Ada Jenggala Mengakar di Purnama
Sepanjang perjalanan kutoleh sekali dua ke belakang. Takut ada tombak atau anak panah yang melayang seperti perang suku yang terjadi dua bulan lalu.
”Kalau kalian tetap berkeras merampas tanah mama, kasih habis dulu kami semua!”
Sebaris kalimat itu nyala sempurna, membara di mata masyarakat kukuh suku. Kau dan kelompokmu yang teguh mempertahankan tanah ulayat demi masa depan anak-cucu. Kalian sadar betul bagaimana hamparan alam yang kalian sebut tanah mama, telah menjadi surga yang menyediakan semuanya. Ada banyak sekali binatang yang bisa kalian buru, ada ikan-ikan di sungai yang banyaknya beribu, juga ada pokok-pokok sagu. Kalian bergantung pada alam, maka terang betul bagiku mengapa kalian marah ketika merasa tanah mama sedang terancam.
”Kau sudah tahu, tapi mengapa masih berdiri di situ? Pulang sudah!” Kau memakiku. Matamu masih merah, sementara tanganmu menggenggam tombak bekas berburu–yang masih menyisakan darah.
Langkahku ingsut surut. Kubawa pulang semua tawaran, ke dalam amplop coklat kembali kusimpan. Rupanya bujuk rayu bukan sesuatu yang mau kau santap lezat seperti sagu. Kuat genggam adatmu dan kelompok sukumu sungguh membuatku malu. Nyaliku bahkan tak bersisa seujung kuku.
Tadi sebelum pergi, sempat sebuah kalimat kusisipkan, ”Aku ada di kampung seberang jika kalian berubah pikiran.” Tapi, kalian membalas hening, bergeming. Malah aku mendadak kepengin kencing saat kudengar sesuatu berdencing.
Kuturuni gunung sendirian dengan degup jantung yang rasanya tinggal sisa-sisa.
Sepanjang perjalanan kutoleh sekali dua ke belakang. Takut ada tombak atau anak panah yang melayang seperti perang suku yang terjadi dua bulan lalu. Seperti yakin malaikat maut menunggu di kaki gunung itu, kuhitung napasku satu-satu. Entah untuk apa, aku melakukannya saja.
Terus-menerus begitu, aku merasa diburu hantu atau sosok lain yang mungkin lebih ngeri dari itu. Sampai akhirnya aku tiba di tempat yang kami sebut markas. Tempat orang-orang berjas dan pemilik dolar-dolar dalam brankas. Aku sudah ditunggu.
”Apa?” tanyaku seolah tanpa dosa.
”Apa menurutmu kau bisa menyembunyikan wajah takutmu?” kata salah seorang dari mereka.
Aku bungkam. Rasanya kalau aku bicara sama saja menyerahkan diri untuk dicengkeram.
”Pikirmu untuk apa kau diajari tulis baca? Untuk apa kau ditunjukajari tentang suku dan segala perkaranya? Untuk apa kau dibayar dan mengaku-ngaku sebagai salah satu anggota suku yang sepakat dengan penjualan tanah adat?”
Kutatap lekat-lekat wajah putih itu. Ingin kupancung kepalanya atau kutarik dasi yang melingkar di lehernya. Kutarik sepanjang desa. Aku geram! Aku marah! Aku tidak terlahir sebagai budak sahaya! Jika bukan demi orang tuaku yang kini sakit dan sedang bertaruh nyawa, tak kuiyakan tawaran mereka. Tak akan kuiyakan untuk jadi umpan di tengah Papua.
”Aku sudah berusaha semampuku. Bukankah sepuluh suku sudah setuju menjual tanah ulayatnya padamu?” kataku.
”Jangan dibangga-banggakan lagi yang sudah lewat bertahun-tahun lalu. Sekarang kami butuh tanah di gunung itu. Luas tanah tiga puluh tujuh ribu hektar belum cukup untuk luas lahan sawit yang dibutuhkan. Tanah di gunung itu sebagai tambahan. Kalau tidak, perusahaan tidak akan jalan!”
”Tidak akan jalan? Mengapa tak kalian olah saja lahan yang sudah ada? Bertahun-tahun lalu hutan itu kan sudah kalian hanguskan. Lalu begitu saja kalian telantarkan. Sekarang kurang lahan kalian jadikan alasan!”
Bammm!!!
