Ruang Tunggu
Malam itu ia menyerah. Setelah puluhan tahun ia habiskan menunggu Ima di bandara, ia akhirnya menyadari suatu hal, dalam hidup ada yang mesti diperjuangkan juga diiklaskan, ada yang harus dinanti dan dibiarkan pergi.
Menggenang jingga di langit yang tenang, di barat surya bergegas pulang. Ronanya tampak nyata dalam lingkaran dua bola mata seorang lelaki tua di sebuah bangku ruang tunggu.
Sepanjang masa dilaluinya dengan sia-sia, memilih dengan gigih menanti kekasih, seorang wanita tempat ia menaruh hatinya dengan utuh. Sesungguhnya di mana wanita itu berada ia benar-benar tidak punya jawabannya, tetapi sebuah janji untuk kembali masih nyaman dalam genggaman, hingga ia lupa sudah berapa lama pemilik hati tidak kembali.
Pernah datang padanya seorang muda dan bertanya, apa yang dilakukan sendirian, apakah menunggu teman atau mungkin keponakan.
Tersenyum ia, ditawarkannya sebatang rokok dan orang muda menyulutnya. Lelaki tua kembali sibuk duduk menunduk. Sekali dua pandangannya tertuju ke pintu di mana dulu ia melihat wanitanya berangkat. Perpisahan itu baginya lantas membuat hari-hari terasa lambat dan dilewati dengan sekarat.
”Kemarin Bapak juga duduk di sini sejak pagi. Tiga hari yang lalu saat saya menjemput sepupu, Bapak juga kusyuk saja menunggu,” mulai berkata si orang muda.
”Sekarang giliran siapa yang kau jemput rupanya?” tanya lelaki tua.
”Saudara jauh, katanya tadi sudah berangkat jam lima tiga puluh.”
”Tentu jauh, kalau dekat ia tak perlu berangkat. Mungkin sedang di teras duduk dengan teh dingin segelas,” kelakarnya.
Tersenyum tipis orang muda, ia paham betul lelaki tua itu sedang bercanda.
”Dari kota mana?”
”Jakarta.”
Lelaki tua menghirup napas cukup dalam. Bahunya terangkat dan tenggorokannya tercekat. Entah oleh apa. Terbatuk ia lalu minum beberapa teguk dari botol air yang selalu ia bawa serta.
”Ada apa, Pak? Apakah yang Bapak tunggu juga dari kota itu?”
Lelaki tua mengusap mulut dengan tangan yang sudah mulai keriput, ”Kurasa ya,” sambutnya, ”atau bisa juga dari Yogyakarta, bahkan Surabaya.”
Kusut dahinya seketika, ia tak mengerti mengapa lelaki tua di sampingnya menjawab dengan kira-kira atau semaunya saja.
Sebentar kemudian berita kedatangan terdengar di setiap sudut bandara. Pesawat yang berangkat dari Jakarta dengan tujuan Padang baru saja mendarat. Si orang muda pamit untuk mendekat ke pintu kedatangan demi dapat melihat saudaranya tiba nanti. Lelaki tua mempersilakan.
Ia menghabiskan rokoknya di tempat, berdiri dan melihat ke pintu kedatangan beberapa saat. Kemudian ia melangkah menuju rumah.
…
Di kota dengan rasa resah yang tak kunjung sudah, seorang wanita tua memeluk sebuah tas besar. Duduk ia dan bersandar. Matanya sesekali terpejam sebab lelah yang menghujam. Pesawat yang ingin ditumpangi akan tiba sebentar lagi. Begitu yang dikatakan petugas bandara satu jam yang lalu. Ia memberi berita bahwa keberangkatan tertunda.
Perempuan tua sudah datang sedari tadi, badannya letih sekali. Ia menempuh perjalanan panjang sendirian dan mendapatkan kendaraan umum setelah berjuang mendapatkan tiket dalam antrean.
