Gus
Maka dia tak heran, ketika pada hari kesembilan, hari kesepuluh, hari kesebelas, hari kedua belas, hari ketiga belas, sepupunya masih memberi kabar bahwa Gus tetap tidak mau makan lagi.
Bayangkan, saat kau memutuskan tidak makan apa pun selama satu minggu penuh. Energimu perlahan akan habis. Otakmu sudah mulai tidak bisa bekerja dengan normal. Dan setelah hari kesepuluh, tubuhmu mulai mencari-cari simpanan energi yang tersisa. Memakan sel-sel lemak dari tubuhmu sendiri. Lalu setelah tiga minggu penuh, tubuhmu akan benar-benar memakan dirinya sendiri. Begitu seterusnya.
Gus melakukan itu. Sepupunya baru saja berkabar bahwa sudah seminggu ini Gus tidak menyentuh makanan apa pun. Orang rumah mulai khawatir. Dengan usia yang sudah hampir 55 tahun, apalagi di tengah pandemi, pasti riskan sekali untuk kesehatannya. Tapi tak ada yang bisa membujuknya. Sebagaimana yang sudah sering terjadi, ini akan berakhir lama. Pasti ada sesuatu, pikirnya.
Ketika sepupunya seolah berharap dia harus segera pulang, dan membantu mereka membujuk Gus, dia belum bisa menyanggupinya. Saat ini dia tengah menghindari perjalanan jauh. Tubuhnya seperti sedang memasuki proses yang baru. Meski sudah memakai masker, sebagaimana aturan pada masa ini, aroma dunia luar salah satu yang termasuk dihindarinya. Dia perlu beradaptasi untuk mengakrabi proses dalam tubuhnya sendiri.
Seminggu lalu, dia sudah menyingkirkan berbagai kosmetik yang dulu dia suka. Dari lipstik, bedak, pembersih wajah, hingga parfum. Sebagian dia berikan kepada teman yang mau dan sebagian lagi dia simpan rapat-rapat dalam sebuah kotak. Dia sebisa mungkin menghindarkan dirinya dari aroma dupa, aroma masakan, apalagi melihat orang memasak. Dia bahkan sempat mengusir suaminya sendiri untuk menjauh, padahal sebungkus nasi yang dia bawa dari jauh telah tuntas dihabiskannya, hanya karena dia tak suka dengan aroma tubuh suaminya.
”Nanti, nanti aku akan pulang. Bujuklah dengan lebih baik. Berusahalah.”
Dia mengatakan itu saat sepupunya menghubunginya lewat video call. Lalu ketika kamera ponsel diarahkan ke Gus, yang tengah mengasuh keponakannya, seperti biasa Gus memperlihatkan seolah tak terjadi apa-apa. Dia bilang sudah makan. Dalam keadaan sehat. Dan tidak kekurangan apa pun. Dia mencoba membujuknya, merajuk untuk meluluhkan hatinya, dan seperti biasa Gus hanya mengiyakan. Dia tahu sepenuhnya artinya cuma satu: tidak.
Dia mulai membayangkan, pada hari kedelapan, hari kesembilan, hari kesepuluh, jika sepupunya tetap mengabarkan bila Gus tak mau makan, pastilah tengah terjadi pergolakan dalam tubuhnya. Sel-sel lemak yang ada perlahan diperas oleh tubuhnya sendiri untuk dijadikan energi. Pelan-pelan sel-sel itu akan digerogoti terus-menerus karena tidak ada lagi sumber energi lain yang masuk. Dia merasa tak perlu lagi melihat teori kedokteran secara pasti hanya untuk membayangkan dampak dari mogok makan itu. Kendati tubuh Gus tinggi besar, dalam waktu tiga minggu penuh berat tubuhnya akan turun drastis.
Lengannya akan mengisut, kakinya akan mengecil, perutnya yang menggelambir akan kempes, dadanya akan menggelayut lemah, tulang iganya akan mencuat, pipinya yang sama seperti pipinya: gembul dan kegelapan, akan tiba-tiba tirus. Itulah saat di mana tubuhnya telah benar-benar memakan dirinya sendiri.
Ini sudah kejadian kesekian dan tetap saja dia merasa khawatir. Dia tahu Gus tak pernah mengingkari tindakannya sendiri. Dia ingat beberapa tahun lalu ketika Gus melakukan aksi mogok makan yang sama, dia hanya bilang: baginya hidup dan mati sudah tidak ada batasnya. Dia tidak akan mundur. Tak sedikit pun.
Dia bisa saja menghubungi ibunya, menyuruhnya membujuk Gus, membujuk iparnya itu, tapi entah mengapa dia tidak melakukannya. Sudah lama dia bosan dengan tindakan manipulatif. Gus tak pernah manipulatif. Tindakannya selalu terukur. Barangkali karena dia tidak pernah punya mimpi yang tidak tercapai dan luka yang harus ditebus oleh keturunannya. Dia tak pernah menikah.
***
Di hari kedelapan, suaminya yang dimintanya pulang membawa kabar baik. Gus bersedia makan makanan yang dibawakannya. Sebungkus nasi berlauk babi dengan lawar nangka dimakannya sambil menyeka air mata.
