Aroma Kopi Surga
Aku tak menyajikan kopi untuk sembarang orang, meski kau membayarku dengan emas berlian, karena aku harus melewati kematian serta neraka untuk meraciknya.
Tak ada kopi di surga, di sana hanya ada sungai susu dan madu. Itu yang aku dengar dari orang-orang. Kalau begitu, datanglah ke surgaku. Akan aku buatkan secangkir kopi yang jika lidah dan indera penciumanmu rusak sekali pun, kau tak akan bisa menyangkal kelezatannya. Akan kualiri kerongkonganmu dengan hitamnya cairan kopi yang kental, dan akan kupenuhi penciumanmu dengan harum semerbak kopi yang aku racik sendiri. Datanglah ke surgaku, karena aku hanya menyajikan kopi untuk dewa, malaikat, dan manusia-manusia pilihan.
Aku tak menyajikan kopi untuk sembarang orang, meski kau membayarku dengan emas berlian, karena aku harus melewati kematian serta neraka untuk meraciknya. Tak akan kubiarkan manusia bodoh menikmati kopiku, bahkan untuk sekadar mencium aromanya.
Orang-orang berbondong datang setelah mendengar tentang aroma kopi racikanku yang katanya seperti aroma surga. Mereka memintaku membuatkan secangkir kopi agar bisa membaui surga. Kami rindu pada surga, begitu yang mereka katakan padaku. Semua orang itu kuusir. Kukatakan, aku hanya meracik kopi untuk manusia pilihan. Mereka pergi dengan wajah kecewa. Namun, esok harinya mereka datang lagi, menawarkan emas, berlian, jabatan, dan wanita paling cantik sedunia demi mendapat secangkir kopi racikanku.
Aku mulai geram. Kukatakan aku hanya meracik kopi untuk dewa, malaikat, dan manusia pilihan, bukan manusia tamak seperti kalian. Mereka tak percaya.
”Tak pernah benar-benar ada manusia pilihan di dunia ini bahkan nabi sekali pun. Manusia pilihan macam apa yang kau maksud di sini?” tanya mereka yang tengah terbungkuk-bungkuk memikul emas batangan puluhan kilo. ”Manusia pilihan hanya ada dalam benak dan penilaianmu saja.” Mereka pulang meninggalkanku untuk esok datang kembali.
Tentu mereka tak akan pernah percaya, tapi manusia pilihan memang pernah singgah ke surgaku. Ia laki-laki berwajah teduh dengan senyum damai yang selalu menghiasi wajahnya.
”Aku ingin hidup untuk mengabdi pada rakyatku. Mereka semua adalah tanggung jawabku, dari bayi yang masih dalam kandungan, hingga orang tua yang telah mempersiapkan kepulangannya.” Manusia yang ternyata seorang pemimpin itu mulai bercerita.
Tak pernah aku lihat seorang pemimpin yang begitu bersahaja. Setiap tarikan napasnya adalah untuk kepentingan rakyat, setiap geraknya adalah untuk kesejahteraan negeri. Ia berkata, bahwa rakyat harus dirangkul dan dibimbing. Maka, ia mengajak rakyatnya membangun saluran air bersama-sama agar sawah serta ladang kembali menghijau, menghasilkan bahan makanan.
”Rakyatku tak boleh kelaparan, mereka harus kenyang untuk terus berkarya dan ikut membangun negeri.” Ia kirim putra-putri terbaik untuk menimba ilmu di berbagai negeri. Mengambil ilmu sebanyak-banyaknya kemudian pulang untuk ditularkan pada yang lain. Menerapkan setiap ilmu agar negeri mereka semakin maju, tak ada lagi kebodohan, kemiskinan, apalagi kelaparan.
”Setelah ini, aku siap pulang ke surga tanpa rasa malu pada Tuhan.” Pemimpi bersahaja itu meneguk kopinya perlahan. Namanya akan terus dikenang dari generasi ke generasi sebagai pembawa kemakmuran. Sebuah monumen telah disiapkan di alun-alun kota untuk mengenang jasanya.
Suatu hari, pernah ada malaikat yang datang padaku dengan sayap putih bersih yang sangat lebar. Aku pikir sayap seperti itu hanya ada dalam dongeng, ternyata memang ada. Aku menyentuh sayap dengan bulu-bulu halus itu. Lembut seperti pantat bayi, juga harum seperti campuran antara hutan pinus dan bunga setaman yang basah tertimpa hujan semalam. Malaikat itu mengepakkan sayapnya beberapa kali sebelum memintaku meracik secangkir kopi untuknya.
