Ibuku adalah perempuan hebat. Kenangan tentangnya takkan pernah terlupakan sampai kapan pun. Tidak hanya kami anak-anaknya yang bangga dengan ibu, tapi juga orang lain. Penduduk Desa Baja menjadikan ibu sebagai panutan. Ibu adalah figur yang luar biasa. Ia mampu menyekolahkan anak-anaknya menjadi sarjana. Meski seorang petani, namun pemikiran tentang pendidikan melesat jauh dari yang lainnya.
“Anak-anakku, belajarlah yang betul. Jangan pernah sia-siakan waktu untuk bermalasan. Meski kita petani, namun sekolah tetap nomor satu.” Ibu bercerita, tangannya tak henti, memilih tomat yang baru saja dipanen. Memilih tomat menurut ukuran besar atau kecilnya, memasukan ke dalam peti kayu. “Ingat, harta akan habis nantinya, namun ilmu akan dibawa ke mana saja, menjadi bekal kalian nanti. Dan jangan pernah melupakan tanah kelahiran. Kita lahir dan besar di sini. Maka seyogianya kita menjaga hasil bumi desa ini, makanlah apa yang bumi ini hasilkan.”
Itulah selalu petuah ibu yang senantiasa terngiang di telinga kami. Maka jangan heran dengan makanan yang terhidang di meja makan. Makanan yang berasal dari tanaman sendiri. Nasi dari sawah sendiri, ayam, ikan semuanya hasil ternak sendiri. Tapi jangan diremehkan kepiawaian Ibu dalam mengolah makanan. Aneka olahan pangan, ibu sulap menjadi makanan lezat. Mulai dari getuk, bugis, ulen, dan lainnya. Satu lagi, tungku di rumah kami selalu menyala. Meski ada subsidi gas dari pemerintah, tak pernah sekali pun ibu tergerak untuk memakainya. Ibu tetap menyalakan tungku, dengan bahan bakar dari ranting atau sampah yang berserak di kebun kami.
Di pekarangan rumah kami yang sederhana, tumbuh aneka tanaman, mulai dari daun singkong, rangdamidang, sintrong, sampai antanan dengan sengaja dibiarkan tumbuh. Menjadi kegemaran orang kota ketika berkunjung ke rumah. Karena mereka akan disuguhi makanan spesial buatan ibu. Nasi panas dadakan, ikan asin bakar dengan dilumuri jeruk nipis, ikan goreng dari tangkapan asli di sawah. Ditambah menu wajib adalah sambal mentah dadakan dan lalapan yang langsung dipetik dari kebun. Hem, dijamin memuaskan.
Desa Baja adalah desa yang jauh dari keramaian kota. Untuk singgah tepat ke kota, harus berjalan puluhan kilometer. Mengapa ibu begitu dikenang banyak orang? Di tangan ibulah Desa Baja menjadi berubah. Menjadikan Desa Baja kaya akan tamanan pangan. Desa Baja yang semula terkucilkan mulai harum. Mobil bagus mulai berdatangan, hanya karena keinginan menelisik seberapa berkembangnya Desa Baja yang selalu dipergunjingkan.
Bermula dari keadaan ibu sendiri. Hidup miskin namun mempunyai cita-cita mulia. Bagaimana caranya bisa bertahan dalam keadaan yang sulit. Sementara hanya sepetak tanah dan gubuk reyot yang dimiliki. Ibu berpikir untuk membantu bapak menambah penghasilan tanpa belas kasih dari orang lain. Maka mulailah ditanam aneka tanaman yang sekiranya dapat dimanfaatkan untuk menyambung hidup. Menanam singkong, ganyol dan sejenisnya di depan gubuk. Sementara di pinggir rumah, aneka tanaman juga obat mulai tumbuh. Di kolong rumah itu sendiri, dipelihara puluhan ayam, bebek.
Keberhasilan ibu ternyata diikuti penduduk lain. Maka tak heran ketika Desa Baja menjadi desa yang terkenal. Beberapa penghargaan bertema lingkungan mampu diraih. Bersama seorang perempuan bernama Bu Marni, ibu menggiatkan desa agar mencintai lingkungan. Aneka bibit tanaman berpendar di pekarangan rumah. Dapur hitam adalah ciri khas desa Baja. Jelaga menjadi unik dan antik di era modern sekarang.
Sayang Ibu harus berpulang, kembali ke haribaanNya. Meninggalkan kenangan dan duka yang mendalam. Beberapa lama Desa Baja mencekam, semua meratapi kepedihan karena ditinggal sang pejuang sejati.
Terlebih bapak. Entah berapa lama ia bergelut dalam duka. Merenung dalam kamar atau sekadar pergi ke sawah menjadi kebiasaannya. Bukan untuk bergelut dengan lumpur sawah seperti yang ia lakukan dulu dengan ibu. Tapi bergelut dengan duka, bayang-bayang ibu diuntainya kembali ketika tiba di sawah. Bapak yang dulu kokoh kini begitu rapuh. Kami semua anak-anaknya begitu khawatir. Apalagi kini kami tinggal di kota. Maka ketika bapak semakin rapuh karena mengingat ibu, kami bersepakat untuk mencari pengganti ibu. Seorang perempuan yang seutuhnya mengerti keadaan bapak.
