Lelaki Dua Babak
Hingga suatu malam di akhir pekan, ia dongkol dengan hantu itu. Ia ambil sepucuk revolver dari kamarnya dan mewanti-wanti.
[1]
Hantu itu sangat sering melintas di pekarangan rumahnya. Sebab itu pula, dirinya sering kali cemas. Dan anehnya hantu itu selalu menampakkan wajahnya tatkala ia memperhatikan hantu itu diam-diam. Setelah mereka bertatapan, hantu itu kemudian mengangkat kepalan tangan kirinya ke udara, mulutnya bergerak, seperti mengatakan sesuatu, dan tak lama hantu itu pun menghilang.
Kejadian itu membuatnya seperti orang gila. Ia ceritakan kepada pembantunya tetapi pembantunya mengira itu hal yang wajar terjadi ketika sudah tua. “Coba bapak cari kegiatan lain, itu pasti karena bapak bosan.”
Ia memang bosan. Tinggal sendiri dengan seorang pembantu di masa pensiun. Istrinya telah lama berpulang. Sedang ketiga anaknya telah menikah.
Barangkali, hanya di akhir pekan kecemasan itu sedikit mereda tersebab anak-anak dan cucu-cucunya berkunjung. Namun hantu itu tetap datang.
Pernah ia ceritakan kepada anak-anaknya. Tetapi mereka mengira bahwa lelaki itu memang kebosanan. Orang yang kebosanan akan melihat dan mengatakan hal yang tidak-tidak.
Hingga suatu malam di akhir pekan, ia dongkol dengan hantu itu. Ia ambil sepucuk revolver dari kamarnya dan mewanti-wanti. Menunggu di depan rumah sendirian. Pembantunya sejak pagi pamit disebabkan orangtuanya sedang mengapa-mengapa. Ia mengizinkan dan lagi pula pembantunya akan pulang besok sore. Sedang anaknya belum datang. Mereka terjebak macet? Ia tak peduli, karena ia harus menidurkan isi revolver itu ke hantu tersebut.
Dentang berjalan dan angka-angka pada jam semakin mengisut. Tak ada gelagat hantu itu mampir seperti biasanya. Kantuk menggelepar di pelupuk mata. Tiba-tiba di pelataran rumah, sebongkah cahaya merambat mendekat. Matanya terbelalak, ia tarik hammer dan ia berdiri, mengambil posisi siap mengudarakan isi perut revolver itu. Nafas satu-satu terdengar. Ketika jarak tembak telah pas menurutnya, ia mundurkan jari kelingking pada trigger. Dan cahaya itu jatuh, mencium ke parit-parit lorong rumahnya.
[2]
Betapa janggal lelaki yang sudah senja itu duduk di halte bus seberang gerbang kampus itu. Bukan tersebab lelaki senja seharusnya telah rehat di kasur atau duduk santai di depan televisi sambil melihat perkembangan penyebaran epidemi. Hanya saja, apa yang menyenangkan bagi lelaki senja seperti dia, di pangkal malam dengan angin yang menusuk-nusuk?
Hotman memperhatikan gelagat lelaki itu. Jarak mereka berdekatan. Barangkali ia orang yang berbahaya. Bagaimana pun seseorang harus tetap waspada kepada siapa saja. Siapa saja patut dicurigai dan tak terkecuali pada lelaki itu.
“Hendak ke mana, dik?” katanya tiba-tiba sambil meletakkan tasnya di tengah-tengah mereka.
Hotman memperhatikan dengan serius lelaki itu. Disusurinya setiap inci tubuh lelaki itu. Dari bentuk wajah, ia seperti pensiunan seorang angkatan, batinya. Wajah yang keras dan bersuara berat. Tangannya memiliki kepalan yang hebat. Tapi Hotman yakin, semua itu tidak ada apa-apanya ketika lelaki itu masih muda.
“Mau ke rumah tulang, Pak.”
Lelaki itu diam sejenak. Dingin makin merongrong sebab beberapa waktu yang lalu perut langit pecah. Hotman mengeluarkan rokok. Ia sulut dan menyalakan.
Dan, tiba-tiba, lelaki itu meminta rokoknya.
“Bukannya merokok tak baik untuk usia seperti bapak?”
“Dengan atau tidak merokok, tetap saja malam ini aku akan mati.”
***
“Berarti kau mahasiswa baru?” Hotman ingin menjawab, namun buru-buru lelaki itu melanjutkan pembicaraannya.
“Dua puluh tahun yang lalu, saat itu aku masih muda. Aku diturunkan ketika batu-batu berhamburan. Dari arah seberang mahasiswa melemparkan apa saja yang mampu melawan kami. Tugasku waktu itu hanya menjemput kawanku yang disandera di dalam kampus oleh mereka. Karena situasi memanas, aku dan beberapa kawan lainnya terpaksa menggunakan peluru karet. Kami masuk ke dalam dan pertikaian tak terbendung. Kami terpaksa menjatuhkan mereka. Satu demi satu runtuh. Banyak kaca pecah dan pintu ringsek. Saat itu semuanya benar-benar mengerikan. Mereka seperti binatang.”
