Buih
Menjelang senja, setelah kembali ke kamar hotel bersama ibunya, Ningsih kembali ingin melihat Monas dari ambang jendela. Ditatapnya sekitar Monas, tak ada lagi buih.
”Mama! Lihatlah! Ada banyak buih mengepung Monas!” seru Ningsih kepada Ibunya. Ningsih berdiri di ambang jendela kamar hotel di lantai 10 yang menghadap ke Monas. Pada Minggu pagi yang cerah itu, Ningsih akan diajak jalan-jalan menikmati car free day.
Ningsih bangun tidur lebih duluan dan langsung membuka gorden jendela kamar. Sementara ibunya masih tergolek berselimut tebal di atas ranjang. Begitulah. Sudah menjadi kebiasaan Ningsih, sejak masuk taman kanak-kanak setahun lalu, suka bangun tidur mendahului ibunya.
Di mata Ningsih, ruas jalan-jalan sekitar Monas tampak dipenuhi buih berwarna putih sebagaimana buih yang sering dilihatnya di permukaan air laut. Buih itu tampak bergerak-gerak seperti sedang mengepung Monas.
***
Sudah sejak kemarin siang, Ningsih dan ibunya masuk kamar hotel untuk menginap. Bagi ibunya, agar hidup tidak membosankan, karena tinggal di tepi pantai sebagai bos kapal-kapal yang dilayarkan sejumlah nelayan, sesekali menikmati car free day di kota metropolitan seperti Jakarta sungguh sangat menyenangkan.
Bagi ibunya, yang dua tahun telah menjanda, karena suami telah wafat, hidup melulu di tepi pantai memang membosankan. Karena itu, secara rutin tiap tiga bulan sekali Ningsih diajak bersantai menikmati fasilitas hotel berbintang lima tak jauh dari Monas.
Selama menginap di hotel itu, ibunya merasa seperti seorang ratu dengan gadis kecilnya yang sangat bahagia. Mau makan apa saja tinggal pesan lewat telepon dari kamar yang megah.
***
”Mama! Cepat bangun! Lihat buih-buih itu! Bergerak-gerak! Indah sekali.” Ningsih kembali berseru sambil menatap ke bawah. Di matanya, tampak Monas dikelilingi buih putih-putih yang bergerak-gerak. Ningsih terkagum-kagum melihat buih itu karena, kemarin, ketika mencoba membuka gorden jendela, belum ada buih seperti yang dilihatnya sekarang.
Ibunya bergegas bangkit dari ranjang dan melangkah mendekati Ningsih. Ketika menengok ke bawah, ibunya tidak melihat buih.
”Mana ada buih?” tanya ibunya.
”Itu! di sekitar Monas itu! Memangnya Mama tidak melihat buih sebanyak itu?” Ningsih bicara sambil menunjuk-nunjuk ke arah Monas.
Ibunya menggeleng-gelengkan kepala. ”Ningsih, itu bukan buih! Itu manusia! Kalau banyak manusia berkumpul seperti itu memang laksana buih!”
Ningsih menggeleng mantap. ”Mana ada manusia sebanyak itu, Mama? Itu bukan manusia! Itu buih!”
Ibunya mendadak khawatir. Diduganya Ningsih sedang berhalusinasi tentang buih yang sering dilihatnya di permukaan laut.
”Ingat, Ningsih. Kita sedang di Jakarta, tidak di kampung sendiri. Di Jakarta ini tidak ada buih sebanyak itu. Perhatikan baik-baik, itu bukan buih, tapi manusia!” Ibunya mencoba meyakinkan Ningsih bahwa yang dilihatnya bukan buih, melainkan manusia. Meski begitu, ibunya heran, karena tidak pernah menduga sebelumnya, betapa ada banyak manusia berkumpul di sekitar Monas hingga terlihat laksana buih.
Ibunya mendadak mendapat ide baru: acara menikmati car free day akan diganti dengan jalan-jalan di Taman Mini Indonesia Indah karena di sekitar Monas sedang dipenuhi banyak orang berbusana putih-putih.
”Oke, Ningsih, kalau kamu anggap itu buih. Dan, karena sekitar Monas dipenuhi buih, kita jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah saja, ya? Setuju?”
Ningsih mengacungkan jempol. ”Setuju, Mama!”
”Semoga tidak ada buih di Taman Mini Indonesia Indah sana, biar kita bisa jalan-jalan santai menikmati udara segar.” Ibunya menerawang ke luar jendela. Tampak langit biru berhias mega-mega putih. Pagi itu memang cukup cerah. Lalu ibunya menelepon taksi untuk mengantarkan ke Taman Mini Indonesia Indah.
Setibanya di Taman Mini Indonesia Indah, ketika Ningsih dan ibunya turun, dilihatnya suasana agak sepi. Ningsih tiba-tiba mengajak ibunya untuk naik kereta gantung. Ingin Ningsih melihat-lihat suasana dari atas.
Ketika sudah naik kereta gantung, Ningsih kembali berseru kepada ibunya sambil menunjuk ke arah kejauhan. ”Mama! Lihat, ada banyak buih di bawah sana!”
Ibunya melihat ke arah kejauhan seperti yang ditunjukkan Ningsih. Tampak banyak manusia berjalan kaki laksana buih yang bergerak-gerak di permukaan air laut.
Menjelang senja, setelah kembali ke kamar hotel bersama ibunya, Ningsih kembali ingin melihat Monas dari ambang jendela. Ditatapnya sekitar Monas, tak ada lagi buih.
”Buihnya sudah hilang, Mama!”
”Ya, namanya saja buih, memang muncul tiba-tiba dan akan segera hilang dengan tiba-tiba pula.”
”Kapan buih muncul lagi, Mama?”