Tas besar yang ia bawa berisi pakaian dan sedikit makanan. Sesekali ditaruhnya di samping sebentar sebagai tempat kepalanya bersandar. Jika dilihatnya ada calon penumpang yang berdiri, dipindahkannya ke bawah kaki.
Merasa sepi wanita tua itu meski begitu ramai di ruang tunggu.
Ia adalah Ima, wanita tua pemilik hati lelaki tua tadi, namanya Heri.
Terlintas sebuah kenangan yang masih terselamatkan dalam ingatan. Berpuluh-puluh tahun yang lalu di kampung halaman yang tak pernah lagi terjejakkan, tentang seseorang yang tidak pernah bisa disebut mantan.
Kasih Ima dan Heri bermula dengan sangat sederhana. Mereka ada di kelas yang sama di sebuah sekolah menengah pertama. Kala itu bisa mencapai tahap pendidikan ini sudah bisa dinilai memiliki ekonomi yang cukup mantap. Begitu juga dengan keluarga Heri dan Ima. Keduanya dilahirkan dari keluarga berada dan berkecukupan. Selain karena berada dalam satu kelas yang sama, mereka juga sama-sama pintar dalam pelajaran Matematika. Tidak salah ketika mereka sering kali megikuti olimpiade bersama.
Letak rumah mereka berhadapan, dipisahkan halaman dan sedikit jalan. Sering kali Heri mengajak Ima belajar bersama di taman atau mengajarinya bersepeda di halaman. Kebetulan saat itu memang tidak berani Ima mencoba naik sepeda. Heri yang meyakinkan dan berjanji akan mengajarkan.
Hingga pada suatu ketika, di sebuah senja dengan matanya yang menyelinap di balik atap rumah Ima, Heri terdiam dan menatap mata Ima dalam.
”Setelah lulus ujian sekolah nanti, aku berangkat dengan orang tuaku ke kota lain, Ri,” katanya.
”Ke mana?”
”Tidak tahu, orang tuaku masih ragu.”
”Tentu ada satu dua kota yang mereka sebutkan namanya.”
”Medan, Jakarta, atau Surabaya.”
”Tidak bisakah kau di sini saja?”
Ima menggeleng.
”Kau boleh tinggal di rumahku. Nanti kukatakan pada ibu untuk siapkan kamarku jadi kamarmu. Aku tidur di ruang tengah, tidak masalah.”
”Tidak, Ri. Ibu dan ayahku tentu tak akan beri restu. Aku satu-satunya anak perempuan dan kepadakulah semua cita-cita ditumpukan.”
Heri tak kuasa membalas.
”Berdoalah semoga kita bisa berjumpa kembali.”
”Kapan?”
”Tidak tau, Ri. Tapi aku janji.”
”Kutunggu kau menemuiku. Boleh kutitip sesuatu?”
Hampir gantung percakapan sebab di langit awan mendung. Ibu Ima memanggil dan angin meniupkan gigil. Tinggal Heri sendiri.
Sepekan berlalu semenjak rumah di halaman kosong. Sebuah keluarga baru telah tinggal di situ. Sebenarnya Heri bisa saja keluar dan bercengkerama, bermain seperti sebelumnya dengan teman-teman lainnya. Tapi berubah ia sejak Ima pergi dan tidak tahu kapan akan kembali.
Suatu hari tahulah Heri bahwa kepergian Ima lantaran kebangkrutan perusahaan ayahnya, Pak Burhan. Keluarga Ima jatuh miskin, dan demi menutupi rasa malu, mereka pindah ke kota lain untuk memulai kehidupan yang baru.
Lama Heri ingin berkabar dengan Ima, tapi ia tidak tahu gadis itu sekarang berada di mana. Ingin ia tanyakan apa benar kabar kebangkrutan yang tersiar. Tapi bagaimana sementara ia sendiri hanya bisa di rumah mengurung diri.
Tahun-tahun berlalu dengan malang dan penuh peluh juang bagi Ima dan keluarga. Tidak bisa mereka masukan Ima ke sekolah lanjutan, apatah lagi membayangkan tentang kampus pilihan.
