Asmaraloka
Alif adalah pria yang pandai membaca situasi. Ia tak ingin melihat Putri menahan malu lebih lama.
Agaknya pertemuan kali ini adalah murni karena mereka ingin mengenal satu sama lain dengan lebih baik. Tadi malam Alif memberitahu jika ia akan berkunjung ke rumah Putri setelah perempuan berkacamata itu menanyakan apa makanan favoritnya.
Benar saja. Ia datang tepat waktu ke rumah Putri yang berjarak hampir 10 kilometer dari tempatnya bekerja. Ini bukanlah pertemuan privat mereka berdua. Ia sengaja datang ke rumah yang kemudian disambut ramai oleh ibu dan adik-adik Putri yang masih kecil.
Putri masih sibuk di dapur menyajikan nasi goreng dengan tergesa ketika suara lantang lelaki itu terdengar. Berkali-kali Putri mencicipi rasa nasi goreng buatannya. Nasi goreng ini harus terasa enak, pikirnya.
Sebenarnya ini adalah pertemuan mereka yang keempat. Namun, tiga sisanya bukan merupakan pertemuan menurut Putri. Karena saat itu ia tidak memperhatikan laki-laki yang sekarang sedang mencicipi masakannya. Lebih tepatnya, Putri tidak menyadari bahwa Alif adalah laki-laki yang pernah ia temui.
Pertemuan pertama mereka adalah saat Putri tidak sengaja menerima ajakan ibunya untuk makan di warung nasi goreng depan rumah. Ia melihat ada dua orang laki-laki di sana. Ibu mengundang Alif dan temannya untuk makan bersama di warung itu. Putri bukan tipe orang yang suka mencuri pandang pada orang lain. Maka, nampaknya saat ini akan menjadi pertemuan ‘betulan’ mereka yang pertama kali.
Alif memiliki versi sendiri tentang pertemuan pertama kali mereka. Ia melihat Putri saat ia menjenguk adik laki-laki putri yang sakit. Adik laki-laki Putri adalah murid Alif di sekolah. Pertemuan singkat yang bahkan putri tidak menyadarinya. Begitu terkesannya Alif pada Putri yang saat itu hanya menundukkan kepala malu-malu ketika Ibu memperkenalkan perihal dirinya pada Putri.
Putri mendengar suara Alif dari balik tirai yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang tengah. Ia masih terlalu malu untuk menemuinya.
’rtt..drtt..’ Ponselnya bergetar. Ada tiga pesan. Nasi gorengnya enak. Ayo makan bareng sini. Keluarlah jangan malu.
Ada desiran di dada Putri yang sekarang membuat suhu tubuhnya naik. Pipinya sekarang sedang memerah. Ia masih berpura-pura sibuk di dapur. Berkali-kali ia membenarkan letak kacamatanya kemudian menarik nafas dan membuangnya perlahan. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar menemui Alif setelah ia memastikan bahwa dirinya tidak tampak sedang gugup.
”Nasi gorengnya enak.” Alif bergumam seolah menjembatani jaraknya dengan Putri agar tidak terlalu jauh oleh sunyi.
Perempuan itu terkesiap. ”Oh ya?” balasnya singkat. Rupanya percakapan lewat chatroom selama beberapa hari ini masih membuat Putri gagap.
Alif bukannya tidak tahu jika Putri adalah perempuan dengan tabiat sangat tertutup. Putri sangat berbeda dengan ibunya yang supel dan mudah menemukan topik pembicaraan. Tak banyak hal-hal dalam yang ia ketahui tentang putri selain bahwa perempuan itu suka menuliskan sesuatu pada catatan kecilnya. Buku hariannya. Sehingga ia lah orang yang selalu mengambil inisiatif untuk memulai percakapan.
”Ajak dia bercerita. Putri sangat tertutup bahkan dengan ibunya sendiri. Barangkali ia mau bercerita dengan nak Alif.” Begitu pesan ibu Putri saat beliau menangkap sinyal bahwa Alif menyimpan ketertarikan pada anak sulungnya. Benar saja, Alif tidak akan mendapatkan obrolan jika bukan ia yang memulainya.