”Apa dia mau bercerita?” dia menyela suaminya.
”Tidak.”
”Apa tubuhnya mengisut?”
”Belum.”
”Apa dia turut mengantarmu saat kau pulang?”
”Tidak. Dia hanya bertanya sudah berapa bulan?”
Dia tahu apa artinya itu. Maka dia tak heran, ketika pada hari kesembilan, hari kesepuluh, hari kesebelas, hari kedua belas, hari ketiga belas, sepupunya masih memberi kabar bahwa Gus tetap tidak mau makan lagi. Sebungkus nasi suaminya jadi nasi terakhir yang dimakannya.
Di depannya seperti terwujud sebuah gambar hologram berupa sesosok manusia dengan bagian dalam tubuh yang tembus pandang. Dia perhatikan jantung itu berdegup dengan lambat. Organ-organ lain yang menghisap bagian-bagian dari tubuh itu dengan lahap. Otak yang mulai tidak berfungsi, dan daging-daging yang segera menciut, mengempis kehilangan dirinya sendiri. Lalu untuk pertama kali sepanjang sejarah hidupnya, Gus akan memiliki tubuh yang lebih kurus jika dia berdiri berdampingan dengannya. Itu pun kalau dia masih bertahan hidup.
***
Bagaimana?
Apanya?
Gus
Gus?
Iya
Masih sama
Tidak makan?
Tidak
Sudah dibujuk?
Selalu
Tetap tidak mau?
Tidak
Apa tidak sakit?
Belum
Sama sekali tidak?
Tidak tahu
Chat yang selalu sama. Kabar yang masih sama. Dengan emoji beberapa potongan wajah menangis.
***
Lalu di hari keempat belas, iya empat belas. Dia memang menghitungnya setiap hari. Dia menghubungi sepupunya agar bisa berkomunikasi dengan Gus melalui video call. Selain karena bayangan tubuh yang memakan tubuh pemiliknya sendiri, yang mengganggu hari-harinya, dia juga rindu masakan Gus. Hanya masakan Gus yang masih bisa dia bayangkan aroma dan rasanya tanpa membuatnya mual.
Dia bisa saja menghubungi ibunya, menyuruhnya membujuk Gus, membujuk iparnya itu, tapi entah mengapa dia tidak melakukannya. Sudah lama dia bosan dengan tindakan manipulatif. Gus tak pernah manipulatif. Tindakannya selalu terukur. Barangkali karena dia tidak pernah punya mimpi yang tidak tercapai dan luka yang harus ditebus oleh keturunannya. Dia tak pernah menikah.
Dia katakan, dia rindu sambal udang khas buatan Gus, yang dinamainya sambel bejek udang. Sudah terbayang rasa udang kecil-kecil yang dibakar langsung di atas bara, dengan bumbu yang juga dibakar, menimbulkan rasa gurih tak terkira ketika menyentuh lidah dan dikunyah. Dia bayangkan dapurnya yang berdinding gelap karena asap, batu bata yang hitam, kayu bakar yang membara untuk kemudian gosong, hancur, beberapa tersisa jadi arang keras. Ada kulit udang tertinggal di sisa bara.
Dia rindu sambal terasi buatan Gus, dengan bawang merah, bawang putih, cabe potong, sedikit garam, digoreng matang. Teringat-ingat dia dengan tangannya sigap mengeluarkan nasi dari panci pengukus, di atas tungku dari batu bata yang telah menghitam, dengan asap yang menguap dari nasi yang tanak. Tanpa lauk pun, sambal terasi saja sudah cukup untuk membuatmu menghabiskan sepiring penuh nasi.
Dia rindu sayur aram-aram, yang terdiri dari berbagai daun-daunan, seperti daun kacang panjang, daun singkong, daun melinjo, daun cabe, buah pepaya muda, dan biji kacang merah. Tak ada yang dominan dalam rasanya. Antara bumbu yang satu dengan bumbu yang lain tak pernah saling berlomba. Gus selalu meraciknya dengan pas.
Dia katakan, nyaris tanpa jeda, dia juga rindu masakan-masakannya yang lain. Tumis kangkung terasi, tum kacang merah dicampur sedikit daging babi, sayur daun singkong dengan ikan laut berbumbu sambal serai yang dinamakannya begala, juga jukut ipun. Khusus untuk yang terakhir ini bahkan kepada suaminya sendiri dia tidak bisa menjelaskannya dengan pasti dan mencari padanan kata yang tepat. Bagaimana bisa orang bukit mengerti manusia laut secara menyeluruh?
Dia juga mengingat-ingat sambal belut buatan Gus, yang paling sering dibuat ketika masa kanak-kanaknya dulu, bersama sepupu laki-lakinya itu. Pertama-tama dia dan sepupunya akan menangkap belut di tanah sawah yang basah, sehabis musim panen padi. Sepupunya bertugas memancing belut itu, lalu setelah belut tertangkap, dengan sadis dia akan membanting belut itu di tanah, hingga mati. Belut-belut yang sudah mati itu akan diletakkan di atas topi petani terbuat dari anyaman lidi daun kelapa yang sedang dikenakan sepupunya.
