Ominara
Ada penyesalan dalam dada Ominara menyikapi berita ini, mengapa ia selama ini menolak lamaran Zaitun yang sudah berulang kali. Kini, ia membayangkan laki-laki itu akan pergi untuk selama-lamanya.
Seandainya Bahrum masih hidup, ia pasti menjadi salah seorang yang paling tertekan atas musibah wabah pandemi korona yang terjadi saat ini. Ia meninggal setahun yang lalu, ditabrak anak muda pengendara sepeda motor yang mabuk.
Di mata warga, Bahrum bernasib sangat malang. Dalam usia belum mencapai tujuh belas tahun, ayahnya meninggal dunia ketika melaut. Bahrum yang waktu itu ikut melaut diselamatkan dari badai oleh lumba-lumba. Padahal baru kali itulah Bahrum ikut melaut. Maksud hati ayah-ibunya agar Bahrum tak canggung bekerja apa saja. Karena saat itu, ia sudah bertunangan dengan Ominara. Gadis beribukan China mualaf. Tercantik di desa Toluk Mangandar.
Selepas dari maut, Bahrum trauma berat. Ia memutuskan hubungan dengan Ominara. Alasannya takut kalau-kalau nanti Ominara menjadi janda, karena nasibnya akan sama dengan ayahnya. Padahal sesudah pernyataannya itu disampaikan pada Ominara, Bahrum tak pernah lagi melaut. Beraninya hanya menjala dan bersampan kecil ke tepi-tepi pulau yang ada disekitar pantai.
Ibunya membujuk Bahrum. Ia tak perlu harus melaut mencari nafkah. Di darat juga banyak pekerjaan. Bujukan ibunya berhasil. Bahrum menikah dengan Ominara. Pas pernikahan mereka setahun, lahirlah putri mereka Jelita. Soal nafkah sehari-hari yang selalu dicemaskan Bahrum, diatasi ibunya. Ibu yang sudah memutih rambutnya ini menjadi tulang punggung keluarga. Setiap pagi ke pasar berjualan sayuran dan umbian hasil ladangnya.
Beberapa tahun kemudian kemalangan Bahrum berlanjut dengan kematian ibunya. Tak selesai di situ, trauma menimpanya lagi pasca terjadi gempa dan tsunami besar di daerahnya. Bahrum terguncang berat, hingga tak berani tidur di dalam rumah. Ia mengeluarkan perkakas masak ke teras rumah, dan tidur di luar rumah. Lebih sering pula ia tidur di teras mushala bersama para tukang yang kebetulan sedang mengerjakan renovasi mushala. Ominara terpaksa membawa Jelita pindah ke keluarganya. Khawatir suaminya bertingkah tak wajar terhadap Jelita. Letih Ominara meyakinkan bahwa gempa dan tsunami tak datang lagi, tapi tetap Bahrum pada sikapnya.
Dua tahun menjanda di desanya, Ominara membawa Jelita pindah ke kota. Mencoba mengadu nasib dengan membuka warung makanan dan minuman. Jelita bertambah usianya, dan sudah masuk sekolah dasar.
***
Seperti biasa seharian warga Toluk Mangandar bercanda, tertawa dan menangis bersama jika kemalangan menimpa. Mereka mematuhi dengan taat aturan yang dikeluarkan pemerintah menghadapi pandemi virus korona. Anak-anak tidak bersekolah, mushala dan mesjid tidak terlalu diaktifkan, menjaga jarak, tidak bersalaman kalau berjumpa, memakai masker kalau berpergian. Soal anjuran pemerintah bekerja dari rumah, mereka tertawakan, “Bagaimana ayah si Taing melaut dari rumah?!” ujar mereka. Gelak pun berhamburan.
Sore itu, Zoimah, para ibu, dan beberapa remaja sedang mengopek kerang di pengopekan. Mereka membentuk lingkaran sekitar enam orang. Ada juga yang tujuh atau delapan orang selingkaran. Sebagian ada yang mengopek di depan rumah sendiri.
“Mengapa kau Omi? Uwak tengok tak bertambah-tambah kopekan kau? Ha, ada apa? Sakit kau?” tanya Zoimah pada Ominara yang duduk di sebelahnya. Di samping Omi, anaknya Jelita ikut juga mengopek dengan jari-jari kecilnya. Sesekali menyibak poninya yang sudah panjang hampir menutup matanya.
Ominara menggeleng, “Tak ada apa-apa, Wak. Sehatnya aku.”
“Jadi kenapa kutengok kau tak fokus? Ah, cocoknya fokus kukatakan. Maksudku kau tak motan... ha? Eh, Jelita kenapa Omakmu...ha?” Dagu Zoimah mendongak ke Jelita.
“Mak malam-malam sering nangis, Nek.” Jelita menjawab polos.
“Menangis!?”
