Silentium
Reykjavic menyambut kami dalam dingin namun hangat ketika bersama-sama dengan orang yang kita cinta. Kami pindah ke sana karena kemuakan yang besar pada Jakarta dan bukan karena unsur mania pada ibu kota negeri es ini.
*1*
Namaku Bre Thaeliky, panggil saja Bre. Aku seorang istri yang suka sekali memandangi suamiku, dulu dan hingga kini. Siang ini, aku masih melihatnya sama dan aku melihatnya masih sama. Pemikiran yang tak berkurang namun tak begitu tampak karena miskinnya kata. Fisik tak bercela, gerak tak terbelenggu, namun keengganan membuatnya meragu. Satu yang jelas membedakannya dengan dia yang dulu adalah dia sekarang menjadi lupa termasuk lupa untuk cukup bicara. Entah dia memilih lupa atau dia terpilih menjadi lupa. Laki-lakiku baru tiga hari ini pulang ke rumah, memilih sehari-hari mendekat dengan jendela yang dibiarkannya setengah terbuka. Tangannya menggantung di bingkai bawah jendela, mengundang udara-udara untuk berjalan maupun berlari mendekati dirinya hingga menjelma angin. Angin yang sepoi, memabukkan, dingin dan kering, membuat dia sedikit menggigil dan lantas tertidur.
Dunia berputar cepat, kadang kita kalah dan tertinggal, namun selama dunia masih ramah, itu tak mengapa. Senandung itu menemani pikiranku saat ini. Suami yang baik yang telah hidup bersama denganku lebih dari sebelas tahun, menghadapinya kini seperti berlakon dengan anak kecil. Dia menjadi anakku yang harus terus diperhatikan, walaupun dia tak mungkin marah juga kalau aku tak memperhatikannya. Aku hanya ingin memperhatikannya, menyayanginya dalam segala cara, termasuk ketika dia tertidur di sana. Aku ambil kursi kayu dari ruang makan, kupindahkan tanpa bersuara ke samping kursinya, dan aku memuaskan diri memandangnya tertidur. Tersenyum aku tak henti sampai dia akhirnya terkaget dalam kebangunan, memberikan senyum yang tak pasti untuk siapa, baru kemudian melembam lagi.
”Aku ingin makan,” demikian ujarnya padaku. ”Iya, Dab,” aku mengiyakan dan mengembalikan kursiku ke tempat semula, tersenyum sambil meninggalkannya yang membalasku dengan senyuman.
*2*
Nama suamiku Beradab Pancaroba, aku memanggilnya Dab saja, tanpa mas, tanpa apa-apa. Dia satu tahun lebih muda dariku sehingga agak aneh apabila aku harus memanggilnya Mas. Namanya yang aneh membuat aku mengernyit ketika pertama kali dia memperkenalkan diri saat bertemu di pelatihan bahasa Inggris. Tak sadar aku tersenyum lagi teringat kejadian lima belas tahun yang lalu. Walau aku bukan orang yang romantis, peristiwa yang telah lama sekali itu menyulap rasanya baru seperti kemarin.
*3*
Dunia ini mengejutkanku. Baru dua tahun kami memberanikan diri datang ke tempat yang benar-benar baru dan begitu berbeda dari Jakarta yang rela kuhuni hingga 38 tahun. Dua tahun yang kami hadapi dengan antusias, bersama dengan Adabku yang trengginas dan selalu nyaring tertawa melihat sesuatu yang menurutnya lucu dan tak ada di Jakarta.
Reykjavic menyambut kami dalam dingin namun hangat ketika bersama-sama dengan orang yang kita cinta. Terus terang kami pindah ke sana lebih karena kemuakan yang besar pada Jakarta dan bukan karena unsur mania pada ibu kota negara es ini. Dan baru satu tahun kami di sana, sepulang Adab dari kampus tempatnya bekerja, dia tiba-tiba menjadi berbeda, miskin kata dan cenderung diam. Aku mengajaknya ke psikolog untuk konseling namun tak membantu. Aku mengajaknya ke psikiater, namun kata mereka obat-obatan tak diperlukan. Aku inapkan Adab untuk opname di rumah sakit untuk istirahat tetap tak ada yang berubah. Dia masih diam dan lambam. Mereka, psikiater dan psikolog di rumah sakit hanya berkata, ”Suamimu hanya tak ingin bicara maka ajaklah dia hingga ingin bicara dan bercerita.” Dan itulah yang sedang kucoba, mencoba mengerti dirinya dan mengharapkan dia bicara. Penuh pengharapan diriku tentang itu, sungguh.