Sambil menyusuri tanah sawah dan menangkap belut lainnya, belut yang sudah mati itu, yang seolah-olah menempel di atas kepala sepupunya dan hanya terpisahkan anyaman lidi-lidi, akan mengering terkena matahari. Aroma kering inilah yang menimbulkan rasa khas ketika belut ini dibakar lagi di atas bara langsung di tungku dapurnya yang sederhana.
Dia katakan lagi, dia ingin sesegera mungkin merasakan sambal kepiting, dari kepiting waras dengan kulit cangkang kemerahan yang dibakar, dihancurkan, dicampur dengan bumbu dari bawang, cabai yang juga dibakar, dengan sedikit tambahan jahe. Kepiting waras ini dulu mudah sekali bisa dijumpai di kali kecil dekat sawah orang tuanya. Cukup menunggu hujan reda, bermodal umpan dari cacing yang diikatkan dengan tali rafia, maka pergilah dia dan sepupunya ke kali itu. Hanya menunggu beberapa saat, tali rafia bergetar, pertanda umpan telah dimakan, segeralah tarik si kepiting yang telah terjebak dan masukkan dalam dungki.
Dari layar ponselnya, dia melihat Gus mendengarkannya bicara, sesekali tertawa kecil. Sengaja dengan kekanak-kanakan, dia bilang, dia ingin makanan-makanan itu, lalu disuapi langsung oleh tangannya. Tangan Gus sendiri. Dia masih merajuk, merengek, sebagaimana kanak-kanak. Dia katakan ini itu, dan seterusnya, dan seterusnya. Dia sendiri sangsi apakah kali ini akan berhasil atau tidak, atau tubuh Gus akan benar-benar memakan tubuhnya sendiri.
***
Hari ketujuh belas.
Empat hari sebelum tubuh Gus akan memakan tubuhnya sendiri.
Dia membuka bungkusan dari tas kresek warna hitam di mejanya. Dia ambil tiga piring dan satu mangkuk kecil. Satu piring untuk sayur aram-aram, satu piring untuk sambal bejek udang, satu piring untuk nasi putih. Dalam tas kresek hitam itu juga ada setoples kecil rempeyek udang.
Suaminya sendiri yang meletakkan bungkusan dari kresek hitam itu di meja makannya. Suaminya hari ini memang pulang, ke rumah asalnya, bertemu Gus, sepupunya, ibunya, dan juga keponakan-keponakannya. Katanya, Gus begitu sumringah. Matanya berbinar. Sangat bersemangat. Dan dia sudah mengakhiri masa mogok makannya dan juga sudah berbicara lagi pada ibunya. Gus menyiapkan semuanya. Dari membeli udang, memetik daun-daunan, bahkan mengolah sendiri kelapa untuk menghasilkan minyak kelapa asli, minyak tandusan.
Baca juga : Ada Jenggala Mengakar di Purnama
Lalu saat langit desanya tiba-tiba menjadi mendung, panas daerah pesisir berubah jadi muram, pertanda kemungkinan hujan, Gus menyuruh suaminya secepatnya kembali.
”Sepertinya akan hujan, segeralah berangkat,” suaminya berusaha menirukan Gus.
Suaminya mengerti, Gus tak mengkhawatirkan hujan. Dia khawatir makanannya jadi dingin. Dia ingin keponakannya segera melahap masakannya itu. Maka sama seperti dari masa kanaknya dulu, hingga dia dewasa, kini dia santap masakan itu dengan nikmat. Dengan lahap. Saat tangan kanannya sibuk mengambil makanan, tangan kirinya mengelus perutnya yang dia rasa mulai membuncit. Dia berhenti mengunyah sejenak, dia bergumam sambil mengelus perutnya: nak, hari ini kita makan masakan nenek, masakan Gus. Enak sekali. Satu hal yang dia tidak katakan: dia membenci ibunya sendiri.
Tapi selesai makan, suaminya menyodorkan ponselnya. Diperlihatkannya kolom chat ke nomor ibunya. Sebuah foto, yang memperlihatkan dirinya tengah menyantap makanan Gus, diambil dari arah belakang, telah berhasil terkirim. Pesan itu telah terbaca. Dan segera muncul notifikasi pesan berikutnya. Balasan dari ibunya.
Dia letakkan begitu saja ponsel itu. Hari ini, masih hari ketujuh belas. Empat hari sebelum tiga minggu penuh, sebelum tubuh Gus, hampir saja memakan tubuhnya sendiri.
Dia belum ingin membaca pesan-pesan itu. Meski dia tahu, sebuah hubungan harus selalu diperbaiki.
Banyuning, 2020
***
Komang Adnyana
Lahir di Klungkung, Bali, 15 Februari 1985. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Buku kumpulan cerpennya, Luka Batu, diterbikan Mahima Institute (2020). Pernah meraih hadiah Sastera Rancage 2012. Salah satu cerpennya terpilih menjadi cerpen pilihan Kompas 2012.