Bulan
Tapi di depan Bapa Selem, ia tidak mau menyebut nama lengkapnya. Meskipun orang-orang bilang, Bapa Selem tahu segalanya, bahkan tanpa kau perlu menyebut satu kata pun dari maksud kedatanganmu.
Aroma wewangian menguar dari sebuah ruangan yang dikelilingi dengan kelambu berwarna hitam dan merah pekat. Dan asap kemenyan mengepul dari dalam pasepan. Jelasnya, api melumat benda itu dan memuntahkan asapnya. Membuat sesak ruangan yang tak lebih dari 3 meter x 4 meter tersebut. Tidak ada penerangan dari lampu, seseorang yang empunya ruangan itu hanya menghendaki cahaya luar masuk melalui kisi-kisi jendela, juga dari api yang sesekali membesar.
Di tengah ruangan gelap itu, duduk bersila seorang kakek tua berjenggot panjang. Dari mulutnya keluar rapalan mantra yang saru, walau begitu, komat-kamit itu menampakkan deretan giginya yang menghitam. Jakunnya naik turun, sesekali ia menghela napas panjang dan mengembuskannya keras-keras. Orang-orang mengenalnya sebagai si balian sakti, Bapa Selem.
”Bwuuuaaahhh…!” semburnya.
Seorang lelaki tampan yang duduk di depannya terkesiap. Ia nyaris terjungkal; satu tangannya berada di dadanya. Lelaki itu mengelus-elus dadanya karena sepertinya yang berdebar di sana hampir melompat dari tempatnya. Sudah tiga puluh menit ia duduk mematung di sana, di depan Bapa Selem yang sibuk merapal mantra. ”Anu, anu,” ucapnya ragu, tapi Bapa Selem tak mengindahkannya sekalipun.
Si lelaki itu—orang-orang mengenalnya dengan sebutan Agung—adalah seorang bangsawan dari keturunan raja. Ia cucu, cucunya cucu, dari keluarga bangsawan. Orang Bali menyebutnya ’berkasta’. Perawakannya memanglah seperti seorang bangsawan, dan itu tidaklah diragukan lagi. Pakaiannya licin dan wangi; rambutnya klimis; kulitnya putih seputih susu; tapi yang terpenting dari semuanya: kantongnya sangatlah tebal. Tidak ada yang benar-benar bisa menebak berapa banyak uang yang ia kantongi. Lembaran yang keluar dari sana selalulah pecahan paling tinggi. Teman-temannya di hadapan Agung hampir tidak bisa menyembunyikan rasa dengki.
Tapi di depan Bapa Selem, ia tidak mau menyebut nama lengkapnya. Meskipun orang-orang bilang, Bapa Selem tahu segalanya, bahkan tanpa kau perlu menyebut satu kata pun dari maksud kedatanganmu. Balian itu sudah tahu. Oleh karena itu, ia tidak menyebut namanya. Selain itu juga, datang ke tempat seperti ini sungguh merendahkan harga dirinya yang ia junjung tinggi-tinggi. Saking tinggi harga dirinya, Agung bahkan tidak sudi untuk menoleh ke belakang apabila ada yang menyebut namanya. Ya, Agung memang secongkak itu.
Tetapi, akhirnya ada yang mampu membuat Agung bertekuk lutut. Ketampanannya, kekayaannya, tak berarti di depan seorang gadis yang belakangan ini mulai mencuri hatinya. Gadis itu dulunya kembang desa, bahkan sampai saat ini, saat gadis itu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman setelah mengenyam pendidikan selama beberapa tahun di kota. Gadis itu cinta pertama Agung saat duduk di bangku SD, namanya Putri Bulan.
”Gadis itu juga menyukaimu, Cu,” ungkap Bapa Selem tiba-tiba, seraya menyodorkan sebotol cairan berwarna merah darah. ”Sekarang keluarlah dari ruangan ini. Habiskan ini setibanya di rumah nanti. Tinggalkan pejati itu di tempatnya,” sambung Bapa Selem.
