Di Ruang Tamu, Hanya Aku dan Van Houtten
Kamu membuang muka. Sudah kuduga, siapa yang sudi menerima kefanaan itu, Fo. Apalagi pemuja kecantikan yang sebentar lagi menyeberang ke dunia politik sepertimu!
Meskipun pernah sangat menyayangimu sebelum merelakanmu membina rumah tangga dengan supermodel asing yang sedang naik daun waktu itu, aku bukanlah gadis susah ”move on”.
Tetapi, teleponmu dari ruang tunggu Charles de Gaulle dua hari lalu—setelah sepuluh tahun tanpa kabar—membuatku mempertimbangkan sesuatu. ”Sudah dengar kabar aku akan dipinang petahana untuk maju tahun depan, ’kan?”
Ternyata kau belum berubah. Paling tidak, itu yang kutangkap dari rentetan kalimatmu di telepon setelahnya. ”Kamu ternyata masih cantik, Bu Guru. Aku menemukan akun Facebook-mu kemarin.”
Oh, sudah lima tahun ini aku meninggalkan media sosial, meski aku selalu lupa menghapus akun Facebook. Jadi, foto itu sungguh tidak bisa dipercaya lagi, Fo.
”Aku dan Daphne sudah lama berpisah. Kami tidak cocok. Aku tidak ingin menyalahkan siapa pun. Lagi pula, usahaku di sini tidak terlalu menggembirakan. Nilai ekspor barang-barang Asia ke Prancis sedang anjlok. Oya, kemarin aku teleponan sama Evvie. Katanya kamu, hmm maaf, masih single?”
Aku tahu, ke mana arah percakapanmu. Kau mengira aku terlalu sulit melupakanmu, ’kan? Dan ... sekarang, dengan kabar bahwa kau sudah jadi duda kaya kau pikir sangat mungkin aku menerimamu?
”Aku akan ke Lubuklinggau begitu urusanku di Jakarta selesai. Kalau Pak Menteri tidak me-reschedule meeting dan Etihad landing sesuai jadwal, lusa aku bisa langsung terbang ke Lubuklinggau.”
Aku tidak—tertarik untuk—tahu siapa menteri yang dimaksud. Aku hafal lingkungan pergaulan pengusaha dengan bisnis lintas-negara ketika kita dekat dulu. Aku bisa saja bilang kalau aku punya banyak peran ketika kau merintis segalanya dulu, tapi aku menolak kelihatan norak.
”Gimana kabar Ibu? Sudah suka minum cokelat?”
Ibu sudah bahagia sekarang, Fo. Ia pergi tiga tahun lalu. Tanpa sakit, tanpa perlu ambulans, tanpa aba-aba .... Mungkin karena ia terlalu baik, Tuhan tak perlu memberinya penderitaan sebelum penjemputan. Tapi ... sehari sebelum menutup mata selamanya ia memintaku membuatkan cokelat hangat untuknya. Ia minta Van Houtten. Firasatku sudah enggak enak. Aku mengaduk-aduk minuman itu dengan perasaan sebak; mau nangis tapi enggak bisa.
”Bagaimana keadaanmu?”
Aku baik-baik saja, meski tiga tahun ini dokter bilang aku tidak baik-baik saja. Kalau militer mengajarkan ketangguhan dengan latihan berlari dan angkat beban, aku melakukannya dengan menjalankan kemoterapi tiap dua puluh satu hari. Aku pikir kanker payudara itu sudah ganas, tapi ternyata aku dituntut lebih tangguh sehingga tulang belakangku juga jadi sasaran kanker.
”Kamu masih suka makan bakso, ’kan?”
Kau mencoba tertawa, tapi suasana tidak mencair sedikit pun.
”Apakah kau sudah menebang pohon nangka belanda di pekarangan sampingmu yang luas itu? Kan kau sering menggerutu tetangga yang kerap memetik buahnya tapi tak mau membersihkan daun-daun yang berserakan. Harusnya kamu makan juga nangka belanda, bukannya malah mual setiap kali melihat anak-anak tetangga melahapnya!” kau tertawa lagi—tapi, aku tidak.
Aku tidak tertawa.
Aku tidak bisa lagi makan bakso, Fo. Tanpa MSG, pentol dan kuah bakso tidak akan enak. Aku malah sangat bersyukur nangka belanda itu tidak jadi kutebang. Meski sekarang buahnya tak selebat dulu, tak ada yang berani meminta lagi. Pasti orangtua mereka bilang kalau aku lebih membutuhkan buah itu agar aku bisa bertahan dari efek kemo. Aku sering tertawa sendiri, nangka belanda kami yang kukira asam, ternyata tidak. Benar kata almarhum orangtuaku, buah itu manis sekali.
