Apa yang Paul McCartney Bisikkan di Telinga Janitra?
Setitik air menggantung di mulut keran. Lalu melonjong, lalu melayang, lalu terjatuh di bak cucian.
Setitik air menggantung di mulut keran. Lalu melonjong, lalu melayang, lalu terjatuh di bak cucian.
Tik!
Janitra memejamkan mata, tangannya berhenti memotong wortel. Beberapa titik air yang lain menggantung, melonjong, lalu terjatuh lagi.
Tik! Tik! Tik!
Ia menyukai bunyi ritmis kala sunyi mengepung seperti ini, laiknya rintik air keran, laiknya ketukan pisau di talenan, laiknya senandung lirihnya saat sendirian. Ia bayangkan Paul McCartney meretas ke dalam kepalanya dan memberi aba- aba: Mulailah bernyanyi, Janitra. Dan ia mulai menggumamkan ”Let It Be”.
”Janitra! Berhentilah! Suaramu sumbang!” pekik Gupta dari ruang tengah.
Janitra menghentikan senandungnya. Momen kesunyian itu musnah semenjak hotel tempat Gupta kerja mulai sepi dan para karyawan dirumahkan dengan menerima setengah gaji. Dulu, Janitra memiliki waktu langka itu kala Gupta sudah berangkat kerja dan Nara belum terjaga. Biasanya, Gupta berangkat pukul enam lima lima, dan Nara terjaga tujuh empat lima. Jika sudah terjaga, Nara akan berlarian mengelilingi ruang tengah, memutar- mutar kepala mengikuti gerak bilah-bilah kipas, dan bergumam: beyi, beyi, beyi. Hanya Janitra yang paham, maksudnya susu stroberi.
”Aku ada pertemuan daring penting dengan manajemen. Tolong buatkan kopi. Dan jaga Nara supaya enggak ribut!”
Janitra membuat segelas kopi, keluar dapur, lalu mengintip kamar Nara. Bocah lelaki itu masih tidur. Diam-diam, Janitra memohon agar Nara tetap terlelap hingga urusan Gupta usai. Ucapan Nara memang masih belum jelas, tetapi ia bisa seribut topan badai dengan mengulang-ulang bahasa makhluk galaksi lain.
Dulu, sebelum Nara ada, ia bisa berjam-jam menikmati sunyi di laboratorium mikrobiologi. Kadang mengintip bakteri-bakteri merah di bawah lensa mikroskop, menikmati cicitan mencit putih, atau melongok koloni-koloni jamur di permukaan cawan petri. Namun, sejak Nara hadir dan ia tak pernah mau menatap mata ibunya, Janitra tahu, ia harus memilih.
Saat ia sampai di ruang tengah untuk mengantarkan segelas kopi, dilihatnya wajah Nara semuram kemarau.
”Sial! Direksi mengumumkan tak mampu lagi membayar gaji karyawan!”
”Kita masih punya tabungan, bukan?”
”Paling hanya bisa bertahan untuk satu bulan. Sial! Harusnya kau tak berhenti dari pekerjaanmu itu! Kalau begini, kita tak mungkin bisa bertahan!” Gupta menutup laptopnya dengan kasar.
”Aku berhenti atas permintaanmu.”
”Aku tak pernah menyuruhmu berhenti. Aku hanya mengatakan, Nara butuh perhatian. Kau bisa menyisihkan waktu lebih banyak di rumah. Bukannya lembur dengan tikus-tikus putih itu! Kalau kau ingin Nara bisa bicara, harusnya kau lebih sering bersamanya!”
”Di lab, aku punya tanggung jawab. Aku tak bisa terus-terusan izin atau pulang lebih awal.”
”Nara tanggung jawabmu! Kau ibunya!”
”Itu berarti kau tak memberiku pilihan. Sama saja kau memintaku berhenti.”
”Itu pilihanmu sendiri!”
”Kau hanya ingin cuci tangan.”
