dengan pemandangan hijau yang sama: pohon nyiur, rumpun sagu, perdu, dan rumput hijau di antara jeda ladang talas. Sudah memasuki pertengahan musim hujan, dan debit air cukup tinggi sehingga memudahkan setiap perjalanan dengan menggunakan pompong.
”Saya justru berterima kasih, sudah ada yang mengabadikannya,” ujar Lemanu seraya meminta untuk menghidupkan kembali video yang telah direkam oleh penulis itu.
Wajah Markus muncul kembali dan hampir memenuhi layar gawai. Dia tersenyum tipis dan wajahnya terlihat lebih segar dari sebelumnya. Dalam sekian detik, wajah itu menjauh dan mengecil berganti dengan sosok tubuhnya yang berbalur ramuan obat penyembuh.
Baca juga : Dua Lamaran
”Kamu yakin akan kembali hari ini?” tanya penulis itu. ”Siapa tahu, kamu masih butuh berada di sini. Saya bisa berangkat bersama Abdurrahman.”
”Tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Sudah hampir sebulan berada di sini. Sekarang saatnya kembali ke Sipora,” jawab Lemanu.
Rekaman video itu pun berakhir. Penulis itu memasukkan gawainya ke dalam daypack. Pada saat yang hampir bersamaan, Abdurrahman telah menyalakan mesin pompong. Dialah yang akan mengantarkan mereka berdua. ”Ayo, sebelum turun hujan!” teriak Abdurrahman.
Lemanu dan penulis itu pun bergegas. Ketika mereka sampai di atas pompong, gerimis mulai turun. Masih butuh sekitar lima jam perjalanan untuk bisa sampai Muara Siberut. Mereka berharap tidak akan ketinggalan kapal yang menyeberang ke Sipora hari itu.
”Kita semua lega, bisa mengantar kepulangannya dengan baik,” ujar Abdurrahman, sesaat sebelum pompong melaju.
Lemanu memandang ke langit. Mendung tipis beriring di atas sungai.
Ampenan, 1 Juni-12 Juli 2020
***
Glosarium
1. Sikerei (Mentawai): Seseorang yang memiliki peran istimewa dan penting dalam masyarakat Mentawai sebagai penyembuh (tabib) atau sebagai pemimpin dalam upacara-upacara adat.
2. Jejeneng (Mentawai): Genta kecil yang digunakan dalam ritual penyembuhan oleh seorang sikerei.
3. Laka (Mentawai): Kain berwarna merah berbentuk empat persegi panjang— serupa bendera—digunakan dalam ritual penyembuhan oleh seorang sikerei.
4. Pompong: Sebuah istilah untuk menyebut sampan bermesin tempel satu. Pompong bentuknya ramping dan memanjang.
5. Sabulungan (Mentawai): Atau kerap disebut sebagai Arat Sabulungan merupakan sebuah keyakinan/kepercayaan religi masyarakat asli Mentawai.
-----
Tjak S Parlan lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Menulis cerpen, puisi, feature perjalanan, novel. Buku terbarunya Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020—Kumpulan Cerpen). Penulis bermukim di Ampenan, Nusa Tenggara Barat.