Mulut
Mereka berdua seperti tengah bernostalgia di Puskesmas Ngundu. Masa-masa sekolah rakyat, kembali dalam ingatan mereka.
”Anak Ibu sudah berapa hari batuk-pilek Bu?” tanya suster sembari mengecek suhu badan seorang balita. Mukanya lesu, terduduk di pangkuan ibunya. Perempuan tua itu tiba-tiba menyergah.
”Suster. Ini kapan giliran saya? Sudah antre lama begini tidak juga dipanggil-panggil!” tukasnya sambil melotot. Raut wajahnya terlihat sangat kesal. Suster memasang termometer di bagian dalam ketiak balita itu, lalu menghampiri perempuan tua yang mengomelinya.
”Sabar Ibu. Maaf, kalau boleh tahu, berapa nomor antrean Ibu? Bisa saya lihat nomor antreannya?” Suster yang murah senyum itu melihat kartu sehat dan juga nomor antrean perempuan yang tidak sabaran. ”Tinggal tiga lagi. Ditunggu dulu, yah. Mari saya bantu duduk di kursi.”
Suster yang baik hati itu menawarkan bantuan. Ia mencoba meraih tangannya.
”Tidak usah. Saya bisa sendiri.” Ia menolak dengan tegas tawaran suster. Perempuan itu menekuk mukanya sambil berjalan pelan kembali ke kursi tunggu.
”Tidak apa-apa Bu, saya bantu.” Suster terus mendesak. Mungkin ia khawatir sebab badan perempuan itu lumayan panas dan dia sadar tidak bisa mendahulukan antrean.
”Wah, Suster baik sekali,” kata seorang lelaki yang kaki kanannya separuh diperban. Suster hanya tersenyum.
Puskesmas memang setiap hari selalu penuh. Apalagi saat hari Senin. Tidak ada tempat berobat murah selain di sini. Di Desa Ngundu memang ada seorang dokter yang buka praktik setiap hari. Dokter Lie Ni namanya. Dia keturunan China Bugis. Warga asli dari Kabupaten Dli yang melihat kesempatan besar membuka praktik di desa yang belum tersentuh teknologi.
Peluang itu memang benar, sebelum Puskesmas Ngundu memiliki fasilitas dan banyak dokter, puskesmas ini dapat dikatakan tidak seperti puskesmas pada umumnya. Hanya memiliki seorang dokter dan satu suster. Obat-obatan yang tersedia pun masih sangat minim. Parahnya lagi jika obat terlambat dikirim dari pusat. Warga yang berobat harus pergi ke kota untuk membeli obat sesuai dengan resep yang dibawa dari Puskesmas Ngundu.
Peluang ini pula yang ternyata sudah lama diincar oleh dokter Lie. Obat yang disediakan pun jelas jauh kualitasnya dengan obat-obatan dari puskesmas. Hanya saja, warga yang berobat pada dokter Lie harus merogoh kocek lebih dalam. Apalagi jika hari sabtu dan minggu, puskesmas tutup. Di hari-hari itulah, tempat praktik dokter Lie selalu penuh.
Untung saja, dua tahun ini, pemerintah telah merenovasi dan juga memperluas gedung puskesmas. Semua dipertimbangkan karena banyak hal—termasuk kondisi ekonomi masyarakat yang pas-pasan. Semenjak itu pula, warga selalu pergi ke puskesmas untuk berobat. Mereka lebih memilih berobat di puskesmas, barang harus menunggu rasa sakit sehari-dua hari ketika menerima kenyataan bahwa setiap hari Sabtu-Minggu puskesmas tutup. Kini sudah ada lima dokter, termasuk dua dokter spesialis. Suster pun bertambah menjadi lima belas orang. Memiliki persediaan obat yang jauh lebih bagus dan stok selalu terpenuhi.
Di hari-hari biasa, antrean selalu menumpuk. Perempuan tua itu masih kesal. Duduk bersebelahan dengan lelaki yang kakinya dibalut perban. Dari arah belakang, seseorang menepuk pundaknya.
”Heh, Darsih!”
Perempuan tua itu menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang wanita yang seusia dengannya. ”Kau siapa? Seenaknya saja menepuk pundakku. Aku ada masalah denganmu?” Ia tambah kesal.
”Dasar pikun,” seloroh perempuan itu sambil tertawa.
”Sembarangan mengatai aku pikun, heh!!!”
”Kau lupa denganku? Aku Painem. Temanmu saat di sekolah rakyat.”