Keluarga Ima membuka warung di pinggir jalan, dari petang hingga tengah malam mereka berjualan. Dengan demikian, mereka bisa bertahan untuk membayar kontrakan dan makan. Hidup seperti itu Ima mampu dan mau. Tidak masalah baginya tinggal di rumah sederhana dan tidur di kasur yang tidak empuk sebab tak berisi cukup kapuk.
Lama mereka bertahan hidup dan berusaha agar semua kebutuhan cukup. Sampai suatu ketika seorang pelanggan datang untuk makan. Dipesannya beberapa menu masakan dan Ima-lah yang menghidangkan. Melihat ulet dan rajinnya gadis berkaki panjang dan rambut yang sepinggang itu, jatuh hati ia. Sering datang si pelanggan, bahkan katanya ia sering lupa bahwa warung Pak Burhan tutup setiap akhir bulan.
Ima yang baik dan cantik sangat mudah membuat hati siapa pun tertarik. Demikian pula yang terjadi pada pelanggan tadi, seorang lelaki yang baik budi. Ia datang dengan berani ke rumah Pak Burhan dan menyatakan diri ingin melamar Ima sebagai Istri.
Setelah hari itu, Ima agak murung wajahnya. Teringat ia akan seseorang yang menitipkannya sebuah sapu tangan yang kini telah usang. Ia berjanji akan kembali. Tapi apakah Heri di sana juga sedang menjaga hati atau malah sudah lebih dulu beristri? Sementara selama ini Ima tak pernah mengabari lewat surat pada Heri. Tanya bertanya, Ima sudah terpaku pada pikirannya, tidak mungkin Heri masih sendiri. Lagipula waktu itu mereka sama-sama masih remaja muda. Mungkin Heri hanya main-main.
Ima dinikahkan dengan sangat sederhana. Tidak banyak yang tahu tentang pernikahannya, juga tetangga lama yang ada di Sumatera.
Waktu berjalan sesuai dengan yang diperintahkan Tuhan. Matahari timbul tenggelam lalu digantikan malam. Dari pernikahannya, Ima melahirkan satu anak laki-laki yang diberinya nama Heri, sebagai ganti kekasih yang kabarnya entah bagaimana kini. Suaminya tidak tahu-menahu soal itu.
Heri tumbuh menjadi laki-laki tampan. Ia bekerja di sebuah perusahaan dan pelan-pelan mampu menjadikan keluarga mereka mapan. Rumah mereka berangsur-angsur berganti tembok setelah sebelumnya hanyalah papan. Heri bisa membeli sebuah sepeda motor bekas untuk jadi kendaraannya pergi bekerja. Rajin sekali Heri menabung dan keuangan dengan detail ia hitung. Suatu ketika cukup uangnya dan lahir niat dalam hatinya untuk menikahi seorang wanita.
Sebentar termenung Ima, waktu ternyata bergulir tidak lama. Rasanya baru kemarin ia dan suaminya jadi pengantin, sekarang Heri sudah menyatakan niatnya dengan yakin.
Namun, apa hendak dikata, setiap kehidupan tidaklah selalu bahagia dan sempurna. Menantu Ima tidak begitu menyayangi mertuanya. Setelah mereka memutuskan untuk tetap tinggal di rumah menemani ayah dan Ibu Heri, mulai terlihat jelas tentang sikap menantunya yang tak sopan dan keras.
Kecewa merayapi hati Ima yang kian tua. Suaminya yang berumur lebih tua belasan tahun darinya sudah sakit-sakitan sejak lama. Kerepotan ia mengurusnya sendirian. Beberapa kali ia memanggil menantu untuk mendapatkan bantuan, tetapi Ima hanya menerima suara kaki yang dihentakkan dan pintu dibanting dari kamar samping. Mengelus dada ia.
Setahun setelah Heri menikah, Ima kembali mendapatkan musibah. Suaminya pulang kepada yang kuasa tepat di hari pertama bulan puasa. Sedih dirasakan Ima dan tangisnya tak pernah bisa ia tahan sampai sepekan. Heri ingin menemani, tetapi tak bisa meninggalkan pekerjaan yang mesti diurusi. Tiga hari setelah ayahnya pergi, Heri mesti kembali seperti biasa menjalani hari-hari.