“Iya, nek.”
Zoimah menatap ke wajah Ominara. Pucat memang dan matanya cekung. “Makanya, cepat kau kawin. Punya suami. Tak payah kali kau mencari makan. Lagi pula, kau masih terlalu muda untuk bertahan menjanda.”
Ominara tersipu. Monika boru Aritonang yang duduk di sebelah Zoimah mendengar ucapan Zoimah senyum-senyum. Memainkan mata pada pengopek lain. Mulutnya juga di gual-gualkan. Dimoncong-moncongkannya.
“Kenak dia. Bakal dapat petuah!” Komentar Laila menyambut bola dari Monika yang duduk berseberang. Dibatasi seonggok kerang yang masih beruap. Baru direbus.
“Wak Soi,...eh, maaaaaf,” teriak Laila. “Keceplosan aku!”
“Apa kau bilang,...” langsung Zoimah bereaksi mendengar latah yang dibuat-buat Laila. “Kupungkang nanti kau dengan selopku!” Gertak Zoimah seperti biasa. Ia paling pantang kalau namanya diawali dengan huruf S. Sebabnya ia sangat jijik melihat penampilan pembawa acara dangdut Soimah di televisi.
“Hiiiiihhh!!! Jijiknya aku mendengar jeritnya itu. Jerit memanggil bala. Jerit orang kena polong. Jerit sial. Pengundang bencana!” Inilah sikap Zoimah mengapa ia sangat marah kalau namanya dipelesetkan menjadi Soimah. Terakhir ia menambah pula jijiknya kepada penampilan Soimah, menyebut jeritan kuntilanak Soimah itulah yang mendatangkan korona.
“Maaf. Wak Zoimah. Maaf, ambe seribu maaf. Selet lidahku,” ucap Laila sambil membetulkan duduknya. Sebentar tadi ia memang berdiri khawatir selop Zoimah terlalukan.
Memang sudah beberapa hari Ominara mendapat kabar buruk lewat SMS Fatih Chairuddin, sahabat Zaitun. Zaitun sedang dirawat intens di rumah sakit, karena terpapar virus korona.
Ada penyesalan dalam dada Ominara menyikapi berita ini, mengapa ia selama ini menolak lamaran Zaitun yang sudah berulang kali. Kini, ia membayangkan laki-laki itu akan pergi untuk selama-lamanya. Selalu air mata tak bisa ditahan mengalir sejati membasahi pipinya yang masih ranum.
Sebelumnya, Zaitunlah yang menyuruh Ominara dan Jelita pulang ke kampungnya, desa Toluk Mangandar tentunya. “Dua-tiga hari ini, warungmu tidak akan didatangi pembeli lagi Omi. Pemerintah melarang warung makan-minum beroperasi lagi. Pulanglah ke kampungmu. Di sana kau bisa dekat dengan keluargamu. Di kota ini tak apa yang bisa dilakukan untuk memperoleh penghasilan. Kota akan di lockdown dalam beberapa hari lagi.” Nasihat Zaitun.
Mulanya Ominara ragu. Tapi Zaitun terus meyakinkan. Zaitun menjual sepeda motornya untuk keperluan Ominara dan Jelita. Sebuah minibus disewa untuk keberangkatan keduanya, lengkap dengan memberangkatkan alat dapur hingga tilam yang sudah lusuh.
Kini waktu sudah berlalu hampir lima bulan. Berita yang diterima Ominara sangat menyayat hatinya. Ia selalu teringat kebaikan Zaitun padanya. Zaitun laki-laki santun yang banyak memberi bantuan moril dan moral kepadanya. Terlebih setahun terakhir sebelum wabah korona menggila. Zaitun aktif memperhatikan keadaan Ominara. Secara terbuka pula ia menyatakan berhasrat untuk menyunting Ominara.
Mulanya Ominara ragu. Tapi Zaitun terus meyakinkan. Zaitun menjual sepeda motornya untuk keperluan Ominara dan Jelita. Sebuah minibus disewa untuk keberangkatan keduanya, lengkap dengan memberangkatkan alat dapur hingga tilam yang sudah lusuh.
Zaitun sendiri sudah lama meninggalkan profesinya sebagai penyanyi dan serius menekuni usaha percetakan. Kesukaannya menyanyi memang tak tinggal. Ada saja grup band yang mengontaknya. Dalam hal tampil sebagai penyanyi inilah, Ominara takut akan merasa tertekan dengan banyaknya perempuan penggemar Zaitun. Ominara cemburu. Trauma bersuami Bahrum masih melekat pula di hatinya.
Merasa badan dan pikirannya sehat, kembali Ominara turun mengopek. Tiga hari ia hanya berdiam diri di rumah. Sore itu Zoimah membisikkan akan membantunya dengan minyak goreng, gula, telur dan mie instan. Sekelebat Kepling Amar mampir di pengopekan. Ibu-ibu pun segera bereaksi, “Manala bantuan sembako tu lagi, Mar? Bukankah pemerintah masih menetapkan negara darurat korona!”
