Saat Partisipasi Publik Minimalis
Jika pemerintah mau mendengar aspirasi masyarakat sejak awal, ikhtiar membantu jutaan buruh yang kehilangan pekerjaan akibat krisis Covid-19 akan tiba tepat waktu. Namun, kartu prakerja yang ada, tak disiapkan benar.
Persoalan muncul ketika kebijakan publik dibuat tanpa desain yang solid dan mengabaikan aspirasi serta kritik yang muncul dari publik. Program Kartu Prakerja pun menjadi buktinya.
Andai pemerintah mau mendengarkan aspirasi masyarakat sejak awal, ikhtiar membantu jutaan buruh yang kehilangan pekerjaan akibat krisis Covid-19 akan tiba tepat waktu. Andai pula janji kampanye dikonversi melalui kebijakan yang solid, program pemerintah sebagai transformasinya akan berjalan mulus.
Sudah tiga bulan terakhir, jutaan buruh kehilangan pekerjaan akibat ekonomi luluh-lantak diempas krisis Covid-19.
Namun sayang, program perlindungan sosial yang dianggarkan pemerintah senilai Rp 204 triliun belum sepenuhnya menyentuh mereka. Program Kartu Prakerja sebagai satu-satunya instrumen yang diharapkan menyentuh kelompok buruh justru kurang kompatibel dan bermasalah sehingga harus dihentikan sementara.
Atas rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah akhirnya menghentikan sementara program Kartu Prakerja yang tata kelolanya bermasalah, 28 Mei 2020. Saat itu, program sudah telanjur berjalan untuk tiga kali gelombang pendaftaran.
Baca Juga: Temuan KPK dalam Program Kartu Prakerja
KPK dalam kajiannya menemukan persoalan tata kelola yang tersebar mulai dari pendaftaran, mitra penyedia platform digital, hingga materi pelatihan.
Dalam hal kerja sama dengan delapan platform digital, misalnya, KPK menyoroti mekanisme penetapannya yang tidak melalui tahapan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Terdapat pula konflik kepentingan pada 5 dari 8 platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan. Dalam hal materi pelatihan, KPK juga menilai pemilihannya tidak melalui kurasi dengan kompetensi memadai. Ditambah lagi, banyak materi pelatihan justru tersedia gratis di jejaring internet.
”Terkait pelaksanaan program, metode pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihannya hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme pengendalian atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta”
”Terkait pelaksanaan program, metode pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihannya hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme pengendalian atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Hingga kini, pemerintah masih belum membuka kembali pendaftaran gelombang keempat. Tentu ini bukan salah KPK yang merekomendasikan demikian. Kajian dan rekomendasi KPK justru jadi semacam stempel penguat dari aspirasi publik yang sayangnya tidak direspons cepat oleh pemerintah.
Hujan kritik
Sejak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meluncurkan program Kartu Prakerja, 20 Maret lalu, hujan kritik tak henti-hentinya dialamatkan pada program itu.
Hal itu dimulai, misalnya, dengan pertanyaan tentang efektivitas program itu dalam mengurangi pengangguran. Memasuki April, kritik menyasar, antara lain, pada penetapan delapan mitra platform digital tanpa mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Seiring berjalannya program, kritik menyasar ke persoalan tata kelola lainnya. Misalnya, program yang tidak tepat sasaran saat krisis Covid-19.
Ketua Institut Solidaritas Buruh Surabaya Domin Damayanti, pada awal April, menyatakan, konsep program Kartu Prakerja tidak tepat di tengah krisis Covid-19.
Jika angkatan kerja adalah sasaran program tersebut, kelompok yang paling membutuhkan bantuan dalam situasi krisis adalah mereka yang menganggur, terutama buruh yang terkena PHK. Namun, realitasnya tidak demikian. Sudah begitu, yang diperlukan di masa krisis adalah bantuan tunai langsung, bukan pelatihan.
Gugatan itu di kemudian hari terkonfirmasi dalam kajian KPK. KPK menyebutkan, mayoritas peserta program Kartu Prakerja gelombang 1-3 bukanlah buruh yang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19 sebagaimana terdata di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Dari 1,7 juta buruh korban PHK yang terdaftar di Kemenaker, hanya 143.000 orang yang terjaring program Kartu Prakerja. Adapun pendaftar gelombang 1-3 tercatat mencapai 9,4 juta pendaftar.
Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas sebenarnya telah menginstruksikan agar program Kartu Prakerja juga dimanfaatkan sebagai instrumen penyaluran jaring pengaman sosial mulai 7 April 2020. Untuk itu, Presiden menambahkan anggaran Kartu Prakerja yang semula Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun.
Namun, penyesuaian yang dilakukan tampaknya hanya bersifat tambahan fitur terhadap program yang sudah ada. Adapun penyesuaian mendasar agar program lebih sensitif terhadap situasi krisis Covid-19 terlihat tak banyak dilakukan.
Ekonom senior Faisal Basri, dalam Satu Meja The Forum yang disiarkan Kompas TV, Rabu (6/5/2020), juga mengingatkan buruknya desain kebijakan program Kartu Prakerja. Hal ini tecermin pada persoalan yang bertebaran di berbagai aspek program.
Dalam hal sasaran program, contohnya, tidak jelas. Nihilnya mekanisme lelang pada penetapan mitra platform digital menjadi bukti lain. Begitu pula penempatan program di Kementerian Koordinator Perekonomian, bukan di Kemenaker.
Sampai sekarang, penyebaran Covid-19 di Tanah Air telah berlangsung hampir empat bulan. Setidaknya sejak April, buruh yang terkena PHK harus pusing mencari utang ke sana kemari untuk membeli kebutuhan hidup keluarganya. Situasi ini masih terjadi sampai hari ini sekalipun perekonomian perlahan-lahan menggeliat.
Desain kebijakan
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, inilah yang terjadi ketika aspirasi masyarakat tidak didengar dan segera direspons pemerintah.
Inilah pula yang menjadi konsekuensi logis ketika janji kampanye dikonversi menjadi program pemerintah tanpa melalui desain kebijakan yang solid sebagai jembatannya.
”Kartu Prakerja adalah program kampanye. Kampanye, kan, janji yang tidak perlu studi dan riset. Sementara program pemerintah harus dilandasi studi dan riset, kemudian baru peraturan-peraturan sebagai payung hukumnya. Maka, untuk menjadi program pemerintah, janji kampanye seharusnya melalui tahapan desain kebijakan yang benar,” kata Agus.
Program Kartu Prakerja awalnya adalah janji kampanye Presiden Jokowi pada Pemilu Presiden 2019. Selanjutnya ketika dilantik, janji ini ditransformasi menjadi program pemerintah. Konsepnya adalah program pelatihan kerja dari pemerintah kepada pencari kerja atau pekerja yang ingin meningkatkan kompetensi.
Dalam perjalanannya kemudian ketika Covid-19 melanda Indonesia, Kartu Prakerja sekaligus digunakan sebagai instrumen bantuan sosial.
Pengajar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Agustinus Subarsono, menyatakan, persoalan yang mewarnai program Kartu Prakerja disebabkan pemerintah tidak cukup melibatkan para pemangku kepentingan saat mendesain kebijakan. Materi pelatihan yang kurang mencerminkan kebutuhan dunia usaha jadi salah satu konsekuensinya.
”Ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Ini karena desain kebijakannya kurang dipersiapkan dengan baik dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan sehingga ada beberapa celah persoalan dalam program itu,” kata Subarsono.
Deputi Bidang IV Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin, dalam keterangan pers di Jakarta, 22 Juni, menyatakan, pemerintah telah menindaklanjuti rekomendasi KPK. Perbaikan dan penguatan aspek hukum pun dilakukan.
”Ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Ini karena desain kebijakannya kurang dipersiapkan dengan baik dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan sehingga ada beberapa celah persoalan dalam program itu”
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, misalnya, membentuk tim teknis yang diketuai Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara guna menyusun langkah teknis. Salah satunya, merevisi Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja.
Baca Juga: Kartu Prakerja, Masalah dan Solusi
Airlangga juga meminta Jaksa Agung untuk memberikan pendampingan hukum bagi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja. Presiden pun meminta pelaksanaan Kartu Prakerja didampingi pihak Kejaksaan Agung, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Marilyn Ferguson, penulis buku "The Aquarian Conspiracy", pernah berkata, ”Kebijakan publik didesain para tukang propaganda yang berkepentingan agar kepala rakyat tetap di bawah permukaan air. Kebaikan bersama bukanlah pertimbangan dan agenda kepentingan kelompok mengatasi kepentingan umum.”
Tentu masyarakat berharap, bukan ini yang terjadi pada program Kartu Prakerja.