Pilihan kami adalah pada Bu Marni teman seperjuangan ibu. Meski ia hanya sebagai pekerja di sawah. Namun kami yakin di tangannya, luka bapak dapat sembuh.
Gayung bersambut, Bu Marmi begitu bahagia menerima tawaran kami anak-anaknya untuk mau diperistri bapak. Praktislah posisi Bu Marni yang dulu sebagai pekerja, diberi upah, berganti menjadi istri bapak. Yang diharap kami, bapak menjadi sehat. Ada teman dalam mencurahkan suka dan duka.
Seminggu sekali, kemudian bergiliran dan seterusnya, kami rutin mengunjungi bapak. Hingga karena kesibukan, menyebabkan kami kemudian tidak lagi rutin bertandang. Bukannya kami melupakan desa, melupakan bapak, tapi karena keadaan. Kini, bapak dan Bu Marni yang senantiasa datang ke rumah kami secara bergiliran. Membawa aneka hasil panen dari sawah yang melimpah, dari kebun yang luas. Walau kami melarang bapak untuk tidak repot-repot membawa makanan tersebut. Namun bapak tetap saja memberi kiriman. Kami pun tak kuasa menolak.
Melihat bapak yang sehat dan ceria, kami begitu bahagia. Tepat pilihan kami, di tangan perempuan ini, bapak berubah. Lebih segar dan terlihat lebih muda.
Genap satu tahun bapak menikah lagi. Dan kini kami akan membuat kejutan untuk bapak. Tak ada kabar, tak ada telepon yang tersampaikan padanya. Benar-benar suatu kejutan yang sengaja dibuat oleh kami. Sudah terbayangkan, bahwa nanti di desa, kami akan berpesta. Wangi nasi dari tungku, ikan yang diambil langsung dari kolam samping rumah, lalapan dan sambal dadakan. Semua benar-benar telah dirindu.
Bu Marni dan bapak menyambut dari ambang pintu. Begitu sumringahnya mereka. Saat itu kami sekeluarga berbaur cerita, Bapak sebagai pendengar begitu menikmatinya. Dan Bu Marni, segera berpamitan untuk ke belakang. Kami saling berpandangan, saling tersenyum bahagia. Yang ditunggu segera tiba.
“Sabarlah, makanan sebentar lagi datang, kalian pasti suka.” Bapak seperti mengerti keinginan kami.
“Pastilah, hidangan yang enak yang membuat lidah kami bergoyang, Pak.” Kakak tertua berkata.
“Tenang... tenang. Sebentar lagi kita berpesta.” Aku mengedipkan mata.
Benar saja. Beberapa saat Bu Marni datang.
“Ayo, kita pindah ke ruang makan. Sebentar lagi makanan tersaji.”
“Ok!” tanpa diperintah dua kali kami menghambur ke meja makan
“Mana makanannya?” Kami tercekat, ketika melihat meja makan kosong.
Pertanyaan itu terjawab ketika suara klakson mobil terdengar.
“Ini pesanannya datang, Bu.” Seorang pegawai tersenyum dari ambang pintu. Menyerahkan puluhan dus makanan bermerk terkenal dari kota.
Aku terlongo.
“Sudahlah, zaman sudah berubah. Sekarang zaman yang praktis. Ayo makanlah bersama-sama.” Bapak tiba-tiba berdiri di belakangku. Menjelaskan keheranan.
“Pak, Bapak tiap hari makan...” Pertanyaanku menggantung di ujung lidah.
“Iya, Bapak senang dengan makanan seperti ini.” Perempuan di samping bapak menjawab.
“Tapi...”
“Ibumu memang hebat. Menyulap desa Baja, menjadi desa ini nomor satu. Aku salut padanya. Apalagi ketika ibu memanggul kayu bakar sendirian sampai ke rumah, benar-benar hebat... Bercerita tentang ibu memang takkan habisnya.” Bu Marni membuka dus makanan dan mulai menikmatinya. “Percayalah, nama ibu kalian senantiasa ada di sini.” Perempuan itu memegang kepalanya, mengakhiri cerita yang membuatku bungkam seribu kata.
***
Nina Rahayu Nadea, menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Karyanya dimuat di berbagai media, antara lain, Pikiran Rakyat, Galamedia, Kabar Priangan, Majalah Kartini, Analisa Medan, Radar Bojonegoro, Majalah Potret Banda Aceh, Majalah Baca Banda Aceh, dan Kompas. Novel yang telah dibuat diantaranya, Memilikimu di Sisa Hidupku (kerjasama Penerbit Zetu), Memahar Rembulan (BIP – Gramedia digital), Ilalang Belakang Sekolah ( BIP- Gramedia digital), Dua Hati (BIP – Gramedia digital), dan Menantimu ( di penerbit Anomali).