”Perangaimu belum berubah rupanya.”
Ah, pasti kau mengira sikapku kali ini adalah sama dengan apa yang sering kutunjukkan ketika kita pacaran 15 tahun dulu: bahwa diamku adalah setuju. Ah, Fo. Aku sekarang sudah 37. Kalaupun sama, tidak akan persis.
”Kamu masih minum Van Houtten?”
Aku mandi rempah pagi ini. Menyambut kekasih d(ar)i masa lalu dengan sedikit ritual, aku rasa tidak ada salahnya. Pertunjukan penuh kemungkinan ini harus kurayakan sedini mungkin.
Aku membuka-buka majalah yang kerap kaukirimkan dulu, terutama di awal-awal pernikahanmu dengan Daphne. Meskipun format digital majalah itu bisa kutemukan dengan mudah di internet, tapi kamu tetap mengirimnya. Aku tertawa sendiri membaca sejumlah berita tentang kalian berdua, termasuk berita yang memuat pertanyaan wartawan yang menurutku sangat cerdas:
”Daphne, apakah benar Anda melakukan 13 kali operasi plastik? Suami Anda menyetujuinya?”
Dan Daphne membuatmu matikutu di depan para wartawan dengan menjawab, ”Dia bahkan menyuruhku melakukan 9 kali operasi plastik lagi untuk mendapatkan bentuk pipi dan pinggul sesuai fantasi seksnya!”
Aku membaca pesan-pesan yang kaukirimkan lewat WhatsApp. Kau seperti tak keberatan kalau aku hanya membaca tanpa membalas satu pun penjelasanmu yang, ah, susah sekali kupercayai.
Kau mengatakan—seperti baru sadar—kalau kecantikan tubuh adalah fana. Hei, kalimat apa itu! Di pesan yang lain kau mengatakan belum pernah menemukan wanita dengan paras secantik sekaligus seayu diriku. Ingin sekali aku mengatakan kalau aku tak cantik lagi. ”Aku tahu waktu berjalan dan usia bisa mengubah semuanya, tapi aku ingin kita kembali.”
Oh, jangan katakan itu, Fo. Aku takut kamu akan menyesal. Aku takut kamu mencabut semua kata-katamu nanti, padahal ia sudah menghancurkan semuanya. Aku takut, Fo.
”Oh ya, Wicak bilang kamu kena kanker.”
Oh, jadi kau sudah tahu?
”Aku tahu itu akan mengubah banyak hal dalam hidupmu, meski kata Wicak kamu malah tambah cantik dengan berjilbab.”
Kamu percaya, Fo? Bukankah Wicak itu sainganmu untuk mendapatkanku dulu? Wicak pernah menjengukku ketika aku merasakan kepanasan di sekujur tubuh yang hangus dan pecah-pecah setelah kemoterapi. Aku khawatir, Wicak hanya ingin melihatmu kecewa. Perseteruan kalian belum menemukan kata selesai, bukan?
”Kamu sudah dengar bukan kalau aku akan mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Musirawas tahun depan. Kamu lahir di Binjai, ’kan? Kamu berdarah Musirawas, artinya. Kamu tidak keberatan mendampingiku ke mana-mana, ’kan? Jangan khawatir, kalah atau menang dalam Pilkada, aku ingin menghabiskan waktu di sana. Kita akan menikah.”
Tentu saja aku tidak percaya. Sejujurnya, ingin sekali aku mencegahmu datang, tapi ...
.... Pintu sudah diketuk.
Aku mengintip dari gorden jendela yang tembus pandang. Kau membawa buket bunga mawar. Oh, Fo, kita sudah sama-sama dewasa. Bunga tidak mencairkan apa pun, termasuk perasaan-perasaan yang sudah membatu dalam diriku.
Terdengar suara daun pintu dikuak. Ah, kau masih hafal.
”Mau minum apa?” teriakku dari belakang. ”Aku masih punya stok Van Houtten.”
”Terima kasih. Kamu baru saja menjawab pertanyaan terakhirku di telepon.”