Namun, apa hendak dikata, setiap kehidupan tidaklah selalu bahagia dan sempurna. Menantu Ima tidak begitu menyayangi mertuanya. Setelah mereka memutuskan untuk tetap tinggal di rumah menemani ayah dan Ibu Heri, mulai terlihat jelas tentang sikap menantunya yang tak sopan dan keras.
Karena sedih yang terlampau perih, tak berniat Ima untuk masak ke dapur atau bahkan hanya membeli bubur. Dibiarkannya perutnya lapar dan tubuhnya menahan itu sampai bergetar. Dalam hal memasak, istri Heri sering sekali abai, ia beralasan tidak suka dengan aroma cabai, dan Ima tidak terbiasa memaksa. Heri mengalah. Dibawakannya sekantong makanan yang dibeli dari sepanjang pasar yang dipenuhi bazar. Kantong itu selalu besar. Isinya lengkap, dari sayur, ayam, ikan, dan sesekali buah naga kesukaan Ima.
Suatu pagi yang lindap, tidak cerah tidak hujan setelah enam hari Lebaran. Heri pergi ke luar kota untuk mewakili perusahaanya dalam rapat bisnis yang cukup besar. Ima hanya tinggal berdua dengan menantunya. Heri berpesan, makan ibu tolong diperhatikan. ”Kalau kamu tidak masak lagi, belilah lauk untuk teman makan nasi,” pesan Heri.
Istrinya mengangguk, wajahnya masih sangat mengantuk. Kembali ia ke kamar dan tidur ia lanjutkan setelah sepeda motor Heri sudah tidak terlihat di ujung jalan.
Menantu Ima tidak keluar kamar sampai terdengar azan Ashar. Ima coba memanggil.
”Nak, jadikah membeli lauk untuk ibu berbuka?”
”Aku kan gak puasa, Bu! Kalau mau beli lauk pergi sendiri, itu uang yang dikasih Heri ada di atas meja,” sahut menantunya dari dalam kamar.
”Ibu tidak kuat berjalan ke pasar, Nak. Bisa bantu ibu belikan sebentar?”
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dan menantunya membentak dengan kata-kata, ”Kenapa ibu merepotkan saya saja? Ibu kan punya kaki, bisa jalan sendiri. Kalau bisa usaha, kenapa harus menyusahkan saya?”
Ima terkejut bukan main. Belum pernah ia dengar istri Heri membentaknya begini.
”Kenapa Ibu melihat saya begitu? Tidak suka? Kalau tidak suka, tinggal pergi saja. Tinggal naik angkutan umum ke bandara dan pergi ke mana Ibu suka. Atau pulang sekalian ke Padang!”
Beribu kali Ima mengucap istighfar dalam dada. Tidak pernah disangkanya memiliki menantu seperti ini. Menetes air mata di pipi ibu kandung Heri. Kembali ia ke kamar. Dilihatnya dinding dengan potret dan gambar masa lalu.
Berwarna hitam, putih, dan abu-abu. Beberapa sudah berdebu. Matanya mendapati diri yang masih gadis, foto pernikahannya dengan seorang lelaki berkumis tipis, dan foto anaknya Heri yang sedang menangis. Ia merasa masa bahagianya sudah habis.
Pendek pikir Ima. Tidak ditunggunya Heri kembali. Dimasukkannya beberapa helai pakaian dan sedikit makanan. Sebagai bekal buka puasa di perjalanan. Keluar ia dari rumah saat itu juga dengan air mata masih mengalir di pipinya. Ia belum tahu akan pergi ke mana.
Di tepi jalan saat ia menunggu angkutan, tetangga bertanya, ”Mau ke mana Bu Ima? Kenapa tas besar begitu yang dibawa? Kenapa tidak diantar Heri saja?”
