Dua Jam yang Lalu (Janji)
Aku tidak mengerti kenapa harus berada di dalam ruangan ini. Apakah memang harus begitu.
Sampai di depan pintu pengadilan Lulu semakin erat menggenggam tanganku. ”Apa benar-benar siap menyaksikan semua ini?” bisiknya lirih. Aku tak jawab tanya. Hanya genggaman lebih erat pada tangannya. Semua anak barangkali tak akan pernah merasa siap sampai kapan pun untuk menjalani semua ini. Tapi begitulah dunia. Tidak pernah bertanya siap atau tidak. Semua terjadi saja. Sadar atau tidak.
Kedua manusia, pria dan wanita, itu beberapa kali ekor matanya melayang ke arahku. Mereka tampak mesra dengan menggandeng bocah umur 5 tahun. Hingga semua kemesraan pudar ketika wanita itu menyerahkan bocah ke dalam pelukanku. Dan kini keduanya sudah berada di muka sidang. Dipandangi oleh keluarga dan pekerja pengadilan. Sementara bocah yang dalam pelukanku mulai berontak dan ingin berlarian bebas. Aku melepas pelukan dan ia turun begitu saja. Lulu mulai mengusap kedua matanya dengan tisu. Berkaca-kaca.
Aku tidak mengerti kenapa harus berada di dalam ruangan ini. Apakah memang harus begitu. Tapi sesungguhnya sebelum sampai di ruangan ini pun beribu tanya sudah lebih dulu menombak hati. Terasa juga ingin aku mengacaukan jalannya persidangan ini. Hingga sang hakim mengatakan, ”Kalian batal bercerai!”
Ketika semua tengah berlangsung, aku hanya duduk terdiam. Seperti berhala hendak berontak. Kosong.
Lulu mulai gusar. Berkali-kali ia tersedak oleh tangis. Terisak kesedihan. Lulu, gadis jelita yang tak pernah kubiarkan sekalipun bersedih selama bertahun-tahun hubungan kami, kini harus kupaksa untuk tenggelam dalam prosesi menyakitkan ini. Tapi memang harus kupaksa ia melihat ini semua terjadi agar ia mengerti bagaimana manusia hidup. Bagaimana cinta dan kehidupan itu berjalan. Bagaimana kehidupan ini memang begitu sukar dimengerti.
Lulu beranjak dari duduknya. Aku begitu tersentak, bagaimana hatinya tak sanggup tetap tinggal di ruangan ini. Ketika hendak melangkah pergi, kutarik tangannya, kududukkan ia kembali dan wajah ayu itu kubenamkan ke dalam dekapanku. Tangisnya memekik. Seperti balon udara yang kutekan keras ke dadaku hingga pecah. Dan seluruh mata di ruangan itu tertuju pada kami.
Bagaimana cinta dan kehidupan itu berjalan. Bagaimana kehidupan ini memang begitu sukar dimengerti.
”Ayo, Kak, main di luar...!!! Papa dan Mama sedang apa duduk di sana, Kak? Kenapa mereka begitu lama duduk di sana? Kenapa Kakak diam saja?” Betapa hatiku tersayat olehnya. Lulu tampaknya memahami kondisi jiwaku. Gadis itu tampak tak lagi menangis. Ia mampu menenangkan bocah itu. Mungkin kini ia berusaha tegar untukku.
Sudah cukup sedih aku dengan semua ini. Tapi tidak satu butir air mata pun bisa aku teteskan. Terbayang olehku, kelak aku tidak akan bisa menyaksikan Papa dan Mama bersama lagi. Tak bisa menyaksikan Alfi tumbuh besar dalam kasih sayang mereka. Kepalaku mulai terasa pening. Tak pernah sepening ini.
Sidang berakhir. Tapi bukan berarti kesedihan berakhir. Ini hanyalah permulaan dari perpisahan. Ketika sepasang manusia memutuskan untuk hidup bersama, maka mereka bersaksi kepada banyak orang bahwa mereka akan hidup bersama dan ketika mereka memutuskan untuk berpisah, maka mereka pun bersaksi kepada banyak orang bahwa mereka telah berpisah. Memang begitulah hukum dunia atau mungkin hanya hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Ketika bersaksi hidup bersama, mereka penuh bahagia yang memuncak, tapi ketika mereka bersaksi untuk berpisah, apakah mereka juga berlimpah bahagia ataukah sedih yang memuncak. Aku tak tahu. Dan tak ingin tahu.
