Laki-laki Itu
Aku memerhatikannya lebih cermat. Benar, ia tampak seperti orang waras.
Kali ini aku akan bercerita tentang laki-laki aneh yang sering kulihat di halte setelah pertigaan selepas Terminal Ciledug. Tampaknya ia sedikit lebih tua dariku. Paling sekitar tiga puluh lima usianya. Ia selalu kulihat berdiri di situ dengan mata redup menyiratkan timbunan keinginan yang gagal terwujud.
Setiap kali Metromini yang kunaiki berhenti di depan halte itu, ia tidak naik. Kupikir tempat yang hendak ia tuju tidak dilewati bus yang mengangkutku. Atau, barangkali ia lebih suka naik Patas AC, kendaraan umum yang tentu saja lebih nyaman, bebas dari bau ketiak penumpang yang berdiri berdesak-desak dengan tangan bergelantungan pada pegangan yang terpasang di plafon bus. Karena aku selalu memilih tempat duduk di sebelah kiri, maka aku sering melihatnya dan mata kami pun beradu kala ia memandang ke arah bus. Boleh jadi ia mengira pernah bertemu denganku, tetapi tidak ingat kapan dan di mana. Kelihatannya ia berusaha mengingat-ingat dan kukira ia tidak pernah berhasil dengan usahanya itu sampai bus yang kutumpangi meninggalkan halte.
Kesan aneh mencuat di kepalaku setelah peristiwa yang sama terjadi berulang kali. Ia berdiri di situ dengan sikap sama, menyenderkan punggung pada salah satu tiang halte bercat biru itu dengan kedua tangan tersimpan dalam saku celana. Pakaian yang dikenakannya pun sama, sebuah pantalon biru dongker dan kemeja lengan pendek putih bergaris-garis biru kecil membujur yang di bagian atas sakunya terdapat bordiran mungil. Kepala ikat pinggangnya yang berwarna perunggu mengilat seperti sepatu kulitnya yang pasti sering disemir. Namun, wajah klimisnya tampak agak pucat. Kupikir ia kurang tidur atau siapa tahu malah mengidap anemia.
Kesan aneh mencuat di kepalaku setelah peristiwa yang sama terjadi berulang kali. Ia berdiri di situ dengan sikap sama, menyenderkan punggung pada salah satu tiang halte bercat biru itu dengan kedua tangan tersimpan dalam saku celana. Pakaian yang dikenakannya pun sama, sebuah pantalon biru dongker dan kemeja lengan pendek putih bergaris-garis biru kecil membujur yang di bagian atas sakunya terdapat bordiran mungil.
Tak dapat kuingat sejak kapan aku mulai membiarkan pikiranku berkelana menelusuri masalah yang mungkin ia alami. Walaupun tubuhnya cukup gempal dengan rahang kokoh, boleh jadi ia laki-laki mandul, tak mampu membuahkan keturunan setelah sekian lama menikah. Sialnya, istrinya selingkuh. Dan dari perselingkuhan itu lahir seorang anak yang harus ia besarkan dan akui sebagai anaknya sendiri. Semua itu harus ia terima meskipun tidak dengan lapang dada karena ia merasa dirinya bukan siapa-siapa. Hanya seorang karyawan rendahan dengan gaji kecil, bisa jadi setengah penghasilan istrinya. Maka, pantaslah kalau ia begitu tunduk kepada istrinya, membiarkan harga dirinya jatuh sampai ke telapak kaki. Bila terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu hal, pasti tidak akan sempat berkembang menjadi pertengkaran. Kelihatan sekali ia tipe laki-laki yang suka mengalah. Oh, jangan-jangan ia memang laki-laki yang tidak mampu memberikan nafkah batin kepada istrinya.