Tapi Ima menjawab dengan kebohongan belaka, ”Heri akan lembur semalaman. Dan saya sudah rindu sekali dengan kampung halaman. Tidak sempat pulang sewaktu Lebaran.”
Sampailah Ima di bandara, dibelinya tiket untuk keberangkatan malam itu juga. Beruntung satu tiket terakhir tersisa, Ima membayarnya meski harus menghabiskan hampir seluruh tabungan yang ia punya.
Sekarang Ima di ruang tunggu. Menyeka air mata yang masih turun satu-satu. Setelah lama duduk di bangku panjang itu, ia baru khawatir bagaimana jika nanti pada Heri ia rindu? Tahukah ia di mana Ima berada? Tapi terpikir olehnya, nanti ia akan kirimkan surat. Alamat rumahnya tentu ia ingat.
Pesawat telah tiba, penumpang diminta naik dan segera diberangkatkan ke Padang. Ima berjalan ke antrean pemeriksaan tiket penerbangan. Ia berjalan pelan sekali dan sedikit goyah sebab lelah. Ia berjalan seolah menghitung langkah sebelum berpisah dengan kota yang baginya penuh kisah.
…
Heri, si lelaki tua duduk di beranda, memandangi rumah di seberang yang sudah berubah menjadi kios serba ada. Tapi dalam ingatannya gadis Ima masih di sana. Bermain sepeda dan belajar bersama dengannya. Kini Heri benar-benar sendiri setelah ibunya pergi menghadap ilahi belasan tahun lalu. Ia tak berniat menikah sebab hatinya sudah dibawa Ima ke tempat yang entah.
Malam itu ia menyerah. Setelah puluhan tahun ia habiskan menunggu Ima di bandara, ia akhirnya menyadari suatu hal, dalam hidup ada yang mesti diperjuangkan juga diikhlaskan, ada yang harus dinanti dan dibiarkan pergi. Ia menengadah, melihat bulan yang melengkung seperti senyum yang merekah. Seolah berusaha menghapus sesalnya, ”Mengapa tak terpikir olehku sejak dulu? Tentu tak akan sendiri aku malam ini.”
Ketika diluruskan pandangannya kembali, dilihatnya seorang wanita mendekat padanya. Membawa sebuah tas besar, ”Permisi, Bang. Saya mencari seorang teman bernama Heri. Seingat saya dia tinggal di daerah sini. Tapi…,” beralih matanya ke kios serba ada.
”Siapa?”
”Heri.”
”Maksud saya, nama kakak siapa?”
”Oh, saya Ima, Bang.”
Pelan angin berembus di awal Agustus. Lengkungan bulan bersembunyi di balik awan. Heri tidak mengerti bagaimana Tuhan mengatur semua ini terjadi, tapi ia yakin Heri yang wanita ini maksud memanglah dirinya sendiri. Diulurkannya tangan dengan percaya diri, ”Heri Zulfandi,” katanya.
Awan semakin berat di langit dan dingin angin mulai menggigit.*
Batusangkar, 19 Mei 2019
***
Maya Sandita, sutradara, aktor, dan penulis. Alumnus prodi seni teater ISI Padangpanjang (2019). Berdomisili di Batam. Tergabung dalam FPL, KOPI TANDA, PCRBM, Bagindo Rajo, dan Teater Ode Batam. Beberapa cerpennya pernah diterbitkan dalam antologi juga media cetak lokal dan nasional. Cerpen terbarunya ”Felicia” – Republika (2019), ”Lelaki di Bawah Lampu Jalan” – Kompas (2020), dan ”Cokelat Pasir Pantai Bibir Ibu” - Media Indonesia (2020). Peraih juara 1 dalam Lomba Menulis Cerita Rakyat Berbahasa Minangkabau tingkat provinsi yang diadakan oleh Disbud Sumatera Barat, dengan judul cerita Batu Godang Putaran Toluak. Maya bisa dihubungi via Instagram @sanditaisme, Facebook Maya Sandita, dan email sanditacorp@gmail.com.