Perempuan di Bibir Pantai
Perkataan emak benar, tapi mimpi pendidikan tinggi itu masih kularungkan pada Shabir. Sebab, cinta yang mendalam pun masih rapi di hati.
Pasir dan deru ombak sudah bosan mendengar langkah perempuan ini menunggu kekasih kembali dari sumpahnya. Angin laut terus menyapu helai-helai rambut yang terkibar pada kepala perempuan bersarang rindu yang terus memandang jauh ke lautan manakala kapal kekasihnya berlabuh menuju peraduan. Belum, bahkan sampai sekarang belum tampak wujudnya. Sampai petang, baru ia akan pulang. Besok dini hari, ia datang kembali– Berulang.
***
Sudah 3 tahun aku menjalin hubungan dengan pujangga terdidik, salah satu pemuda yang berpendidikan tinggi di kota. Jarang sekali anak di desaku diperbolehkan untuk bersekolah. Aku pernah dimarahi emak karena ngotot minta di sekolahkan keluar desa.
”Untuk apa kau sekolah tinggi-tinggi Idah? Lautan masih biru airnya. Ikan masih berlimpah di sana, tujuh turunan masih cukup untuk makan dari laut kita ini. Asin garam kita masih mendebur-debur di ombak laut itu. Lahan petani masih gembur tanahnya, Idah. Kau tanam saja tongkat, tumbuhlah ubi untuk kau makan. Lantas apa pikirmu untuk bersusah pergi ke luar desa bersekolah? Cukuplah baca, tulis, hitung kau pandaikan sudah enak hidupmu!” ketus emak setiap aku merengek minta sekolah.
Alasannya selalu kekayaan alam yang masih melimpah ruah di tanah ini. Aku pun menggugurkan impian untuk bersekolah lebih tinggi. Namun, sejak Shabir, pemuda dari desaku yang kemarin pulang karena libur kuliah, datang melihat tempatnya lahir dan dibesarkan, aku memandang matanya dalam. Oh! Pria terdidik! Sungguh malang aku tak bisa sepertimu, tenggelam dalam kesal dan sesal, termenung begitu gaung. Shabir melihat lamunan mataku dan tatap kami beradu.
”Idah, Idah, kau kenapa?” melambai-lambaikan jemari di depan wajahku.
”Oh! Tidak! Tidak apa!” Wajahku memerah karena malu.
”Kau seperti memikirkan beban berat. Apa yang membuatmu begitu hanyut dalam lamunan Idah?”
”Ah! Aku hanya berpikir betapa beruntungnya dirimu Shabir!”
”Hahaha... Aku belum seberuntung itu, jika aku belum memilikimu Idah”
Shabir memegang kepalaku, wajahku panas, tidak bahkan tubuhku merasa terbakar. Apakah matahari sore ini lebih terik dari biasanya? Atau karena ucapan Shabir yang memercik api ke hatiku ini?
Shabir mendatangi terasku, sedang aku sibuk menyapu debu-debu. Santun sekali, memberi salam pada emak juga mengajakku berbincang. Katanya, ia cinta akan diriku. Sudah lama, sejak layanganku putus dan Shabir berusaha membongkar tabungan untuk membujukku membeli yang baru. Tapi ia menyadari cinta sedari kecilnya baru sekarang bisa ia sampaikan sebab siapa yang akan menolak Shabir si pemuda terdidik dari sekolah kota besar. Aku menggenggam mimpi pendidikan tinggi dengan merengkuh seorang pemuda yang terdidik. Dengan ilmunya, akan mengalir padaku juga.
Dua tahun Shabir pergi dan menyelesaikan kuliahnya. Termaktublah gelar sarjana dalam namanya. Sayang, setahun setelah kelulusannya, pendidikan Shabir tak sebaik nasibnya. Di kota maupun desa tidak memiliki tempat untuk sarjanawan seperti Shabir. Sesekali ada pekerjaan ia selalu berkata,
”Tak cocok pekerjaan itu untuk orang berpendidikan seperti aku!”
”Shabir, setidaknya kau coba dulu. Biar ada uang untuk maharku nanti.”
”Aku ini sekolah di kota Idah. Masa aku disuruh menarik jala, mencebur kaki dalam air asin, memilah-milah ikan? Tidak Idah! Harga diriku bisa rendah karena itu! Sabarlah kau, maharmu pasti ada nantinya!” Ia pergi dari teras depan rumahku.
Langkah Shabir menjauh tapi derap kaki emak mendekat, sebab kupingnya selalu siaga setiap Shabir mengunjungiku ke rumah. Tangannya menggenggam gagang cangkir kopi dan duduk di depan kursiku.