Bus bercat merah yang kunaiki mulai bergerak meninggalkan Terminal Ciledug dengan segala hiruk-pikuknya, sementara kenek yang berdiri di pintu belakang tak henti-hentinya berseru memanggil calon penumpang. Walaupun tempat duduk sudah terisi semua, bahkan sudah banyak penumpang yang berdiri di gang di antara tempat duduk dan masing-masing berpegangan pada pipa besi yang terpasang di langit-langit bus, laki-laki pendek berotot dan berkulit legam itu terus saja berteriak, ”Blok M.., Blok M...!”
Pertigaan sudah lewat. Beberapa menit kemudian bus berhenti di depan halte itu, tempat persinggahan bus yang bangkunya sering kulihat basah pada waktu hujan. Mungkin karena tempias atau atapnya ada yang bolong. Namun, apa yang kubayangkan tidak terjadi. Laki-laki itu tidak ada di situ. Aku baru ingat saat itu hari Minggu. Sudah tentu para karyawan tidak pergi ke kantor. Aku sendiri bepergian bukan untuk urusan kantor, melainkan hendak melakukan kegiatan bakti sosial dengan teman-teman satu komunitas. Kami yang punya slogan ”Cintai Semua, Layani Semua” telah memutuskan berkunjung ke satu tempat di Jakara Barat hari itu. Kami hendak berbagi makanan dan pakaian kepada para penghuni sebuah panti.
Aku tak punya gambaran mengenai panti itu ketika berangkat bersama teman-teman dengan beberapa mobil pribadi. Aku ikut mobilnya Robi, sahabatku yang pintar membuat roti. Ia punya usaha roti kecil-kecilan yang ia kelola bersama istrinya sebagai sumber penghasilan utama keluarga. Seperti biasa aku tidak banyak bertanya mengenai tempat yang akan dikunjungi. Yang penting bagaimana sumbangan yang telah kami kumpulkan bisa sampai ke orang-orang yang berhak menerima.
Yang kami kunjungi kala itu tak lain dari tempat merawat orang-orang yang tidak waras, mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Konon, sebagian dari mereka diciduk dari jalanan. Setelah membagikan sumbangan, aku dan beberapa teman sempat masuk ke tempat khusus untuk mereka yang tergolong mengalami gangguan berat. Keadaan mereka begitu memprihatinkan. Mereka berada di sebuah ruangan terbuka dengan tangan dirantai dan semuanya mengidap kudis. Kulit mereka melepuh dipenuhi bercak-bercak gelap dengan ruam yang mengelupas. Tentu saja terasa gatal sehingga tangan-tangan mereka selalu sibuk menggaruk ke sana kemari sampai ke lekuk tubuh yang mestinya disembunyikan.
Menyadari diri berada di tempat yang tidak semestinya, kami segera pergi dari situ. Sementara Robi bergabung dengan rombongan yang berada di dalam ruangan untuk beramah tamah dengan para petugas, aku berbincang dengan salah seorang petugas yang sedang duduk santai di taman depan. Tidak jauh dari bangku kami, di bawah sebatang pohon ketapang yang sudah begitu banyak menggugurkan daunnya sesiang itu, ada bangku lain yang juga terbuat dari beton. Seorang perempuan tampak sedang duduk di situ. Beberapa kali kutenggarai ia mencuri pandang ke arahku sepertinya ia kenal denganku.
”Siapa dia, Pak?” aku bertanya kepada petugas yang sedang asyik mengepulkan asap rokoknya.
”Penghuni,” jawabnya, ”tapi yang satu ini agak lain. Kayaknya normal, bahkan cerdas.”
”Boleh saya ngobrol?”
Petugas itu mengisap rokoknya lagi. Setelah mengembuskan asapnya, ia tersenyum nakal dan berkata, ”Cantik ya?”
Dalam beberapa detik aku sudah berdiri di dekat wanita yang kuperkirakan berusia tiga puluh itu. Ia sedang menulis pada sebuah buku kecil, semacam buku harian. Ia asyik dengan kegiatannya, seakan tidak peduli pada kedatanganku. Aku sempat memerhatikan hidungnya yang bangir dan tahi lalat kecil yang menempel pada dagunya sebelah kanan. Sebagian dari rambutnya yang hitam tebal mencucuk pundak menutupi sebagian pipinya. Sungguh wajah yang menarik, tetapi kulitnya yang putih sangat kontras dengan kaus lusuh dan jins biru kusam yang dikenakannya.