Lelaki itu memandang ke langit. Ia sulut satu batang lagi rokok Hotman. Hotman tak keberatan. Baginya itu sebuah upah karena lelaki itu telah menemaninya di tengah menunggu angkot. Malahan Hotman takjub, lelaki renta seperti dia masih kuat merokok. Hotman letakkan tasnya di tempat lelaki tua itu juga meletakkan tasnya.
Dua puluh tahun yang lalu, saat itu aku masih muda. Aku diturunkan ketika batu-batu berhamburan. Dari arah seberang mahasiswa melemparkan apa saja yang mampu melawan kami
“Tapi kau tahu, setiap orang mesti melindungi dirinya bukan? Saat kami keluar, satu temanku terkena lemparan batu. Mereka seperti babi! Aku tersulut emosi, kutarik peluru asli dari dadaku. Kuarahkan moncong senjataku ke mereka, dan peluru itu lepas saja. Dari belakang temanku juga menghujani mereka, mereka berlarian. Mencari lindung dari bayangan peluru. Aku tak tahu mereka juga menarik peluru dari dadanya sebelum ikut menembak.”
Hotman menelan ludah. Hotman tahu peristiwa itu. Meskipun ia mahasiswa semester dua. Seorang senior menceritakan peristiwa itu padanya. Peristiwa yang mengerikan. Dua mahasiswa tumbang dan puluhan luka-luka, kampusnya hancur lebur.
Ia ingat, kejadian itu berselang sebelas hari, dua tahun, setelah peristiwa di Jalan S. Parman, di ibu kota. Dua mahasiswa mendekap aspal pada waktu itu. Hanya seratus-dua ratus meter dari halte, tempatnya berada.
Mulanya terjadi karena mahasiswa melakukan protes atas penangkapan teman mereka yang ditangkap dengan alasan yang entah. Situasi panas dan sumpek, ditambah dengan tuntutan mereka tak dipenuhi.
Namun, peristiwa itu tidak pernah diusut tuntas. Hingga kejadian itu menjadi hari besar bagi mereka tersendiri. Setiap tanggal itu jatuh, mereka akan mendatangi kedua makan mahasiswa yang tewas itu, berdoa, dan kemudian melakukan unjuk rasa di jalan-jalan, sambil meneriakkan kedua nama itu. Peluru boleh menidurkan badan, tetapi tidak pada ingatan!
Hotman mengepal tangan sangat kuat. Ia tak tahu mengapa ia mesti mengepal tangannya. Lelaki itu menatap ke arah seberang. Tepat bangunan kampus itu. Dan lelaki itu melanjutkan ceritanya.
“Di lantai empat itu, di situlah teman saya disandera. Mereka benar-benar nekat menyandera aparat seperti kami.”
Sesuatu berbisik dan sangat memabukkan. Ia sudah renta, menghabisinya di sini adalah kesempatan terbaik.
Baca juga : Asmaraloka
Hotman gelap. “Semua akan pulang, meski tak tahu kapan, pak.” Lelaki itu memandang Hotman dengan heran. Ia lirik ke arah kepalan tangan Hotman. Dan sebelum lelaki itu berucap, di kejauhan sirene meraung-gaung. Lamat-lamat semakin mendekat.
Hotman membalikkan badan. Sirene itu membisu ketika memarkirkan di depan KFC, tak jauh dari halte bus. Beberapa orang berpakaian preman mendekat.
Semua akan pulang, meski tak tahu kapan, pak
“Dengan atau tidak merokok, tetap saja malam ini aku akan mati,” kata lelaki itu sambil menggesek bara rokok itu ke tanah dengan kakinya. “Terima kasih atas perbincangannya.”
Hotman termangu. Tak mengerti maksudnya apa. Dari belakang, seseorang menerjangnya. Hotman memeluk aspal, dan dirasakannya diborgol mendekap paksa.
“Apa ini?”
“Periksa dia!”
Hotman digeledah. Hanya uang receh, telepon, dan dompet. Kemudian mereka menuju ke dipan, menggasak dua tas yang ada di sana. Ia mendongak, dan melihat lelaki senja itu, dibekap di sisi satunya. Tangannya terborgol rapat.
“Barang bukti dapat, Ndan! Sepucuk revolver!”
“Gajah dia!”
Hotman berteriak! Seorang dari mereka memberikan bogem mentah. Rambutnya ditarik dan dari belakangan beberapa tendangan berumah di punggung. Ia mencoba melihat lelaki itu tetapi tak terjangkau matanya.
Sayup-sayup, sebelum pandangannya berkunang-kunang, ia lihat orang-orang yang menyaksikan kejadian itu menatap najis!
Dari salah satu bibir orang-orang itu, telinganya berusaha menangkap percakapan mereka, namun teriakan aparat bersangkar tepat di gendang telinga sehingga membuat semuanya berantakan.
Medan, Nommensen Berdarah, 2020
****
untuk Ricardo Silitonga dan Calvin Nababan.
Radja Sinaga, lahir di Medan 20 Januari 2000. Alumni Kelas Menulis Prosa Sumatera Utara 2019. Aktif di Komunitas Lantai Dua (Koldu) Medan. Artikel, cerpen, dan puisinya terpercik di banyak media cetak dan digital. Dapat disapa melalui Facebook Radja Sinaga.