”Selamat, Sayang. Bentar lagi kamu bakal jadi bintang film,” ucapnya saat kami sedang makan bersama di warung makan pinggir jalan.
”Makasih, Sayang. Ini berkat dukungan kamu.” Yah, ini memang berkat dukungannya. Dia selalu menyemangatiku, menemaniku latihan akting, memuji aktingku, dan mengantarku mengikuti casting film di mana pun itu.
”Kalau kamu udah jadi artis terkenal, kamu jangan sombong, ya. Harus tetap rendah hati,” nasihatnya.
”Iya, aku bakal tetap rendah hati walaupun udah terkenal nanti.”
”Kamu juga jangan lupain aku, ya.”
”Gak mungkin aku lupain kamu. Kamu kan pacar aku.”
Dia tersenyum. Senyum yang selalu mampu membuatku untuk ikut tersenyum juga. Dia menggenggam tanganku, ”Aku sayang kamu.”
”Aku juga sayang kamu.”
***
Film pertama yang aku bintangi sukses besar. Aku menjadi artis pendatang baru yang populer saat ini. Aku bahkan mendapatkan beberapa penghargaan di acara award. Aku benar-benar bahagia mendapatkan semua ini.
Tok ... Tok ... Tok ....
Seseorang mengetuk pintu rumahku. Aku bangkit dari dudukku dan pergi membuka pintu. Begitu aku membuka pintu, aku mendapati sosok Bara yang tersenyum manis menatapku.
”Hai,” sapanya.
”Hai, ayo masuk!”
Aku mempersilakannya untuk masuk. Dia pun masuk dengan membawa sebuah pot kecil yang ditanami kaktus. Kami berdua duduk di ruang tamu.
”Ini buat kamu. Simpan di kamar kamu, ya,” ucapnya sambil menyodorkan pot kecil yang dibawanya.
”Ini pasti kamu tanam sendiri.” Aku mengambil pot yang disodorkannya. Dia tertawa kecil, ”Hehe, kamu tau aja. Kalo buat kamu itu harus spesial. Aku tanamnya pake cinta.”"
”Terus kenapa tanamnya bunga kaktus? Kenapa bukan bunga mawar?”
”Aku tanam kaktus dengan harapan supaya kamu bisa seperti kaktus. Kaktus bisa melindungi dirinya dari berbagai ancaman dengan duri-durinya. Aku mau kamu bisa melindungi diri kamu sendiri. Sekarang kamu udah berkecimpung di dunia hiburan. Dunia hiburan mempunyai sisi gelap. Dan kamu tahu kan gimana gelapnya sisi itu? Aku gak mau kamu sampai terjerumus di kegelapan itu. Karena kamu berarti banget buat aku. Kamu istimewa.”
Sungguh aku terenyuh. Aku menghambur ke pelukannya. ”Bara, aku sayang banget sama kamu.”
Bara balas memelukku erat, ”Aku jauh lebih sayang sama kamu.”
***
Ini sudah tahun kedua aku memasuki dunia hiburan tanah air. Banyak yang berubah dari hidupku. Setiap kali pergi di suatu tempat, orang-orang akan mengenaliku. Lingkup pertemananku jadi lebih luas. Aku lebih sering menghabiskan waktu di lokasi syuting sehingga aku jarang pulang ke rumah.
”Okay, cut! Istirahat sepuluh menit, habis itu kita take adegan lagi,” ucap sutradara. Aku melepas pelukanku dari Dava, lawan mainku. Kami memang sedang merekam adegan berpelukan di scene ini. Setelah itu aku duduk di kursi di bawah tenda. Aku mengambil handphone-ku. Aku melihat ada banyak pesan masuk dari Bara. Pesan-pesan itu sederhana, sekadar menanyakan bagaimana keadaanku, bagaimana jalannya syuting, sudah makan atau belum, dan pesan-pesan sederhana lainnya. Bara selalu seperti ini. Dia selalu menyempatkan waktu untuk mengirimkan pesan padaku. Aku baru mau membalas pesannya, tapi sutradara tiba-tiba memanggilku. Aku pun memasukkan handphone-ku ke dalam tas dan menghampiri sutradara.
***
”Gimana syutingnya?” tanya Bara ketika datang menjemputku di lokasi syuting.
”Lancar,” jawabku singkat.
”Capek, ya?”
”Hm.” Aku hanya menggumam. Setelah itu aku terlelap di mobil selama perjalanan pulang.
Besoknya, aku terbangun di atas ranjang di kamarku. Aku tidak ingat masuk ke kamarku. Pasti Bara yang membawaku ke kamar. Aku langsung memikirkannya. Bara, dia masih sama. Selalu perhatian dan pengertian. Dia bahkan tidak mengungkit-ungkit pesannya yang tidak kubalas kemarin.