Semua orang mulai meninggalkan ruang persidangan. Jika orang yang menghadiri pernikahan mereka selalu mengucapkan selamat, tetapi ini tidak. Orang yang menghadiri sidang perceraian tidak pernah mengucapkan selamat. Dan aku semakin tidak ingin peduli.
Kedua orang itu mendekat ke arahku. Wanita yang sejak aku lahir kupanggil mama dan pria yang kupanggil papa itu berdiri tepat di hadapanku. Di hadapan Lulu dan Alfi. Pipi mereka basah. Sebak oleh air mata. ”Tapi untuk apa?” batinku dalam hati. Alfi sudah tertidur dalam pangkuan Lulu. Mungkin karena saat siang seperti ini adalah waktunya istirahat siang bagi bocah itu. Aku berpikir, ”Baguslah, bocah itu tidak akan mendengar dusta dari orangtuanya saat ini.”
Laki dan wanita yang kini telah resmi bercerai itu mulai menghujaniku dengan kata. Mereka bertekuk di depan aku duduk. Mereka terduduk di lantai. Dan aku masih terduduk di kursi sedari tadi aku duduk. Mereka lebih rendah daripada aku duduk sekarang. Mungkin karena memang mereka ingin merendah. Atau pengakuan sesal orang yang salah. Mereka saling menggenggam jemari kedua tanganku. ”Maafkan kami, Nak,” itulah kalimat pertama yang kudengar setelah mereka resmi bercerai. Mereka sangat ingin dimaafkan. Kulihat itu dari mata mereka. Berarti mereka sadar telah melakukan kesalahan, mungkin.
ekali lagi mereka menitikkan air mata. Entah kenapa hari itu air mata begitu murah terlinang di pipi. Terpampang dalam pandangan mata. Dan terus menyayat ke relung kalbu.
”Maafkan kami, Nak...!!!”
”Maafkan kami, Nak....!!!”
Berulang kali kalimat itu dilafazkannya.
”Maaf untuk apa?” kataku lirih dan terasa berat. Setelah sedari tadi hanya terdiam ternyata kini aku siap untuk bicara. Dan kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku.
”Mama tahu kamu begitu sedih dan berat menerima semua ini. Mama juga tahu Mama bukanlah ibu yang baik. Tapi Mama berjanji, kasih sayang Mama kepada kamu dan Alfi akan tetap sama seperti dulu. Dulu dan selamanya akan begitu.” Dan ia berleleran air mata.
”Papa juga berjanji akan tetap memberikan kasih sayang yang sama kepada kalian, anak-anak Papa. Sedikit pun tak akan berkurang, sayang,” ujar laki itu menimpali perkataan si wanita.
Aku sedikit menelan ludah. Terasa semuanya begitu kering dan gersang dalam kerongkongan, mulut, bahkan dalam hidupku. ”Kenapa kalian masih berani mengucap janji. Di mana janji pernikahan kalian dulu. Apa arti pernikahan buat kalian? Apa arti janji dalam hidup kalian? Kalian hanyalah penipu dan pendusta besar dalam hidupku. Aku tidak butuh janji dari manusia seperti kalian. Aku benci kalian berdua!” Aku ingin sekali meneriakkan kata-kata itu hingga menancap di hati mereka. Tapi nyatanya aku tidak sanggup mengucapkannya.
Kenapa kalian masih berani mengucap janji. Di mana janji pernikahan kalian dulu. Apa arti pernikahan buat kalian? Apa arti janji dalam hidup kalian?
Air mata yang bercucuran membanjiri pipi mereka, membuat hatiku remuk. Bagaimanapun, mereka adalah orang yang melahirkanku, membesarkanku, mengenalkanku pada dunia, mengenalkanku pada kasih sayang. Dan kasih sayang itu tidak mungkin bisa kubalas dengan kalimat seperti itu. Akhirnya segala caci maki itu hanya kupendam dan kulebur bersama hati yang remuk.