Sebuah tamparan melayang ke pipinya. Telinganya berdenging, dan pipinya terasa dirambati listrik tegangan rendah. Janitra memilih mundur dan menyisip ke dapur. Ia butuh merawat kesunyian. Ada sesuatu yang mulai mengibaskan ekornya. Janitra harus menjaga agar sesuatu itu tak terbangun. Sesuatu yang mengerikan, bertubuh setengah kucing setengah manusia, berbulu lebat, bermata api, yang bangkit jika kesunyian menghilang. Janitra menyebutnya si Kumbang.
Pertama kali si Kumbang lepas saat Janitra berusia sebelas. Kala itu, di jam istirahat, Anto dan Dadang mengoloknya si hitam bergigi kelinci. Gigi serinya memang tumbuh dengan kurang ajar, menonjol ke depan, tak menunjang tubuhnya yang sehitam pantat panci. Ia mencoba tuli, tapi mereka tetap mencaci. Ia coba melarikan gelisahnya dengan menggambar awan hitam di belakang buku matematika dan berharap kedua bocah lelaki itu berhenti bicara, tetapi mereka semakin ingar, semakin liar, dan sesuatu yang berbulu itu lahir, membuka mata kuningnya, menunjukkan taringnya, melengkungkan punggungnya, semakin besar, lalu sebuah kekuatan mahadahsyat merayap di lengan Janitra.
Saat ia tersadar, Anto dan Dadang tengah menangis keras, terkapar di lantai. Kursi kayu yang biasa ia duduki telah patah menjadi dua dengan beberapa serpihan di sekitar dua bocah itu. Baju seragam mereka di bagian belakang koyak, menampakkan bilur-bilur ungu dan robekan kulit yang dilumuri cairan merah kental. Perlahan, suara tangisan itu memudar, dan Janitra hanya mendengar kesunyian. Ia seperti berada di pantai seusai badai dengan angin sepoi-sepoi berembus perlahan. Si Kumbang telah menghilang.
Pak Guru marah bukan kepalang. Ia menghukum Janitra menulis ’Saya Tidak Akan Nakal’ satu buku penuh. Janitra tak mengerti. Ia tak berbuat kenakalan sedikit pun. Kenapa Pak Guru hanya melihat hilir dan bukannya hulu? Pak Guru juga menitipkan sebuah surat untuk ibu, tapi tentu saja hanya ia simpan di dalam tasnya untuk kemudian ia buat sebentuk perahu kertas yang ia layarkan di selokan.
Sebetulnya, tak hanya sekali itu si Kumbang terbangun dan menggeliat. Di usia lima belas, Janitra mencakar pipi kekasihnya gegara mencuri ciuman pertamanya dengan kasar. Pikirannya tak tenang hingga malam, menggasing seperti kitiran. Di dalam kamarnya, ia berulang kali mencuci bibirnya dengan seember air sabun. Ia gosok berulang- ulang hingga lecet dan berdarah. Ia nyalakan radio keras-keras agar ibunya tak mendengar isakannya. Lalu, terdengarlah lagu usang itu: Let it be, let it be, let it be, oh let it be. Di kemudian hari, ia tahu bahwa yang menyanyikannya adalah Paul McCartney. Ia bayangkan, Paul ini adalah pawang si Kumbang. Jika ia menyanyikan ”Let It Be”, si Kumbang mendadak jadi jinak.
Dan setelah ia menikah, si Kumbang hampir terlepas lagi ketika Nara mulai besar. Nara memang sering berulah, seperti menggelepar di lantai dan melolong-lolong dengan bahasa Namex. Lalu Janitra menemukan satu hal lain yang bisa menenangkan si Kumbang: sesuatu yang ritmis. Seperti rintik air yang jatuh perlahan; seperti ketukan pisau saat memotong bawang; seperti tepukan teratur tangan pada paha depan. Yang ia takutkan, si Kumbang lepas dan membadai ke dua orang yang ia cintai: Gupta dan Nara. Ia tak ingin dua lelaki itu bernasib sama dengan Anto dan Dadang. Dengan sesuatu yang ritmis, ia ingin menghipnotis jiwanya sendiri, meninabobokkan si Kumbang agar tetap terlelap di peraduan.