Laki-laki berjas memukul meja, kulitnya yang putih jadi memerah seketika. ”Dengar!” katanya, ”Kau tentu belum sediakan peti untuk Mama dan Bapa.” Berbisik ia melanjutkan kata-kata.
Ingin sekali rasanya kutombak dadanya seperti yang kulakukan saat berburu kijang atau rusa atau kutancapkan panah di sana sehingga pecah jantung yang bergantung di sana. Harusnya aku seberani itu–sepertimu, saudaraku. Aku bukan pengecut. Darahku Papua yang tak kenal takut.
Namun, kali ini aku harus memikirkan Mama dan Bapa. Aku tak ingin perawatan isolasi virus terhenti begitu saja. Iya, kata mereka Mama dan Bapa terserang virus bernama korona. Percaya tak percaya, yang jelas aku akan melakukan apa saja untuk Mama dan Bapa. Sebab, mereka berjanji akan tanggung semua biaya.
Aku masih ingat. Terang dan jelas dengan sangat. Sepuluh tahun lalu dalam waktu yang sudah hilang, aku pemburu muda yang baru saja berhasil menombak kijang, menemukan sekelompok orang di tengah hutan. Asing.
Bicaranya tak jelas, bahasa daerahku bukan, bahasa nasionalku juga bukan. Asing, benar-benar asing. Di tengah-tengah mereka kutemukan kulit legam serupa kulitku yang hitam, rambut keritingnya serupa milikku pula. Itu ciri kebanggaan kita–Papua.
”Kau bikin apa?” tanyaku tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka.
Seperti perasaanmu beserta kelompok suku, perasaan yang muncul oleh masyarakat Moni di atas gunung sana, aku merasa mereka sedang membuat terancam tanah mama. Kulihat mereka dengan tatapan siaga dan berjaga. ”Kau jawab saya! Kau bikin apa?” tanyaku sekali lagi.
Seorang yang paham lalu mendekat dan bicara, ”Kau pulang sudah. Bawa itu kijang ke rumah. Malam nanti kau kutemui,” katanya.
”Kau orang dari kampung mana?”
”Kampung seberang, Saudara.”
Itu pangkal pertemuan yang membuat hidupku kini jadi seperti dipertuan. Orang kampung seberang itu benar datang dan bercerita apa yang mereka lakukan di hutan tadi siang. Lalu ia lanjut berkata bahwa aku harus belajar tulis baca. ”Hidup tak bisa hanya dengan berburu saja. Benar kan, Mama, Bapa?” katanya meminta dukungan orangtuaku.
Setelah menerima tawaran–yang kupikir diberikan secara cuma-cuma itu–aku tak sadar telah kecolongan kemerdekaan. Aku diajari tulis baca agar bisa menjadi kaki tangan pemilik modal, menjadi otak yang turut serta menyetujui pengabaian amdal, menjadi mulut yang membujukmu dan masyarakat hingga terhadap adat mereka bebal.
Malam ini hal itu masih menjadi beban pikiran. Mataku nyalang menatap terang bulan. Di puncak gunung kampung suku Moni anjing hutan bernyanyi. Nyaring terdengar di telinga, seolah ia sedang mendongengkan cerita dari moyangmu–moyang kita–tentang jenggala yang pada suatu masa kelak akan mengakar di purnama. Sebab, di tanah Papua tak ada lagi tanah mama. Yang ada hanya tambang dan pabrik-pabrik para penguasa, menggantikan suburnya sagu yang tumbuh di sana, melenyapkan hutan dengan segala isinya, membunuh masyarakat dan menihilkan adat. Cerita itu menampar wajahku dan menghasilkan panas di situ. Air mata mengalir mencoba meredakan sakit yang entah kapan akan berakhir.*
Batam, 19 November 2020
Bertahanlah, Papua!
***
Maya Sandita, penulis yang berdomisili di Batam, Kepulauan Riau. Cerpen terbarunya ”Cokelat Pasir Pantai Bibir Ibu”, Media Indonesia (2020). Menjuarai berbagai lomba sastra berbahasa daerah Minangkabau. Salah satunya peringkat pertama dalam Lomba Menulis Sastra Minangkabau Tema Kaba tingkat nasional yang diadakan oleh Disbud Sumatera Barat, dengan judul naskah Sambang Sambilan (2020) Maya bisa dihubungi via Instagram @sanditaisme, Facebook Maya Sandita dan email sanditacorp@gmail.com.