“Selamat siang, boleh ikut duduk di sini?” aku mencoba berbasa-basi. Ia tidak berpaling sedikit pun. Namun, ia kemudian mengejutkanku dengan pertanyaan, ”Habis lihat teman-teman saya, ya? Bagaimana perasaan Kakak melihat perempuan seperti itu?”
Kuabaikan pertanyaanya dan berkata, ”Lagi nulis apa?”
Tiba-tiba ia menyodorkan sebuah dompet hitam ke arahku sembari bertanya,
”Ini punya Kakak?”
Aku terenyak. Mengapa dompetku ada di tangannya?
”Saya temukan tadi dekat pintu masuk,” jelasnya.
Aku cepat meraihnya. Perasaan curiga membuatku segera memeriksa isinya.
”Tak ada yang saya ambil,” tegasnya sambil tetap menekuni bukunya.
Isi dompetku utuh. ”Terima kasih, kamu baik sekali. Eh, namanya siapa?”
”Tika,” jawabnya singkat.
Tiba-tiba ia melemparkan buku kecil bersampul biru itu ke arahku dan buku itu jatuh sebab aku tidak sigap menangkapnya.
”Kakak sudah saya tunggu sejak kemarin-kemarin,” celotehnya. Aku sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan aneh seperti itu. Ya, namanya juga berhadapan dengan orang tidak waras. ”Itu untuk Kakak, dibaca ya,” terusnya.
Aku memerhatikannya lebih cermat. Benar, ia tampak seperti orang waras. Dan ketika aku ingin bertanya lagi, tiba-tiba Robi sudah berdiri di sampingku dan memberitahuku bahwa rombongan kami sudah siap meninggalkan panti.
”Maaf, saya harus pergi,” kataku dan menyimpan buku wanita itu di dalam saku celana. Entah mengapa kemudian aku terdorong untuk mengangsurkan selembar kartu nama kepadanya.
Robi yang tampak tak habis pikir mengolok-olokku ketika kami naik ke mobil,
”Ternyata kamu rentan juga ya, bisa tertular secepat itu.”
”Apa?”
”He-he-he, orang waras tak akan berbagi kartu nama dengan orang tak waras.”
”Sialan!”
Aku masih memikirkan Tika sepanjang perjalanan pulang. Masalah apakah yang telah menyebabkannya menjadi salah seorang penghuni panti milik pemerintah tu? Rasanya tidak ada alasan untuk memasukkannya ke tempat itu. Ah, Jakarta memang menyimpan banyak hal yang tidak dapat diduga. Aku jadi ingat saat duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang mengoceh sendirian di atas bus seolah sedang bertengkar dengan seseorang, dan di saat lain pernah juga aku terjebak kemacetan lalu lintas gara-gara ulah seorang laki-laki tanggung yang menghadang kendaraan di tengah jalan.
”Mau langsung pulang?” Robi bertanya manakala kami sudah mendekati
Terminal Blok M.
”Saya turun di Melawai saja,” sahutku. ”Mau potong rambut.”
”Memang dekat rumah enggak ada?”
”Langganan saya tutup.”
”Ya sudah, kebetulan saya mau mampir ke toko buku.”
Kami berpencar di pelataran parkir. Robi mengarahkan langkah ke selatan menuju toko buku sedangkan aku berjalan ke timur, menyeberang jalan di ujung lajur terminal, lalu belok kanan menyusuri jalan kecil melewati banyak pedagang kaki lima sebelum menuruni tangga pertama menuju mal bawah tanah. Di sebuah sudut kulihat tukang rujak laki-laki bercelemek putih sedang dirubung wanita-wanita penggemar rujak. Aku melintas di depan beberapa toko setelah menuruni tangga berikutnya sebelum akhirnya masuk ke Barber Shop. Aku pernah menggunting rambut di situ dan merasa puas dengan hasil cukurannya.