*4*
”Aku muak dengan Jakarta, Bre. Kota metro yang cukup besar tapi terasa kerdil. Orang-orangnya gak mau diatur, pemerintahnya sibuk nostalgia untuk menjadi feodal. Dimana pun di sini gak ada yang indah. Bre, aku capek.”
Itulah rutinitas yang didengar telingaku dari omelan Adab tentang tempat kami tinggal dulu. Omelan yang hampir tiap hari didengar dan akan memuncak ketika kami berada di jalan raya, membelah kesemrawutan menuju kemanapun kami akan pergi. Setelah itu aku pasti kemudian bertanya, ”Terus kalau kita enggak hidup di sini, kita akan pindah ke mana, Dab?”.
”Ke mana, kek. Ke mana saja, asal jangan di sini,” sahutnya.
Dan mulailah aku yang sibuk untuk berkhayal pindah ke luar negeri karena aku pun acap terjangkit virusnya bahwa kota di mana saja di negeri kami sama brengseknya. Khayalan tinggal di luar negeri mulai dari tetangga dekat seperti Singapura yang iklimnya sama namun lebih tertib dan maju hingga ke tempat nun jauh seperti Kanada yang damai dan tidak sehedon Amerika Serikat.
Entah mengapa pilihan kami selalu berkisar di negara-negara skandinavia. Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia. Aku telah berkunjung ke banyak negara sebelumnya karena keperluan tugas kantor, dan imaji Bjork yang mungil dan misterius membawa kami untuk memilih Islandia dan tinggal di kapitalnya.
Proses apply pekerjaan kami lalui dengan suka hati, riang, dan banyak kata untuk akhirnya kami memperoleh tempat di Reykjavic. Sudahlah, itu masa lalu, sudah kami lalui, dan kami sekarang terdampar di sini. Rumah kecil kami di kota tak terlalu besar ditemani danau Tjornin yang tenang dan lelap. Indah seperti mimpi kami. Beginikah mimpi di ujungnya?
*5*
Aku beranjak ke dapur, mencari-cari ide akan makanan apa yang akan aku masak hari ini untuk Adab. Tidak terlalu sulit untuk mencari beras di sini, namun rasanya tetap saja berbeda. Hari ini aku akan kembali mengawinkan beras dengan air di rice cooker hingga mereka matang dan bersuara dalam gemuruh. Melihat Adab tak jadi soal bila kutinggalkan sendirian, aku mengambil jaketku dan membiarkan kakiku membawa diriku ke Laugavegur, tempat di mana banyak toko dan kafe. Hampir dua puluh menit lamanya aku berjalan dari hunian kami di Laufasvegur hingga sampai.
Aku meringis dan tersenyum di dalam hati, ”Kalau dipikir-pikir, aneh juga aku di hari ini.” Keanehan pertamaku adalah bahwa aku mencari inspirasi masak di pusat keramaian dan bukan di toko dekat rumah. Keanehan keduaku adalah bahwa aku seperti orang gila, berjalan di tengah dingin di negeri asing tanpa digandeng suami yang sekarang seperti tak kukenal lagi. Dua keanehanku sebenarnya saling terkait. Adab yang berubah membuatku merasa kesepian dan aku butuh mengalihkan rasa sepi itu dengan memandang sisi-sisi ramai tempat ini. Namun apa yang aku dapatkan bukannya penghiburan namun kesadaran bahwa aku memang kesepian. Bre, Bre, sekarang apa yang kau cari di tempat ini?
Keanehan pertamaku adalah bahwa aku mencari inspirasi masak di pusat keramaian dan bukan di toko dekat rumah. Keanehan keduaku adalah bahwa aku seperti orang gila, berjalan di tengah dingin di negeri asing tanpa digandeng suami yang sekarang seperti tak kukenal lagi.
*6*
Sepanjang sudut di Laugavegur memang ramai dengan manusia. Keramaiannya sedikit mirip dengan deretan ruko di Kelapa Gading. Hanya saja, mobil dan manusia di sana tidak berdesak-desakan menaruh tubuhnya. Mobil-mobil yang sebagian berusia tua hanya parkir paralel dalam satu baris dengan masih menyisakan cukup banyak space kosong.
Orang-orang hampir semuanya menuju ke Laugavegur dengan berjalan kaki, ada yang dari tempat tinggalnya, ada pula terlihat berjalan dari arah stasiun, entah dari mana sebelumnya. Di tempat ini antar-orang asing tidak saling menyapa. Mereka hanya memanjakan mata masing-masing tanpa mencoba berbasa-basi, mungkin bertegur sapa tiada guna bagi mereka.