Tentu saja aku masih minum Van Houtten, Fo. Aku sekarang membuatkanmu cokelat panas dari merek legendaris yang kau rekomendasikan itu, setelah sebelumnya aku minum Cadburry, Windmill, atau sesekali Milo dan satu pun tak ada yang memuaskanku. Warnanya tidak secantik Cadburry atau cokelat-cokelat hangat di kafe yang biasanya sudah ditambah susu UHT atau krim, tapi ... bagiku cokelat itu yang nomor satu adalah rasa. Sejak itu, kesamaan minuman favorit itu mendekatkan kita. Saban hang out atau ngobrol di rumah, kita sering menyeruput cokelat dengan cangkir atau mug melamin, bukan gelas tembus pandang yang memperlihatkan warna Van Houtten yang terlalu gelap. Ya, kita pernah jujur, di balik mug melaminnya kita membayangkan warna latte yang golden-brown ketika menyeruput Van Houtten.
Kau seperti melihat pintu neraka sedang dibuka ketika aku muncul dengan secangkir cokelat panas di tangan. Ketika aku sedikit membungkuk meletakkan minuman itu di atas meja, dapat kurasakan pandanganmu memaku wajahku. Ketakpercayaan menguar dari wajahmu. Tidak, aku mengatakan itu bukan karena ketidakpercayadirian tiba-tiba menyerangku.
”Fo,” kataku setelah duduk. Mulutmu masih menganga, ”Aku ingin sekali mendengar kau mengatakannya sekali lagi bahwa aku masih cantik, bahwa kita akan saling menerima satu sama lain.”
Kamu meneguk liur. Keningmu berkeringat.
”Sepuluh hari yang lalu aku baru kemo di Palembang. Sepuluh hari pasca-kemo adalah neraka bagi kami. Aku tak punya cukup uang untuk membeli minyak zaitun atau kemasan liur lebah atau obat cina yang langka itu agar aku tidak menjadi zombie. Tunjangan sertifikasi guru jadi debu di hadapan penderita kanker, meskipun kemo ditanggung BPJS.”
Wajahmu mulai benyai.
”Tenang, aku tidak minta uangmu, Fo.”
”Di hari kesepuluh yang malang ini aku biasanya menutup rumah untuk siapa pun, tapi ... buatmu aku mencoba membuat pengecualian.” Aku mencoba tersenyum, meski dalam hati aku bertanya: apakah kau bisa menangkap senyum di wajahku yang bebercak hitam dan kulit bibir yang mengelupas? Ah, tanggung. Aku melipat lengan baju hingga siku. Aku ingin sekali kamu melihat kulit tanganku yang hangus dan kembung-kembung seperti korban suntikan infus air keras yang salah urat.
Kamu membuang muka. Sudah kuduga, siapa yang sudi menerima kefanaan itu, Fo. Apalagi pemuja kecantikan yang sebentar lagi menyeberang ke dunia politik sepertimu!
”Jangan membalas dendam, Fo,” kataku lembut. ”Aku tidak merespons kata-katamu di telepon dua hari lalu karena kerongkonganku rasanya terbakar setelah menenggak sisa obat cina untuk membuat lidahku bisa mencecap. Nah sekarang, bicaralah, Fo.”
Kau hanya memandang cokelat hangat di atas meja. ”Kau masih menyukai Van Houtten, ’kan, Fo? Atau tidak lagi? Kenapa kau mematung begini? Atau minumlah dulu. Siapa tahu setelahnya kita bisa berbincang. Kanker payudara dan tulang belakang bukan penyakit menular kok,” kini aku menarik jilbab karetku yang lebar hingga terlepas dari kepala.
Kamu menghela napas berkali-kali, seakan-akan hal itu bisa membebaskanmu dari mimpi buruk.
”Kau baru tahu kalau aku botak, ’kan?” Aku ingin menangis sebenarnya, tapi yang keluar malah tawa. ”Pikirkanlah lagi. Bicaralah dengan tim politikmu. Apakah menikahi wanita buruk rupa pengidap kanker stadium akhir bisa meningkatkan elektabilitasmu atau sebaliknya? Bagaimana?”
Aku tertawa lagi.
Kau bangkit. Kauabaikan Van Houtten panas di atas meja. Di luar, kau tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku malah menutup pintu sekeras-kerasnya. Di balik pintu, ketika tanganku meraba dadaku yang rata, mati-matian aku mencegah air mata melinangi wajah.***
Alfatihah buat Yuk Yeyen
______________________
Benny Arnas lahir dan berdikari d(ar)i Ulaksurung. Dua novelnya yang akan terbit: Bulan Madu Matahari dan Ethile! Ethile!. Saat ini ia mengampu kelas menulis terbuka di kanal Youtube-nya.
Bambang Herras, perupa yang pernah menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta. Bersama perupa Samuel Indratma dan Yuswantoro Adi membentuk Trio Kirik, yang sering kali menjadi host dalam perhelatan kebudayaan di Yogyakarta.