Dia terdiam. Mencoba mengingat-ingat nama itu. Painem dan sekolah rakyat. Dua kata kunci yang membuat Darsih sedikit agak lama berpikir untuk mengingat-ingatnya kembali. Dia menatap langit-langit puskesmas. Mencoba untuk menghadirkan kembali ingatannya tentang perempuan yang menepuk pundaknya. Selang beberapa detik, ia tersenyum. Darsih sudah mulai ingat. Sambil membalas tepukan Painem ke pundaknya.
”Oalah, kamu Painem. Yang dulu anak Kepala Desa Karmono bukan?”
Painem tersenyum. ”Kau sakit apa?” tanya Darsih.
”Kau tidak lihat, pipiku bengkak dan kutempel koyo begini? Sudah jelas sakit gigi. Pakai ditanya segala,” gerutu Painem. Sekalipun ia tengah sakit gigi, namun kemampuannya untuk memarahi orang tidak bisa diremehkan. Darsih pun tertawa. ”Memangnya kau ini kenapa?”
”Asam uratku kambuh. Ditambah lagi demam dan jika begini, biasanya gula darah naik.”
Giliran Painem menertawai Darsih. ”Memang kau ini sudah tua Sih.”
”Emang kau pikir, kau ini masih muda? Lihat saja kerutan di dahimu, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya”
Mereka berdua menertawai diri mereka masing-masing. Puskesmas Ngundu semakin sesak. Bertambah siang, pasien samakin banyak. Mereka mengantre hingga membeludak sampai rela duduk menunggu di beranda puskesmas. Banyak balita dan anak kecil menangis, sambil mengantre giliran untuk diperiksa dokter. Pasti, mereka pun sama, tengah merasakan sakit di badan mereka. Entah itu demam, pusing, ataupun sakit lain yang wajar dialami oleh anak-anak.
***
”Nomor antrean A lima belas.” Sebuah pengumuman terdengar dari speaker kecil yang menempel di dinding ruang tunggu. Layar monitor yang menggantung di langit-langit menunjukkan tulisan A15. Painem melihat kembali kertas antrean yang sedari tadi ia pegang. Ia melihat nomor antrean yang sama persis dengan yang terpampang di layar monitor, A15. Tepat, ini giliranku, kata Painem dalam hati. Darsih pun berdiri, meraih tongkat yang sengaja ia sandarkan di dinding. Berjalan pelan menuju suster yang sedari tadi mengurus pendaftaran pasien.
”Ini giliranku. Aku mau mendaftar dulu,” ucap Darsih kepada kawan lamanya itu. Painem mengangguk.
Dari arah jauh, suster berdiri dan menghampiri Darsih.
”Giliran saya suster.”
”Iya Ibu. Mari saya bantu.” Suster itu memegangi tangan kiri Darsih. Menarik kursi duduk. ”Silakan Ibu duduk. Mari, biar saya bantu. Pelan-pelan saja Bu.” Darsih duduk dengan sempurna. Suster itu kembali ke tempat duduknya. Kembali menggenggam mouse, menulis data dalam layar komputer.
”Bisakah saya pinjam kartu sehat yang Ibu bawa?”
Darsih memberikan kartu sehat miliknya. Suster dengan cekatan memasukkan data ke dalam komputer. Setelah itu, ia melontarkan beberapa pertanyaan kepada Darsih perihal rasa sakit yang ia dera.
Bisakah saya pinjam kartu sehat yang Ibu bawa?
”Ibu sakit apa? Bisakah tangan kanan Ibu diletakkan di atas meja sebentar?”
Suster meraih sfigmomanometer, merekatkan kain hitam di lengan Darsih. Lalu dengan otomatis, alat itu mengembang. Membuat sebuah tekanan pada lengan Darsih. Di layar sfigmomanometer, keluar beberapa angka. Darsih tak paham, dilihatnya angka 150 dan juga angka 100.
”150 per-100. Tekanan darah Ibu lumayan tinggi,” ucap Suster.
”Iya Sus, saya sedikit pusing, batuk-batuk, dan asam urat sepertinya kambuh.”
”Sudah berapa hari Ibu sakit?”
”Tiga hari ini.”
”Ini kartu sehat Ibu. Disimpan kembali.”
Darsih menerimanya. Dengan cepat, suster menggerak-gerakkan mouse, menciptakan bunyi klik, klik, klik. Data yang telah dikumpulkan oleh suster, kemudian dicetak. Selembar kertas perlahan muncul dari mesin printer. Berisi data yang dikumpulkan oleh suster, termasuk riwayat sakit yang Darsih alami selama ini.
”Silakan Ibu tunggu di depan ruang dokter,” Suster itu menyodorkan selembar kertas tersebut kepada Darsih.