”Idah, kawin sajalah kau dengan Rento! Meski ia tak sekolah, hartanya berlimpah, kau akan hidup dalam mewah. Tak perlulah kau pikir si Shabir yang angkuh itu. Kau mau makan gengsi suamimu saja nanti?”
”Mak, cukuplah. Aku tak ingin jadi istri ke-4.” Aku berlalu meninggalkan emak yang menseruput kopinya serta tubuh yang disiram sinar fajar pagi.
Perkataan emak benar, tapi mimpi pendidikan tinggi itu masih kularungkan pada Shabir. Sebab, cinta yang mendalam pun masih rapi di hati.
Pagi ini, Shabir datang ke rumah. Aku sibuk bergumul dengan sandang dan papan, kulihat emak yang berjalan menyambut kedatangannya. Gawat! Emak sedari setahun yang lalu pudar rasa kagumnya pada pendidikan Shabir. Ia hanya menghormati seseorang karena harta dan takhta bukan intelektual dan pengalaman.
”Kau lihat si Shabir kekasih kau itu. Jauh-jauh ke kota katanya mencari ilmu, Halah! Sekarang kerja apa dia? Mengeram juga dia di desa!” Belum genap setahun Shabir lulus dan kembali ke desa, emak memaki dan mencaci karena pekerjaan yang belum Shabir dapatkan juga.
Kriettt... Daun pintu dibuka emak. Belum lagi Shabir menjatuhkan tubuh ke kursi, kudengar emak sudah ketus pada Shabir.
”Mau apa kau pagi-pagi kemari?”
”Mau ketemu Idah mak.”
”Mau apa kau pagi-pagi ke Idah?”
Aku langsung berlari menghampiri mereka dan menarik Shabir yang mukanya masam dengan jawaban emak.
”Shabir, ayo kita pergi sebentar.”
”Mau ke mana kau Idah? Baju masih menumpuk macam gunung berapi mau kau tinggalkan pergi dengan pengangguran ini?’
”Mak!” Ketakutan selama ini tak dapat kuhindari. Terceploslah kata pengangguran yang terlarang itu di depan wajah Shabir. Shabir berjalan mendekati emak, wajahnya memerah. Tangannya mengepal keras bak siap meninju apa pun di depannya. Aku ketakutan setengah mati.
”Mak! Kau terlalu meremehkan nasibku, aku tidak semalang itu!”
”Ah! Kau janji mau pinang anakku dengan mimpi semewah gedung kota. Idah anak gadisku satu-satunya. Tak akan aku biarkan ia menjadi perawan tua karena dibutakan penantiannya yang entah berapa lama.”
Aku tak dapat menghentikan siapa pun, emak maupun Shabir. Bahkan debur ombak terdengar senyap melawan suara teriakan kedua manusia yang sedang tenggelam dalam emosi itu. Seluruh orang yang mendengar pun berkumpul berbisik-bisik menyeringai entah memihak siapa seperti pertandingan karapan sunyi.
”Aku bersumpah mak! Dalam 5 hari pelayaranku, akan kubawakan mutiara dasar lautan ini sebagai mahar perkawinan Idah! Itu sumpahku!” Shabir menunjuk samudra yang masih tampak dari depan teras rumahku.
”Silakan, aku menunggu.” Emak menjawab santai dan masuk ke dalam ke dalam rumah.
Aku memegang lengan Shabir yang berat itu. Sepertinya beban di bahunya membengkak karena sumpah gegabahnya itu.
”Tak perlu kau lawan emak seperti itu Shabir. Berat betul sumpahmu. Aku mencintaimu Shabir meski harus terseok-seok dalam kemiskinan dan mengais kebahagian.”
Baca juga: Pasar Pelukan
”Idah, aku ini lelaki. Emakmu telah menaruh rendah aku antara kau. Aku akan maharkan kau hingga warga desa ini iri akan perempuan seperti kau yang mendapatkan aku.” Shabir pergi. Perempuan ini hanya mencari cinta dan impian, sedangkan lelakinya mencari harkat dan martabatnya kembali.
Layar kapal terkembang kala fajar menyiram manusia-manusia di bibir pantai yang hendak menghantarkan Shabir menuju sumpahnya. Emak berkacak pinggang sedang Rento kulihat berpangku tangan, aku hanya bisa menunduk sedih. Aiman dan Jaelani ikut Shabir mengarung ke lautan Hindi mencari harga diri.
”Shabir, ini sudah mau masuk musim angin Barat. Kau yakin ingin berlayar?”