Tempat potong rambut itu menyediakan tiga kursi. Saat aku masuk hanya ada satu orang yang sedang dicukur. Aku duduk di salah satu kursi kosong di ujung setelah bertukar salam dengan tukang cukur yang sedang mencukur seorang remaja. Beberapa saat kemudian tukang cukur lain muncul dari bilik kecil di sebelahku duduk.
Baca juga: Teror Kenapa
”Mau pendek atau dirapiin aja?” tanya laki-laki itu sambil menutup tubuhku dengan selembar kain biru muda.
”Dirapikan saja,” jawabku sembari memperbaiki posisi duduk.
Saat ia merapikan kain yang sudah menutupi tubuhku, kuperhatikan jemarinya yang lentik serupa jemari tangan perempuan. Lalu, kuamati wajahnya lewat cermin di depanku. Astaga, meski ia tak menggunakan pakaian seragam, aku merasa pasti ia laki-laki yang sering kulihat berdiri di halte setelah pertigaan jalan selepas Terminal Ciledug.
Pandangan kami yang beradu lewat cermin membuat waktu seakan membeku sekejap. Aku cepat-cepat berpaling dari tatapan anehnya dan ia mulai menggunting rambutku. Kami sama-sama diam sampai pekerjaannya hampir selesai. Dan saat tangan kanannya memegang pisau cukur yang pasti sangat tajam, tiba-tiba tangan kirinya mulai bergerak liar. Mula-mula ia mengelus pundakku lalu pelan-pelan tangannya meluncur ke arah paha lewat pinggangku.
Aku merinding, tetapi tidak berani bergerak karena pisau cukur terasa menempel di tengkukku. Dan ketika tangannya mulai menggerayangi selangkangan, kukibaskan rasa takut dan kutangkap tangannya.
Keringat dingin merembes dari pori-pori tubuhku. Ke mana perginya orang yang mencukur di sebelahku tadi? Aku sangat berharap ia muncul dari bilik di sebelahku. Ya, aku berharap sambil berdoa agar aku dijauhkan dari kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Sudah dapat kupastikan bahwa laki-laki yang ada di belakangku bukanlah laki-laki sejati sebagaimana yang kubayangkan.
Aku bernapas lega ketika kudengar pintu di belakangku berderit.
”Sudah selesai?” Itu suara Robi.
”Sudah,” jawabku cepat penuh rasa syukur dan laki-laki itu beringsut, lalu meletakkan pisau cukur ke meja di bawah cermin di depanku.
Tanpa memeriksa hasil cukurannya, kusodori tukang cukur itu uang pas sesuai dengan tarip yang tertempel di dinding setelah melepaskan sendiri kain biru penutup tubuhku. Aku lantas meninggalkan tempat itu dengan bibir terkatup.
”Saya kira kamu sudah pulang,” kataku setelah berbaur di antara pengunjung mal.
”Tanggung, saya ingin makan dulu.”
”Biar saya traktir kalau begitu.”
”Serius?”
Aku menganggukkan kepala dan mulai menceritakan peristiwa kecil yang baru saja kualami. Robi tak dapat menahan tawanya setelah mendengar ceritaku.
”Mimpi apa kamu semalam? Habis naksir wanita tak waras, eh... malah dikerjain cowok gituan.”
_____________
Ketut Sugiartha tinggal Tabanan, Bali. Menulis esai, puisi, cerpen dan novel. Karya tulisnya telah tersebar di berbagai media massa. Telah menerbitkan sejumlah kumpulan cerpen dan novel antara lain: Sketsa untuk Sebuah Nama (1986), Karya Besar (1987), Kabut Sepanjang Jalan (1993), Mimpi Sang Pramugari (2003), Elegi Sang Penari (2004), Lembayung Kuta (2018), Luh (2019).