Alif bukannya tidak tahu jika Putri adalah perempuan dengan tabiat sangat tertutup. Putri sangat berbeda dengan ibunya yang supel dan mudah menemukan topik pembicaraan.
Pertama kalinya ia mengunjungi rumah Putri, ia sempat mendengar kasak-kusuk ocehan orang-orang sekitar tentang kehidupan masa lalu perempuan yang kini ada di hadapannya. Tentang seorang perempuan yang menjalin hubungan dengan pria lain. Alif mengenyahkan saja dengungan-dengungan sumbang yang seolah merayu untuk menghetikan langkahnya. Namun, ia makin mantap melangkah lebih jauh. Keberadaannya sekarang adalah bukti.
”Inikah novel yang sering kau ceritakan?” tanya Alif sambil menujukkan pada Putri sebuah buku tebal. Putri melihatnya sambil berusaha menjawab serileks mungkin.
”Oh, iya. The Kite Runner. Novel pertama yang saya jadikan favorit setelah Pride and Prejudice. Tokoh Hasan yang membuat saya kagum. Sampul bukunya sangat mewakili isi ceritanya yang penuh emosi”. Mata Alif nampak berbinar. Bola mata kecoklatannya tertangkap oleh Putri yang tidak sengaja menatapnya. Ia tersenyum sambil sedikit menatap ke arah Putri yang kini sedang salah tingkah.
”Akhirnya,” ujar Alif sambil terus membolak-balik tiap lembar halaman novel yang kertasnya sudah menguning itu. Ia masih berusaha menyembunyikan senyum yang nyatanya tak bisa ia tahan.
”Akhirnya?” Putri bertanya dengan serius. Alisnya yang tebal bak sayap burung bertaut dengan indah pada keningnya yang sedang berkerut. Alif kembali tersenyum. Kemudian ia mengembalikan buku itu pada tempatnya.
”Akhirnya saya bisa mendengar suaramu dengan jelas,” gumamnya. Situasi ini begitu kacau. Putri tidak tahu harus menunjukkan ekspresi seperti apa untuk saat ini. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah menahan senyumnya yang sedari tadi ingin lolos.
”Nanti malam ikut saya makan malam ya? Ada rekomendasi makanan enak tidak di sini?” Alif mengalihkan pembicaraan dengan tanggap. Dua hari yang lalu ia memang ingin mengajak Putri makan malam di suatu tempat. Putri mendengar suara adik bungsunya yang ramai ingin ikut dengan mereka nanti malam. Ibu kemudian meminta si bungsu untuk tinggal di rumah saja. ’Urusan orang dewasa’. Begitu kata Ibu yang membuat bibir si bungsu manyun.
Alif adalah pria yang pandai membaca situasi. Ia tak ingin melihat Putri menahan malu lebih lama. Ia kemudian sibuk dengan kedua adik Putri yang gaduh bermain di teras rumah. Putri melihat Alif melempar bola dan menangkapnya. Ada sesuatu dari diri Alif yang tidak Putri temukan pada pria lain di luaran sana. Ia adalah pria gentle. Ia tidak suka berbasa-basi.
”Tujuan saya menghubungi dik Putri adalah untuk hal serius. Saya bukan tipe laki-laki yang suka bermain-main. Jika dik Putri berkenan, akan saya lanjutkan. Tapi jika tidak, saya akan mundur.”
Isi chat Alif semalam membuyarkan lamunan Putri. Kursor di layar ponselnya berkedip-kedip. Ia tidak punya pilihan kata atau kalimat yang akan ia kirimkan untuk Alif. Lima belas menit berlalu. Kemudian ia mengirimkan sebuah pesan panjang tentang masa lalunya yang tidak diketahui oleh siapa pun. Tentang seorang pria yang pernah mengisi harinya cukup lama. Kemudian keputusannya untuk mengakhiri semuanya dengan membawa luka cukup dalam. Luka yang seharusnya tak ia bawa jika hanya ia tidak mudah pecaya pada lelaki. Baginya lelaki tak beda dengan ular yang bisanya bahkan lebih beracun dari ular yang paling berbisa.