“Belum ada lagi kabar dari walikota, atau dari gubernur, Cik, Ociiiik. Kalau ada kan kukabari. Tapi bantuan six hundred million dollar tu sudah tak turun lagi la kurasa.” Amar menyebut bantuan uang tunai Rp 600 ribu dengan sebutan jumlah fantastik dalam bahasa asing.
“Ha...Omi, apa kabarmu?” tegur Amar pada Ominara.
Ominara tak peduli. Hatinya yang sedang berbalut duka tak siap sapaan laki-laki, siapapun itu. Padahal Amar temannya sejak di Sekolah Dasar.
“Sombong dia Wak Soi, eh, maaf, wak Zoi...” gurau Amar.
“Tutup mulut kau, Mar. Hambus kau cepat dari sini. Nanti siar pula bini kau si Loyah!”
Usaha akhir Ominara, setelah merasakan berbagai tekanan perasaan dan dari kepalanya terasa juga ruhnya seperti dicabut malaikat Izrail bila mengingat keadaan Zaitun, setiap malam ia bersujud memohon Allah Yang Maha Kuasa membebaskan Zaitun dari penyakit yang mematikan ini. Pesan Fatih Chairuddin demikian adanya. “Lahaulla-walakuwwatailla-billah. Tak ada kekuatan lain kecuali dari Allah.” Sebabnya Zaitun sudah berada di level ujung tanduk untuk kesembuhan. Setiap hari pasien korona terus berguguran di rumah sakit yang sama.
Sudah hampir seminggu Ominara tak mengopek kerang. Zoimah sudah dua kali menjenguknya. Pada kali ketiga ia berhasil tahu semua apa yang sedang menimpa Ominara. “Baiklah sudah usaha kau itu Omi. Nazarkan pula kau akan mengerjakan sesuatu kebaikan bila Zaitun sembuh. Puasa atau yang lainnya. Kau sudah setiap malam bertahajjud. Sesiangan tak lepas wudhu untuk membaca Alquran. Kok dapat, jangan kau angkat sujudmu hingga air matamu mengucur. Menghamba di haribaan Allah subhanahuwatala. Mohooon Zaitun disebuhkan!”
***
Ibarat mendung yang menjadi isyarat turun hujan, selang beberapa hari, kabar baik mengandung harapan datang kembali dari Fatih Chairuddin. Dokter heran dan haru pada keadaan Zaitun. Minggu terakhir ia sudah koma, tapi subuh tadi, begitu azan bergema, semua alat kontrol di ruangan memberi sinyal positif keadaan Zaitun. Mata Zaitun terbuka. Jarinya bergerak-gerak. Dokter mencoba memberi sesuatu, ia memegangnya. Psikolog yang ada mengusulkan memberikan pena dan kertas ke tangan Zaitun. Mengarahkannya untuk menulis. Ahli jiwa itu yakin ada yang ingin disampaikan Zaitun yang mempunyai identitas pasien P50001 ini.
Baca juga : Kuburan Kopi
Beberapa saat, sinyal alat kontrol terus ke angka positif yang menggembirakan. Bagian otak memori Zaitun sudah berfungsi. Alat pompa jantung sudah ke level 30 persen. Ia menulis huruf-huruf centang perenang. Tapi masih bisa dibaca. Disambung huruf-huruf tersebut, terbacalah nama-nama: Ominara, Jelita, Fatih Chairuddin dan nama-nama dokter yang merawatnya. Semua yang ada mengucap tahmid dan takbir, “Subhanallah.... Allahuakbar.”
“Pasien P50001 membuka mata dan menggerakkan tangannya. Ia kini mampu menulis. Sebelumnya Pasien P50001 ini padahal sudah berada di level paling sulit untuk kemungkinan sembuh.” Demikian berita semua media hari itu.
Lebih sebulan menjalani isolasi, masa-masa kritis sudah dilewati Zaitun. Di sebuah rumah sederhana di daerah pegunungan, hadir Ominara, Jelita, dan Fatih Chairuddin mengunjungi Zaitun. Semua wajah mereka cerah. Mata mereka cemerlang mengisyaratkan kebahagiaan tiada tara. Sujud-sujud Ominara di malam hari dikabulkan Allah yang Mujib.
***
Nevatuhella, lahir di Medan, 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Buku ceritanya yang telah terbit Perjuangan Menuju Langit (2016) dan Bersampan ke Hulu (2018), serta satu buku puisi Bila Khamsin Berhembus (2019). Tahun ini akan menerbitkan buku biografi penyair Damiri Mahmud Teriakan dalam Senyap.