”Secangkir kopi surga ini untuk merayakan kemenangan melawan keburukan di muka bumi.” Malaikat tampan itu mulai bercerita sembari menikmati secangkir kopi buatanku. Ia menelanjangi aroma yang menguar dari uap yang terlihat putih, menghirup aromanya dalam-dalam dengan mata terpejam. ”Aroma surga, ternyata benar ada peracik kopi surga di sini. Aroma ini mengingatkanku pada tempat asalku dan di sanalah aku akan kembali setelah perjalanan yang melelahkan.”
Ia bercerita tentang sebuah perang nun jauh di negeri seberang. Perang melawan keburukan, kejahatan, dan ketidakadilan. Ia memimpin pasukannya, mempertahankan negeri, menyelamatkan anak-anak, wanita, dan lansia. Ia memorak-perandakan benteng pertahanan lawan hingga kemenangan mereka raih dengan keringat, darah, dan air mata. Orang-orang di negeri itu memujanya. Mereka mencium sepasang sayap sang malaikat sebagai tanda terima kasih dan kesetiaan. Kini negeri itu damai.
Secangkir kopi surga ini untuk merayakan kemenangan melawan keburukan di muka bumi.
”Setelah ini, aku akan pergi ke negeri lain yang sedang berperang. Akan kubela kaum yang lemah, calon penghuni surga yang selalu ingin menjaga kedamaian bumi, tapi terusik oleh kepentingan golongan.”
Aku bangga karena bisa meracik kopi untuk malaikat bersayap putih ini. Aroma kopiku memanglah untuk malaikat seperti dirinya yang membela kaum lemah serta calon penghuni surga. Setelah menghabiskan secangkir kopi, ia pamit.
Dibentangkannya sayap indah yang sangat lebar. Kepak-kepak sayapnya menerbangkan dedaunan kemudian tubuhnya terangkat dan meluncur membelah cakrawala, melesat di balik awan-awan putih menuju medan perang lain. Orang-orang terkagum-kagum melihatnya, tak terkecuali aku. Sisa-sisa harum semerbak wanginya bercampur dengan aroma kopiku dan orang-orang bodoh mengendusinya demi bisa merasakan nikmat surga.
Tak banyak memang malaikat yang datang padaku. Mungkin mereka sangat sibuk dengan tugas yang Tuhan embankan pada mereka. Seperti malaikat yang datang tempo hari. Tak seperti malaikat sebelumnya yang mempunyai sayap putih, malaikat ini memakai jubah hitam menjuntai dengan sabit bergagang panjang di tangan kanan. Siang mendadak menjadi malam. Angin bertiup membawa hawa dingin mengingatkanku pada kematian. Aku bergidik ngeri. Ia berjalan masuk ke surgaku. Aku tahu, aku harus meracik kopi untuknya. Kuracik secangkir kopi hitam, sehitam jubah yang ia kenakan. Orang-orang mencuri pandang ke arahnya dengan wajah ketakutan, tapi aku tak boleh takut karena ia adalah tamu yang harus aku layani.
”Aku begitu lelah,” ucapnya dengan suara yang bergaung. ”Aku mencabut banyak nyawa di negeri seberang. Perang selalu membuat tugasku makin berat.” Ia duduk bersila di hadapanku.
”Istirahatlah sejenak sembari menikmati kopi surgaku.”
”Benar, ini adalah kopi dengan aroma surga. Aku nyaris melupakan aroma ini karena terlalu sibuk mencabut banyak nyawa di bumi. Mungkin, kini orang-orang itu telah damai di surga.”
”Perang macam apa yang membuatmu harus mencabut banyak nyawa, Tuan Malaikat?”
Ia bercerita tentang perang melawan keburukan, kejahatan, dan ketidakadilan. Sebuah negeri menciptakan sesosok malaikat bersayap putih yang bisa terbang melintasi cakrawala. Malaikat itu memorak-perandakan benteng tempat berlindung, tak ada nyawa yang selamat. Semua meregang nyawa, tak hanya laki-laki, tetapi juga anak-anak, wanita atau pun lansia. Semua musnah di tangan sang malaikat bersayap putih.