Aku merintik sedih.
”Tenanglah Idah. Aiman dan Jaelani kan pintar kemudi kapal. Aku tidak sendiri. Sabarlah kau.”
”Shabir! Tarik tali kapal! Kita akan berangkat sebelum gelap sampai di tengah nanti!” Aiman berteriak.
Shabir bergegas menaiki tali ke kapal bersama dirinya. Aku memandangnya penuh khawatir dan luka. Tangannya yang teduh melambai padaku bersama tekadnya yang kukuh. Emak dan yang lain sudah pergi menjauh dari pantai. Aku masih memandangi kapal Shabir yang seakan ditelan biru lautan, sunyi– Perlahan Menghilang.
***
Aku menggenggam tangan Idah dalam perkawinan. Memberi prasmanan mewah serta menjabat semua tamu yang datang bahagia. Namun, setelah kubuka mata, ternyata air asin memercik ke wajah lusuhku. Sudah 3 hari aku mengapung di lautan, belum kudapatkan mutiara besar dalam legenda desaku ini. Demi mahar Idah dan mimpi untuk dipuja-puja. Aku telah mengorbankan temanku Aiman dan Jaelani ikut mengarung bersama. Idah, wanita yang aku cintai, harus menanggung beban malu jika ber-suami-kan pengangguran macam aku ini. Kulihat Jaelani sibuk dengan cakar nautika dan Aiman yang membaca arah angin.
Idah, aku ini lelaki. Emakmu telah menaruh rendah aku antara kau. Aku akan maharkan kau hingga warga desa ini iri akan perempuan seperti kau yang mendapatkan aku.
”Shabir, kembalilah kita ke tepi. Musim angin Barat hampir tiba. Kapal kita sekecil ini bisa digulung ombak nanti.” Aiman mendatangiku yang sedang memandangi dasar laut.
”Man, bagaimana Idah dan aku?” Hatiku benar tak tenang, pantang bagiku, lelaki melanggar sumpah.
Aiman hanya menggeleng lemas. Aku pun tak bisa memaksa mereka menggali kuburnya dalam debur ombak besok malam. Aku memandangi dasar samudra dari ujung buritan kapal. Biru gelap, buih mengambang, tak tampak kilauan mutiara yang diceritakan. Pikiranku meraung-raung bagaimana? Bagaimana?
Aku tak ingin kembali membawa malu dan kehilangan harga diri. Seharian sampai pagi aku hanya duduk di ujung kapal ini. Perlahan, tubuhku jatuh ke laut. Aku menyatu dalam debur ombak. Ku lihat samar dari mataku yang terendam, Aiman dan Jaelani berteriak dan berlari berusaha menggapaiku tapi enggan didapat. Aku tenggelam, abadi dan kembali.
***
Sore ini, aku berlari menuju pantai tempat aku menghantarkan Shabir. Bersama orang-orang yang juga menantikan kedatangan Shabir atau kegagalannya. Aku akan menerima kedua takdir itu. Kapal Shabir mulai tampak perlahan dari tengah lautan menuju pelabuhan. Aiman dan Jaelani tampak bayangnya sedang Shabir mungkin sibuk memeluk mutiara untukku di dalam kapal. Tali disandarkan, kapal menepi. Aiman dan Jaelani menuruni barang-barang dengan wajah penuh sedu. Shabir tak kunjung turun.
”Man, di mana Shabir? Kenapa belum turun?”
”Idah, aku sudah berusaha. Aku dan Jaelani sudah mencari Shabir. Tapi angin Barat akan tiba dan kami terpaksa memakamkan Shabir di lautan itu. Ia tercebur dan tenggelam Idah. Kami tidak mendapatkan apa-apa.”
Aku tak ingin kembali membawa malu dan kehilangan harga diri. Seharian sampai pagi aku hanya duduk di ujung kapal ini. Perlahan, tubuhku jatuh ke laut.
Orang-orang sangat terkejut mendengar kesaksian Aiman. Aku jatuh dan bersimpuh memeluk emak. Tangan-tangan yang pura-pura perduli mengelus punggungku yang tak mampu lagi tegak. Yang kudapat hanya sebuah kabar, bukan mahar.
”Mak, maharku kematian Shabir.” Lirih suaraku bersama derai air mata yang mengalir dari kelopak mataku. Emak menyeringai dan Rento tersenyum licik. Aku kembali bersimpuh sedih.
***
Mutiarasari lahir di Pati, 1 Juni 1999. Bertempat tinggal di Medan. Mahasiswa Fakultas Hukum, Semester VI, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Penulis hobi membaca dan menulis.