”Mana tahu?”
”Ningsih tiba-tiba mengangkat tangan sambil berdoa. Semoga kalau aku ke sini lagi, ada banyak buih di sekitar Monas seperti pagi tadi. Amin.”
”Kok, kamu berdoa begitu, sih?”
”Aku, kan, suka buih, Mama.”
Ibunya membatin. ”Ya, memang hanya anak kecil kayak kamu yang suka buih.”
”Kalau nanti kita ke sini lagi dan ada banyak buih di sekitar Monas, kita turun ya, Mama. Pasti senang sekali kalau bisa melihat buih dari dekat.”
”Eh, bagus mana buih di permukaan laut sama di sekitar Monas?”
”Kayaknya bagusan yang di sekitar Monas, Mama.”
”Kalau kamu mendekati buih di sekitar Monas, kamu juga bisa ikut-ikutan jadi buih.”
Ningsih mendadak bergidik. ”Ih, nggak mau jadi buih!”
”Kenapa?”
”Buih tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang entah ke mana!”
”Makanya, nanti kalau kita ke sini lagi melihat ada buih di sekitar Monas, tak perlu turun mendekatinya.”
”Ya, Mama.”
”Ketahuilah, biasanya buih itu tampak menarik kalau dilihat dari jauh. Kalau dilihat dari dekat, tidak menarik lagi. Malah kita bisa jijik!”
”Ya, Mama.”
Ibunya tersenyum sambil membatin: Andai kamu sudah besar, pasti akan mengerti apa yang sebetulnya sedang terjadi di sekitar Monas tadi pagi, Ningsih. Tapi rasanya kamu lebih baik tidak mengerti; karena kamu masih kecil.
***
Tiga bulan berikutnya, kembali Ningsih diajak ibunya menginap di hotel tak jauh dari Monas. Dari ambang jendela kamar hotel, kali ini Ningsih kembali melihat buih di sekitar Monas. Namun, warna buih tidak putih melainkan merah. Buih merah itu sama banyaknya dengan buih putih yang pernah dilihat tiga bulan lalu.
”Kenapa buih saat ini berwarna merah, Mama?”
”Ya, namanya saja buih, bisa berubah warna dalam sekejap saja.”
”Apakah nanti akan ada buih berwarna hijau, biru, hitam?”
”Tunggu saja.”
Ningsih ingin sekali mendekati buih berwarna merah yang sedang muncul di sekitar Monas. Tapi tiba-tiba teringat kata-kata ibunya bahwa buih itu tidak menarik atau bahkan bisa menjijikkan kalau dilihat dari dekat. Ningsih lalu mengajak lagi ibunya ke Taman Mini Indonesia Indah.
Kalau kamu mendekati buih di sekitar Monas, kamu juga bisa ikut-ikutan jadi buih.
Setibanya di Taman Mini Indonesia Indah, Ningsih mengajak ibunya kembali naik kereta gantung. Ketika sudah berada di dalam kereta gantung yang sedang bergerak, Ningsih melihat di kejauhan ada banyak buih warna kuning.
”Mama! Lihat ke arah sana! Banyak buih hitam!” seru Ningsih sambil menunjuk ke bawah agak jauh.
Ibunya memandang ke arah yang ditunjukkan Ningsih. Tampak banyak manusia berkumpul dengan busana kuning dan bendera kuning laksana buih. Ibunya tiba-tiba teringat masa kecilnya. Saat masih kecil, ibunya selalu melihat warna kuning mendominasi pemandangan di mana-mana. Rumah-rumah dicat kuning. Pagar-pagar dicat kuning. Pohon-pohon di pinggir jalan juga dicat kuning.
Ibunya juga tiba-tiba teringat nasib tetangganya yang tidak mau mengecat kuning pagar rumahnya. Tetangganya ingin tampil beda, pagar rumahnya dicat merah. Naas bagi tetangganya, tengah malam diculik regu bertopeng berkendaraan jip. Paginya, tetangganya sudah menjadi mayat yang tergeletak di totoar depan pasar dengan luka tembak di keningnya. Lalu beredar isu bahwa tetangganya adalah penjahat plus antek PKI.
Sejak saat itu semua pagar rumah kemudian dicat kuning. Di pinggir-pinggir jalan berkibar bendera kuning. Sesekali jalan-jalan dipenuhi pawai massa berbusana kuning laksana buih.
***
Ketika kembali ke hotel, Ningsih menengok ke bawah dari ambang jendela kamar. Di sekitar Monas, tampak banyak buih berwarna mirip pelangi: merah, kuning, dan hijau.
”Mama! Buih kali ini lebih indah, karena warnanya mirip pelangi!” seru Ningsih.
Baca juga: Dan Semua Tertinggal
Mamanya bergegas ikut menengok ke luar jendela. Dilihatnya banyak manusia berkumpul di sekitar Monas dengan berbusana merah, kuning, dan hijau. Betul-betul laksana buih. Jumlah buih berwarna mirip pelangi itu jauh lebih banyak dibanding buih berwarna putih yang pernah ada sebelumnya.
”Aku lebih suka buih warna pelangi. Tampak lebih indah!” seru Ningsih.
Ibunya menukas datar. ”Sayangnya, semua buih sama saja meski beda-beda warnanya. Munculnya tiba-tiba, hilangnya juga tiba-tiba. Sayangnya lagi, semua buih hanya tampak indah dilihat dari jauh. Kalau didekati, hiii....” ***
Kandang Roda, 20052020
***
Siti Siamah lahir di Grobogan, 26 Desember 1977. Penulis merupakan peneliti di Global Data Reform yang menetap di Bogor, Jawa Barat. Dia banyak menulis cerpen, puisi, novel, dan esai.