Seingat Agung, teman-temannya berkata bahwa Bapa Selem memang tidak suka basa-basi. Teman-temannya juga berkata, segeralah angkat kaki dari tempat itu sebelum semua yang dikatakan Bapa Selem berubah. Maka Agung segera mengangkat bokongnya dari sana setelah menyelipkan beberapa lembar uang di pejati dan segera berlalu dari ruangan gelap itu.
***
”Ah, Bulan….”
Agung duduk bersandar di jendela kamarnya. Di mejanya, tergeletak botol minuman kosong yang tadi Bapa Selem perintahkan untuk dihabiskan. Sepuntung rokok terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sejatinya, Agung bukanlah perokok. Ia hanya menyesapnya sesekali apabila merasa beban di pikirannya begitu memuncak. Seperti saat ini, saat ia begitu merindukan gadis dengan senyum termanis yang pernah ia lihat.
Sekarang keluarlah dari ruangan ini. Habiskan ini setibanya di rumah nanti. Tinggalkan pejati itu di tempatnya.
Di atas sana, langit sudah mulai menggelap. Suara kicau burung kenari yang merdu telah tergantikan dengan dengkuran burung hantu yang dipeliharanya di taman belakang. Agung menatap lurus ke atas, ke arah bulan purnama yang tengah bersinar cerah. Kira-kira… secantik itulah Bulan. Cantik tapi tidak tersentuh. Ingin sekali rasanya Agung bergegas tidur dan bertemu Bulan keesokan harinya. Agung ingin membuktikan kalimat Bapa Selem yang menyebut Bulan juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
Masih kental sekali ingatan Agung saat mereka berdua bertemu di depan wantilan balai banjar. Bulan mengenakan pakaian adat yang memeluk erat tubuhnya yang ramping. Buah dadanya, yang membuat pipi Agung merah padam, menyembul dari atasan kebayanya. Tampak sangat ranum. Rambut panjangnya diikat, satu dua bunga jepun terselip di sela-sela ikat rambutnya. Ia tertawa renyah oleh apa pun itu yang tengah ia bincangkan dengan temannya. Namun, tawa itu seketika hilang saat pandangannya beradu dengan Agung; tergantikan oleh senyum menilai.
Ketika itu, Agung yakin Bulan tertarik kepadanya. Tapi di sisi lain, Agung merasa sangsi: mungkin saja senyum itu adalah senyum merendahkan. ”Ah, tidak tahulah!” begitu cetus Agung kala itu. Kalaupun Bulan tidak tertarik padanya, masih banyak gadis desa yang lebih menawan. Agung juga bisa melancong sesekali ke kota dan membawa satu dari sekian banyak gadis cantik di luaran sana. Membayangkan itu, ia pun kembali percaya diri. Dengan segala hal yang ia miliki, dengan ketampanannya, dengan gelarnya, Agung bisa mendapatkan lebih dari sekadar Bulan.
Tapi kemudian, apa yang terjadi beberapa hari setelahnya sungguhlah di luar kendali Agung. Dirinya berakhir di rumah balian sakti atas saran temannya dan karena mendengar bisik-bisik tetangga. Agung ingin mengetahui apakah Bulan memiliki perasaan terhadapnya, ataukah ia hanya berkhayal. Ia tak sanggup menahan pesona yang dimiliki Bulan. Berhari-hari di pikiran Agung hanya ada Bulan, bulan, Bulan, dan bulan. Bulan yang di langit mengingatkannya Bulan yang di bumi, dan saat melihat Bulan yang di bumi, ia bak melihat bulan yang di langit. Cantik kedua-duanya.
”Coba saja datang ke Bapa Selem yang rumahnya di belakang Pura Puseh,” kata salah satu temannya, Gede Astra, kala itu. ”Kemarin cetik Bapa Selem mujarab sekali. Kau tahu Suadnyana kan? Dia waktu itu memesan cetik ke Bapa Selem untuk mengenai lawan tajen-nya. Suadnyana dendam sekali karena kekalahan tajen beberapa waktu lalu,” jelas Gede Astra.