Entah mengapa dari situ aku merasakan kekakuan ala orang Jerman di diri mereka, walau aku pun belum menghayati batin orang-orang Jerman, entahlah. Pikiran orang yang sedang melarikan dirinya sendiri memang tak mungkin dibantah, karena mereka tak punya landasan yang baik. Seperti pikiranku yang masih ngalor ngidul tanpa tahu arah. Bre bingung, yang dulu bahagia dan sekarang berusaha senyum. Aku tersadar bahwa apa yang aku hindari di Jakarta, kadang-kadang hadir juga di sini namun dengan dandanan wajah yang lain. Aku menjadi rindu, sangat rindu. Bukan dengan Jakarta, tapi dengan Adabku yang dulu.
Aku mengedarkan pandangku dan kemudian kumelihat seorang anak laki-laki sedang setengah jongkok, melompat-lompat seperti kodok. Dia tersenyum-senyum sendiri merasa apa yang dilakukannya begitu luar biasa. Nikmatnya menjadi anak-anak, demikian pikirku.
”Hi krakki, hvernig dagurinn þinn? Gott?” aku menyapa anak itu menanyakan bagaimana harinya apakah berjalan baik. Aku tahu kemungkinan besar dia hanya akan tersenyum dan kemudian lari menjauh dariku karena sikap waspada.
Hari ini sungguh aneh, dia menjawabku dengan bahasa Islandia yang kaku, ”Hæ frú, hundurinn minn var látinn en ég held að hann sé ánægður á himni núna. Ég vil ekki líta dapur út, svo ég stökk eins og froskur til að muna eftir honum.”.
Dengan tanpa canggung dan spontan, dia mengatakan bahwa anjingnya mati hari ini dan anak itu mempercayai bahwa apabila dia melakukan ritual melompat-lompat seperti kodok, maka anjingnya di surga akan ikut bahagia karena mengira tuannya masih tetap gembira.
”Bahagia apa lagi yang ingin diajarkan oleh anak ini, absurd,” demikian batinku mengujar. Tapi ya sudahlah, aku melambaikan tangan mengisyaratkan pada anak itu untuk melanjutkan ritual bahagianya.
*7*
Sementara di rumah dekat danau, lelaki itu bangkit dari duduknya. Matanya berkeliling mencari sesuatu. Dia menemukannya. Komputer jinjing yang cukup lama tak disentuhnya. Benda itu dielusnya, dengan perlahan disekanya debu yang menempel, dinyalakannya dan segera dia masukkan kata sandi berupa ulang tahun Brenya tersayang. Perangkat dengan logo berbentuk buah pengetahuan itu siap beroperasi dengan file-file terakhir yang Adab buka.
Adab membuka browser-nya, dan di history dia melihat pencarian-pencarian dia terkait Jakarta terkini, berita lokalnya, pelayanan umumnya, dan segala tetek bengek tentang Jakarta. Dia beralih ke tulisannya yang belum tertutup, ada rangkaian paragraf yang ditutup dengan kalimat: ”Aku ingin pulang ke Jakarta, tapi bagaimana dengan Bre?”
Baca juga : Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan
*8*
Aku kembali mendengar senandung:
”Dunia berputar cepat/ Kadang kita kalah dan tertinggal/ Namun selama dunia masih ramah/ itu tak mengapa/ itu tak mengapa”
Aku mendengar senandung itu lewat di sampingku dan lantas tanpa menunggu lebih lama lagi kuping telingaku langsung menggiringnya masuk ke dalam ingatan-ingatanku untuk menggaung-gaungkannya. Namun yang terdengar bagiku, seorang istri yang menghindar sunyi, hanyalah untaian: ”cepatlah kalah, itu tak mengapa.”
Kepindahanku ke kota es ini untuk menghindari perasaan kalahku ketika di Jakarta yang sungguh tak ramah. Senandung itu membuatku memikirkan kembali keinginan tersembunyi yang kadang muncul untuk pulang ke Tanah Air.
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi, ada telepon masuk dari seorang yang kukenal. Di situ tertulis telepon masuk dari ”Adab Seorang”. Dan aku tersenyum.
_______________
Windhu Wee, adalah seorang penggemar baca, auditor negara, dan doktor ilmu administrasi dari Universitas Indonesia. Segala tulisan berkenaan sastra adalah sahabatnya.