”Aku harus melanjutkan perjalanan. Di negeri seberang sana ada sekelompok golongan yang tengah berjuang. Aku datang untuk membawa mereka pulang ke surga.” Ia beranjak. Berbeda dengan malaikat putih yang terbang dengan sayapnya, malaikat berjubah hitam ini menghilang di balik gelap malam.
Sejak itu, tak pernah ada lagi malaikat yang datang padaku. Mereka pastilah sangat sibuk. Aku bisa mengerti. Perang yang berkecamuk di muka bumi tak bisa dihindari, membuat orang-orang semakin rindu pada surga. Manusia-manusia bodoh semakin banyak yang berdatangan padaku. Kini bukan hanya sekarung atau dua karung emas, mereka membawa setidaknya satu truk emas untuk ditukar dengan secangkir kopi.
”Semua emas itu untukmu, tapi buatkan aku kopi dengan aroma surga paling kuat.” Seorang lelaki dengan dada yang selalu dibusungkan datang bersama banyak pengawal.
Kukatakan aku tak mau, sama seperti sebelumnya.
”Aku adalah pemimpin dari sebuah negeri adidaya. Tidakkah kau segan? Aku telah membawa negeriku dalam kemakmuran. Aku ini manusia pilihan seperti yang kau cari.”
Nyatanya, bagiku, ia tak lebih dari seorang laki-laki sombong. Aku ingat seorang pemimpin yang telah menjauhkan rakyatnya dari kemiskinan dan kelaparan, ia memiliki wajah teduh dan senyum damai, bukan laki-laki yang membusungkan dada. Aku mempersilakan ia untuk pulang bersama pengawal dan satu truk emas miliknya.
Esoknya ia datang lagi, sama seperti manusia-manusia bodoh lain. Ia memamerkan uang, emas, jabatan, dan wanita untuk menggodaku. Lama-lama aku muak juga dengan manusia macam itu. Kuusir ia dari surgaku, kukatakan aku tak lagi mempunyai serbuk kopi untuk diseduh. Ia tak percaya dan menuduh bahwa aku mempermalukannya. Mengusir seorang pemimpin besar adalah penghinaan, begitu katanya. Ia menyuruh pengawal untuk menyeretku. Memalukan sekali. Setiap pasang mata menatapku prihatin, mereka tahu bagaimana nasibku selanjutnya.
Aku tak peduli. Manusia seperti dirinya tak akan pernah bisa mencium aroma surga bahkan dalam bentuk kopi buatanku sekalipun. Aku tahu dia adalah pemimpin yang menciptakan malaikat bersayap putih. Kini, di negeri seberang sana, malaikat itu tengah mengamuk dengan sayapnya dan malaikat berjubah hitam tengah sibuk mencabut nyawa orang-orang tak berdosa untuk membawa mereka pulang ke surga. Dan aku tahu, emas yang kini ia pamerkan tak lebih dari harta rampasan dengan embel-embel kerja sama dua negara. Sebuah gunung emas telah ia keruk hingga jadi danau untuk mendanai perang paling keji. Lalu, bagaimana mungkin orang seperti itu bisa mencium aroma surga? Ingin sekali aku meludah tepat di wajahnya yang penuh kepalsuan.
Pemimpin sombong itu memasukkanku ke bui. Dingin dan lembap dindingnya menemani malamku. Namun, aku ingat, semalam, sebelum pemimpin sombong itu datang, malaikat berjubah hitam menemuiku. Ia mengajakku ke surga untuk membuat kopi di sana. Ia juga telah menyiapkan biji kopi terbaik untukku. Aku menyetujuinya. Siang nanti ia akan menjemputku dan aku akan meracik kopi untuk para penghuni surga.
****
Tiqom Tarra, lahir di Pekalongan pada 30 Oktober 1992. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Majas, Media Indonesia, Detik.com, Gogirl!, Tribun Jabar, Denpost, Solopos, Radar Surabaya, Fajar Makassar, Apajake.id dan ideide.id. Juara dua lomba novelet Loka Media dengan novelet Renjana (Loka Media, 2017). Buku kumpulan cerpen perdana Anak Kecil yang Memamerkan Bayinya dan Orang Dewasa yang Menyimpan Biji Mentimun di Saku Celana (JWriting Soul, 2018).