”Apa sekarang kita bisa pulang?” ujarku untuk mengakhiri semua kalimat maaf mereka.
Kugendong Alfi yang sedari tadi tertidur di pelukan Lulu. Sesampainya di parkiran, di depan mobil yang akan kami kendarai. aku mulai menyerahkan Alfi yang sedang tertidur pulas agar dibawa Mama dan Papa. ”Mama dan Papa bawa Alfi pulang saja dulu, aku dan Lulu akan pulang naik taksi. Kami berdua masih ingin di sini sebentar. Nanti kami menyusul.”
Kulihat Mama dan Papa saling mengerutkan kening seolah ingin bertanya, ”Kenapa?” Tapi kemudian mereka beranjak masuk mobil dan pulang. Barangkali ini adalah terakhir kalinya mereka satu mobil. Dan entah Alfi akan dibawa siapa. Aku benar tak menyimak dalam sidang.
Aku mulai menggenggam tangan Lulu. Gadis jelita yang sudah menjadi kekasih hati selama hampir 6 tahun semenjak aku masih kuliah hingga kini aku telah bekerja. ”Kenapa kita tidak pulang saja? Kenapa kamu masih ingin di sini?” ujarnya penuh tanya. Aku tak jawab tanya. Kubawa ia masuk ke dalam ruangan yang tadi menjadi ruang sidang perceraian dan kini sepi tak ada seorang pun. Kuajak ia duduk di kursi di mana kami tadi duduk untuk menyaksikan sidang perceraian Mama dan Papa.
Baca juga : Brewok
”Lulu, apakah kamu tahu kalau kamu adalah wanita satu-satunya yang sangat aku cintai? Kepadamulah hidup dan harapku. Kamulah wanita yang menjadi nyawaku. Yang mengambil segala perhatianku. Yang membuatku menjadi pria seutuhnya. Yang tak ada wanita yang kucintai selain dirimu. Apakah kamu meyakini itu di dalam hatimu?”
”Ya, aku yakin kamu mencintaiku dengan tulus. Dan aku pun mencintaimu seperti kamu mencintaiku,” jawab Lulu dengan yakin.
”Lulu, apa kamu tahu kenapa aku membawamu ke dalam ruangan ini? Di ruangan inilah banyak pasangan mengucapkan ikrar perceraian mereka. Entah sudah berapa banyak pasangan yang mengucapkannya. Apa kamu tahu bahwa mereka dulunya juga mengucapkan rasa cinta kepada pasangan mereka seperti aku tadi mengucapkan cinta kepadamu. Tapi pada akhirnya mereka juga tetap mengucapkan ikrar perceraian. Aku yakin mereka juga tetap ingat dengan janji saling mencintai mereka. Rasa saling cinta mereka. Tapi bukankah takdir tetap membawa mereka ke dalam ruangan ini untuk akhirnya berjanji berpisah. Lulu, apakah kamu juga masih yakin dengan arti sebuah janji? Itulah yang sedari tadi membuatku tidak bisa bicara selama persidangan cerai Mama dan Papa berlangsung. Kini aku menyadari bahwa manusia pada dasarnya begitu lemah untuk memegang sebuah janji. Dan seperti itulah diri manusia. Diri kita. Dirimu dan diriku. Diri kita semua.”
”Dua jam yang lalu mereka telah resmi bercerai. Mama dan papaku. Dan aku ingin kamu mengingat hari ini seumur hidupmu. Bahwa bagaimanapun takdir membawa hidup kita. Takdir tidak boleh membawa kita ke ruangan ini.”
Jogja, gerimis Januari 2010
*****
Achmad Taufik Budi Kusumah adalah guru SDN Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang menulis puisi, cerpen, esai, cerita anak, dongeng, dan novel. Dua kumpulan puisinya berjudul Hati dan Cinta & Konyol diterbitkan cetak ataupun digital di Bitread. Beberapa cerpennya tersiar di surat kabar Kedaulatan Rakyat, Joglosemar, Solopos, Banjarmasin Post, Radar Banyuwangi, Haluan, Pen Fighters, dan Balairungpress UGM.
Dongengnya tergabung bersama penulis lain dalam antologi Dongeng Fabel 2019 terbitan SIP Publishing.