Agung mengingat Suadnyana. Setiap bertemu dengan Suadnyana, lelaki itu tidak henti-hentinya menggerutu tentang lawan tajen-nya, Pan Kopi, karena berkali-kali mengalahkannya. Suadnyana bahkan menduga Pan Kopi menanamkan sesuatu pada ayamnya agar sekali serang, ayam milik Suadnyana KO. Tapi memang betul, berita kematian Pan Kopi kemarin sangat menggegerkan. Pan Kopi mati tanpa sebab yang pasti persis di dekat kandang ayamnya. Mayatnya dipenuhi tahi ayam dan di atasnya bertengger ayam-ayam peliharaannya yang entah bagaimana bisa terlepas dari kandangnya.
”Bukankah dokter memvonisnya terkena serangan jantung?” tanya Agung.
”Mungkin saat hendak membuka kandang dan memberi ayamnya makan, Pan Kopi terkena serangan jantung,” ujarnya lebih kepada diri sendiri. Agung menolak bahwa cetik itu memang benar adanya. Ia tidak pernah percaya pada mantra, asap, sesembahan, dan sebagainya yang berbau mistis itu. Walaupun ia dikenal sebagai lelaki yang sangat taat beragama.
”Tapi coba pikir lagi, bukankah itu sangat kebetulan? Seseorang di banjar melihat Suadnyana di sekitar Pura Puseh membawa pejati. Menurutmu apa yang dilakukan?”
”Ya, sembahyang,” ketus Agung.
”Seorang diri? Dengan pakaian serba hitam? Aku pernah mendengar kalau seseorang ingin mendatangi Bapa Selem, haruslah mengenakan pakaian serba gelap,” celoteh Gede Astra meyakinkan.
”Itu memang sering kita dengar.”
”Nah, itu!”
Mendengar perkataan Gede Astra yang begitu meyakinkan, mau tidak mau Agung mulai memikirkannya. Satu per satu Agung menghampiri orang yang ia ketahui pernah mendatangi Bapa Selem. Awalnya basa-basi, tapi selanjutnya ia menerima saran dari sana-sini.
Setelah hanyut dalam pikirannya beberapa saat, Agung menyulut satu lagi puntung rokok. Menyesapnya dalam-dalam dan mengembuskannya kuat-kuat.
Oh, Bulan. Sungguh pesona gadis itu tak terbantahkan. Agung bahkan tidak bisa menghentikan imajinasi liarnya. Ia membayangkan melempar Bulan ke ranjangnya yang empuk, mengunci tangan gadis itu di kiri-kanannya, mulai mencumbunya tanpa henti meski Bulan akan berteriak memohon-mohon pengampunannya. Dan khayalan itu terus berputar bagai film semi di otaknya dari sejak pertama mereka berjumpa.
Baiklah, Agung membatin. Besok aku akan mendatangi Bulan di tempatnya biasa berkumpul dengan teman-temannya. Aku akan melihat bagaimana reaksinya. Aku sudah tidak sabar lagi bertemu dengannya dan membuatnya menjadi milikku.
***
Aroma wewangian menguar dari sebuah ruangan yang dikelilingi dengan kelambu berwarna hitam dan merah pekat. Dan asap kemenyan mengepul dari dalam pasepan1. Jelasnya, api melumat benda itu dan memuntahkan asapnya. Membuat sesak ruangan yang tak lebih dari 3 meter x 4 meter tersebut. Seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada penerangan dari lampu, Bapa Selem hanya menghendaki cahaya luar masuk melalui kisi-kisi jendela, juga dari api yang sesekali membesar.
Di tengah ruangan gelap itulah, Bapa Selem duduk bersila. Dari mulutnya keluar rapalan mantra yang saru, walau begitu, komat-kamit itu menampakkan deretan giginya yang menghitam. Jakunnya naik turun, sesekali ia menghela napas panjang dan mengembuskannya keras-keras.
”Bwuuuaaahhh…!” semburnya. ”Bwuuuaaahhh, bwuuuaaahhh, bwuuuaaahhh!” semburnya lagi, air liurnya pun tak absen keluar.