Kini, ekor si Kumbang mulai bergerak-gerak. Janitra tahu, mata sosok itu masih terkatup. Ia butuh sesuatu sebelum si Kumbang terjaga. Sesuatu yang ritmis. Janitra meraih wortel lalu ia potong bentuk dadu.
Hari pertama di rumah, Gupta berubah menjadi sipir penjara yang rajin berkeliling, memeriksa debu-debu di rak buku, kerapian seprai-seprai, dan penataan hidangan makan siang.
Potongan seukuran dadu itu, Janitra potong lebih kecil lagi. Pisaunya mengetuk-ngetuk ritmis.
Hari ketiga, Gupta bertanya, kenapa Janitra membiarkan air keran menetes, kenapa ia memotong wortel begitu lama, kenapa Nara tak juga bisa bicara.
Potongan wortel itu Janitra kumpulkan di tengah talenan.
Hari kelima, Gupta berpeluh di atas tubuhnya, lalu menghardik, ”Kenapa kau sedingin ubur-ubur? Apakah kau bayangkan lelaki lain? Apakah kau berselingkuh! Hentikan gumaman lagu bodoh itu!”
Potongan wortel itu Janitra cacah, cacah lagi, lagi dan lagi. Pisau buahnya dirasuki kebengisan penjajah kolonial yang tanpa ampun menyiksa pribumi. Bibir Janitra komat-kamit. Ia berbisik: Let it be, let it be, let it be oh let it be.
”Nara sudah bangun! Apa kau tuli? Ia menangis keras sekali! Dan satu lagi, hentikan lagu bodoh itu! Kau membuatku pusing!” Gupta sudah berdiri tegak di pintu dapur dengan tangan terkepal.
Si Kumbang membuka mata kuningnya lebar-lebar. Telinganya tegak. Begitu juga ekor kembarnya. Janitra mencengkeram pisau itu kuat-kuat.
***
Si Kumbang kembali menguap dan mengatupkan matanya. Di tepian jalanan lengang, di tengah kota yang mati, Janitra terus menyenandungkan ”Let It Be”, terus-menerus, tanpa putus. Sejam lalu, ia tak peduli pintu dapur yang ia tinggalkan terbuka lebar, ia tak peduli raungan Nara yang meminta susu hangat, ia tak peduli teriakan Gupta yang memintanya kembali, dan ia tak peduli pada pisau yang ia lempar keluar dari jendela dapur. Entah seberapa jauh ia melangkah. Sepertinya sangat jauh. Ia berjalan terus tanpa memperhatikan sekitar. Ada hal penting yang harus ia lakukan: meninabobokkan si Kumbang agar ia kembali terlelap.
Sambil tersengal-sengal, Janitra menyandarkan punggungnya ke pokok akasia yang kekar. Rimbunnya daun menaunginya dari panas matahari pukul sebelas siang. Ia mendongak. Satu daun kering bergoyang liar, lalu terlepas dari tangkainya, lalu meluncur dengan gerak lambat, lalu jatuh di hidung Janitra yang mengucurkan darah. Janitra memejamkan mata. Lamat-lamat, ia mendengar Paul McCartney berbisik lembut di telinga kirinya: There will be an answer, let it be.
Sasti Gotama Dokter umum yang suka menulis. Ia tinggal di Jawa Tengah. Beberapa cerpennya dimuat di media massa, cetak ataupun daring. Karyanya yang telah terbit adalah kumpulan cerita Penafsir Mimpi.
Nugrahardi Ramadhani Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, studi lanjutan di Jurusan Teknologi Permainan, Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, lulus tahun 2010. Sejak 2002 tercatat sedikitnya 19 kali berpameran seni, performance art, dan lokakarya. Beberapa kali memenangi lomba komik dan logo
tingkat nasional.