Tujuan saya menghubungi dik Putri adalah untuk hal serius. Saya bukan tipe laki-laki yang suka bermain-main. Jika dik Putri berkenan, akan saya lanjutkan. Tapi jika tidak, saya akan mundur.
Perempuan itu berkeras akan menyingkap semua masa lalunya jika ada seorang lelaki yang datang padanya dengan sungguh-sungguh. Tentu saja, jika hatinya kemudian memilih untuk membuka pintu yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Dan, Alif adalah alasan hatinya terbuka perlahan. Sisi lain hatinya mengisyaratkan bahwa lelaki itu datang dan mengetuk pintu dengan lembut. Maka, ini saatnya untuk membuat keputusan.
Setengah jam setelah pesannya terkirim, Alif membalasnya dengan sebuah kalimat yang membuat bendungan air mata Putri jebol. ’Mari kita jalani kehidupan masa depan kita bersama-sama’.
Putri serasa telah memuntahkan segala onak yang sekian lama terkubur di dalam dasar hatinya yang paling dalam. Tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan di detik terakhir ia pasrah tentang jawaban Alif, ia seolah tidak mengetahui apa yang pernah ia lalui. Semuanya ia kubur sangat dalam bahkan dirinya sendiri tidak ia izinkan untuk menggalinya.
Putri tahu, sejak pertama kali Alif mengiriminya pesan mengajaknya berkenalan, tidak pernah ia merasakan kekuatan yang sangat kuat terbangun dari dalam dirinya. Ia merasakan sebuah harapan saat cahaya di kehidupannya meredup setelah sesuatu terenggut darinya. Ia bagai kembang yang perlahan-lahan mekar segar lagi setelah layu kekeringan.
Alif adalah mata air yang mengaliri sisi hatinya yang tandus.
Perempuan dengan nama Putri itu tidak menyangka jika namanya kini benar-benar menjelaskan keberadaan dirinya di hadapan lelaki yang kurang dari sebulan ia kenal. Ia merasa bak seorang putri di negeri dongeng yang sedang menerima cinta sang pangeran.
Baca juga: Burung Gereja yang Mengoceh ”Kamu Cantik, Kamu Cantik, Kamu Cantik”
”Tiga hari lagi bapak dan ibu ingin mengunjungi dik Putri dan keluarga di sini.” Suara lelaki itu begitu dalam membelai hati perempuan yang selama ini tak tersentuh keramahan seorang laki-laki. Putri terisak kemudian masuk ke dalam kamarnya setelah ia mengangguk dengan sedikit canggung.
Di dalam kamar, ia membuka sebuah catatan kecil yang ia simpan rapi di tumpukkan bajunya. Ia menyobek beberapa lembar dengan menahan deraian air mata. Lembaran barunya akan segera ia isi dengan berbagai tinta warna-warni menggantikan tinta kelam yang lembar-lembarnya baru saja ia robek.
***
Penulis dengan nama pena Bait Ummu Alif ini menyukai dunia kepebulisan sejak duduk di bangku SD. Tulisan pertamanya dimuat di majalah Mentari, majalah anak-anak lokal Surabaya. Penulis yang genap berusia 28 tahun ini telah beberapa kali menelurkan karyanya lewat antologi cerpen bersama Ellunar Publisher dan Swadjiwa. Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah: Surat Untuk Ibu (Lomba menulis surat Ellunar Publisher X Swadjiwa bulan Februari 2020), Who Are You (Kumpulan cerpen Ellunar Publisher bulan Februari 2020), Dawai Gitar (Kumpulan fiksi mini Ellunar Publisher bulan Maret 2020), Her (Kumpulan cerpen Ellunar Publisher bulan Maret 2020), Him (Kimpulan cerpen Ellunar Publisher bulan Maret 2020), Winter (kumpulan cerpen Ellunar Publisher bulan April 2020), Menjejak Jarak Sejenak ( Kumpulan fiksi mini Swadjiwa bulan Mei 2020)