Darsih berdiri. Suster membantu mengambilkan tongkat yang terjatuh di lantai. ”Pelan-pelan saja Ibu.” Suster itu memegangi lengan kanan Darsih sambil tersenyum. Darsih kembali duduk di kursi tunggu. Kini ia benar-benar bersebelahan dengan Painem.
”Kau ingat Ningsih teman kita dulu yang paling pintar? Dia bulan lalu meninggal.” Darsih kembali membuka obrolan dengan Painem.
”Kau serius? Aku tak tahu kabarnya.”
”Dia kena stroke. Baru tiga hari sakit, tubuhnya tidak kuat. Dia meninggal begitu saja.”
Mereka berdua seperti tengah bernostalgia di Puskesmas Ngundu. Masa-masa sekolah rakyat, kembali dalam ingatan mereka. Tentang masa lalu, bangunan sekolah yang hampir roboh, guru-guru yang sering memberi hukuman, sampai kawan-kawan sekolah rakyat yang satu per satu berpulang.
”Apa kini tinggal kita saja berdua, Sih?” Tanya Painem dengan nada serius.
Darsih terdiam sejenak. Kembali berpikir sambil sedikit merenung.
”Mungkin saja iya,” jawabnya lirih. ”Selama tiga tahun terakhir ini, aku tidak pernah melihat kawan lama. Barang itu berpapasan di jalan atau di pasar,” ucapnya dengan nada yang lemas. ”Hari ini aku bersyukur masih bisa bertemu denganmu. Sekalipun kondisi kita yang sudah sakit-sakitan.”
”Yang sakit-sakitan itu kamu Sih. Kalau aku sehat-sehat saja, cuma sakit gigi, kok. Ini pun gara-gara kebanyakan makan daging sapi.” Seloroh Painem sambil tertawa.
Tiba-tiba Painem terdiam. Tangannya reflek memegangi pipinya. Kali ini ia benar-benar merasakan ngilu yang begitu kuat muncul dari gigi yang berlubang. Gusi Painem pastinya bengkak pula, sampai membuat pipinya yang sudah kendur itu membesar.
Baca juga : Simuladistopiakoronakra
”Seharusnya kau itu ingat diri,” Darsih membalas tawa. ”Memang dari dulu kau tidak pernah berubah.”
Suster di depan ruang dokter menyebut nama Darsih. Namun, dia begitu asyik bercerita dengan Painem. Kali ini Painem tidak menggebu-gebu lagi dalam bercerita dan tidak mau menertawai Darsih lagi. Ingat dengan gusinya yang sudah bengkak dan bisa saja sewaktu-waktu, kepala seperti akan pecah jika ngilu tiba-tiba ia rasakan.
Hari bertambah siang. Puskesmas justru semakin ramai dipenuhi orang sakit. Mereka pun mengantre untuk mendaftarkan diri ke suster yang murah senyum itu. Namun, Darsih dan Painem masih saja duduk di ruang tunggu, berada di antara pasien yang tengah mengantre.
Banyak sekali hal yang mereka obrolkan. Tak ingin berpindah tempat duduk, mereka merasa sudah nyaman duduk di bangku panjang. Padahal Darsih telah dipanggil oleh suster, namun ia tak mendengar. Atau bisa jadi, kali ini ia mengabaikan pengumuman suster untuk masuk ke ruang dokter. Begitu pula Painem. Kertas antrean yang ia pegang, terjatuh di lantai. Diambil oleh seorang anak kecil yang duduk di belakangnya. Mungkin ia tak sadar atau memang sudah tidak memedulikan antrean. Atau bisa jadi mereka berdua telah melupakan rasa sakit lantaran betapa nikmatnya obrolan panjang saat itu.
Darsih lupa bahwa tubuhnya tengah demam dan juga sakit kepala yang ia dapatkan dari kemarin. Sedangkan Painem kini bertambah lancar ngegosip tentang kehidupannya sendiri. Memamerkan suami barunya yang kaya raya kepada Darsih. Obrolan mereka tak habis-habis. Ada saja yang mereka bicarakan. Ngilu di gusi Painem mungkin juga telah pergi. Sudah tidak lagi peduli dengan antrean untuk mendapatkan perawatan dokter, lebih penting obrolan mereka ketimbang rasa sakit yang mereka dera.
Pasir Luhur, 2020.
Faiz Adittian, seorang pemuda yang kini menjadi petani ikan. Berdomisili di desa Pasir Kidul Kauman Kulon RT 002 RW 005, Purwokerto Barat, 53135. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di beberapa media masa, seperti koran Jawa Pos, Tempo, Banjarmasin Post, Kedaulatan Rakyat, Radar Mojokerto, Radar Banyumas, Riau Pos, Suara Merdeka, Harian Waktu, Haluan Padang, Harian Rakyat Sultra, dan Pikiran Rakyat.