Seorang gadis cantik nan ayu yang duduk di depannya nyaris tak terkesiap. Gadis itu sudah mulai hapal apa yang terjadi di ruangan gelap itu; kedua tangannya berada di lutut, sesekali menggaruk-garuk lututnya yang tak gatal. Sudah tiga puluh menit ia duduk mematung di sana, di depan Bapa Selem yang sibuk merapal mantra. Sepatah kata pun tak keluar dari mulutnya karena ia tahu, Bapa Selem sudah tahu tujuannya datang ke tempat itu.
Tapi coba pikir lagi, bukankah itu sangat kebetulan? Seseorang di banjar melihat Suadnyana di sekitar Pura Puseh membawa pejati. Menurutmu apa yang dilakukan?
Si gadis itu—orang-orang mengenalnya dengan sebutan Putri Bulan—adalah kembang desa. Ia cucu, cucunya cucu, dari keluarga biasa yang sederhana. Orang Bali menyebutnya ’jaba’. Cantiknya memanglah seperti bulan purnama, dan itu tidaklah diragukan lagi. Aroma tubuhnya wangi; rambutnya hitam legam dan panjang; kulitnya putih seputih susu; tapi yang terpenting dari semuanya: ia belum memiliki kekasih. Tidak ada yang benar-benar bisa menebak kriteria lelaki idamannya. Sudah berapa lelaki yang hendak datang meminang, ditolaknya sopan tanpa diberi kesempatan. Teman-temannya di hadapan Bulan hampir tidak bisa menyembunyikan rasa dengki.
Tapi di depan Bapa Selem, ia tidak mengenalkan siapa dirinya. Siapa sebenarnya sosok gadis yang digilai banyak lelaki desa itu. Karena seperti yang orang-orang bilang, Bapa Selem tahu segalanya, bahkan tanpa kau perlu menyebut satu kata pun dari maksud kedatanganmu. Balian itu sudah tahu. Oleh karena itu, ia tidak menyebut namanya, tidak memperkenalkan dirinya, dan tidak menyebut maksud kedatangannya. Selain itu juga, datang ke tempat seperti ini sudah sering dilakukan Bulan, tempat ini adalah tempatnya meminta semua hal yang ia miliki sekarang, termasuk kecantikannya, jauh sebelum ia pergi ke kota untuk menuntut ilmu. Meski begitu, tidak pula menurutnya ada lelaki yang cukup pantas untuk bersanding dengannya. Ya, dia memang secongkak itu.
Baca juga: Kasih Bunda di Rimba Duka, Rindu Anak Sepanjang Kelana
Tetapi, akhirnya ada yang mampu membuat Bulan membuka hati. Namanya Anak Agung Wira Satya, dan orang-orang biasa memanggilnya Agung. Cinta pertamanya sebelum ia pergi mengenyam pendidikan di kota. Ketampanannya kembali mencuri hati gadis itu, terlebih lagi kekayaannya: tanahnya berhektar-hektar dan tersebar di setiap sudut desa. Lelaki itu dulunya jadi rebutan di kalangan para gadis desa, bahkan sampai saat ini, saat Bulan memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Agung cinta pertama Bulan saat duduk di bangku SD.
”Besok lelaki itu akan mendatangimu lagi, Cu,” ungkap Bapa Selem setelahnya.
”Sekarang keluarlah dari ruangan ini. Sambutlah pangeranmu dan jangan biarkan dia lepas. Rutinlah meminum ramuan yang Bapa berikan kemarin malam. Sekarang tinggalkan pejati itu di tempatnya,” sambung Bapa Selem.
Bulan menyeringai.
Denpasar, 2 Agustus 2020
Keterangan:
1) pasepan: tempat kemenyan di Bali
2) balian: dukun dalam bahasa Bali
3) pejati: sesajen
4) cetik: racun tradisional Bali
5) tajen: sabung ayam
______________________
Ni Kadek Rika Riyanti, lahir di Denpasar, 22 Agustus 1996. Tinggal di Desa Sanur Kauh, Denpasar, Bali. Mulai belajar menulis sejak SMP. Alumnus Universitas Dhyana Pura Jurusan Fisioterapi.