***
”Sayang, aku kangen deh makan di warung pinggir jalan sama kamu,” ucap Bara.
Saat ini kami sedang makan di sebuah restoran privat di Jakarta. Aku yang meminta untuk makan di restoran, bukannya di warung pinggir jalan. Sekarang aku sudah terkenal. Makan di warung pinggir jalan bukan pilihan yang tepat untukku. Orang-orang akan mengenaliku dan berbondong-bondong meminta foto atau tanda tangan padaku. Meskipun awalnya Bara menolak, namun akhirnya dia mengerti.
”Kita lebih baik makan di restoran privat kayak gini aja daripada makan di warung pinggir jalan, Bara,” ucapku.
”Tapi aku kangen banget makan di warung pinggir jalan sama kamu. Kita tuh punya banyak kenangan di sana.”
"”Daripada kamu mikirin kenangan di sana, mending kita bikin kenangan baru di sini, di tempat ini. Di sini lebih nyaman. Gak panas, ada AC. Pelayanannya bagus. Di sini juga lebih enak cerita, gak ribut kayak di warung makan pinggir jalan.”
Bara diam. Dia hanya mengaduk-aduk makanannya.
”Bara, kok diem?”
”Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
”Apa?”
”Kamu banyak berubah. Gak kayak dulu lagi.”
Deg.
Ini pertama kalinya Bara mengeluh padaku.
”Aku liat di postingan Instagram kamu, kamu ke club semalam.”
”Memangnya kenapa kalau aku ke club?”
”Di sana kan bahaya. Kalau ada orang yang mabuk terus apa-apain kamu gimana?”
”Aku bisa jaga diri aku sendiri.”
”Aku cuma khawatir sama kamu. Kamu juga jarang balas chat aku. Kita udah jarang ketemu. Udah jarang komunikasi. Kamu selalu bilang sibuk, gak ada waktu, tapi kamu sendiri punya waktu buat clubbing sama temen-temen artis kamu.”
”Aku kan cuma mau senang-senang. Aku butuh refreshing.”
Aku cuma khawatir sama kamu. Kamu juga jarang balas chat aku. Kita udah jarang ketemu. Udah jarang komunikasi. Kamu selalu bilang sibuk, gak ada waktu, tapi kamu sendiri punya waktu buat clubbing sama temen-temen artis kamu.
”Refreshing gak harus clubbing.”
”Hk, kamu mana ngerti? Kamu kan kolot.”
”Apa?”
”Kolot. Kamu tuh gak ngerti caranya bersenang-senang. Dibawa ke restoran mewah malah minta dibawa ke warung makan pinggir jalan. Bara, di luar sana itu banyak orang yang pengen banget makan di restoran mewah, tapi gak punya uang dan berujung cuma makan di warung makan pinggir jalan. Kamu harusnya bersyukur aku bawa ke sini. Dan masalah clubbing itu, kamu gak berhak ngelarang-larang aku.”
”Aku pacar kamu. Aku berhak ngelarang-larang kamu.”
”Kalau gitu mending kita putus aja. Dengan begitu, kamu udah gak ada hak buat ngelarang-larang aku,” ucapku spontan.
Bara langsung membeku. Rahangnya mengeras menahan emosi. ”Selama ini aku selalu berusaha buat ngertiin kamu. Tapi aku rasa kamu gak melihat semua itu. Kalau kamu mau putus, aku terima. Aku gak akan maksa kamu buat tetep jadi pacar aku kalau kamu udah gak mau lagi sama aku.”
Setelah mengucapkan itu, Bara keluar dari restoran. Aku bergeming menatap kosong kursi yang tadi diduduki Bara. Bara pergi. Bulir kristal itu tiba-tiba jatuh membasahi pipiku.
Hiks ... Hiks ... Hiks ....
***
Ini sudah berbulan-bulan sejak kejadian di restoran itu. Bara tidak pernah menghubungiku lagi. Setiap kali aku menemuinya, dia pergi. Setiap kali aku meneleponnya, dia menolaknya. Setiap kali aku mengirim pesan padanya, dia tidak membalasnya. Bara benar-benar telah pergi meninggalkanku.
Aku masih mencintainya, sangat mencintainya. Selama ini aku egois. Aku selalu ingin dimengerti, namun aku tidak pernah mengerti dia. Hubungan yang kami jalani selama lima tahun kini kandas begitu saja.
Aku benar-benar menyesal. Aku hanya bisa meratapi kebodohanmu sendiri. Aku menangis. Meringkuk di dalam kamar. Aku menatap kaktus pemberian Bara. Kaktus itu masih hidup dan kini berbunga. Aku bangun dan mengambil kaktus itu. Aku menatap kaktus itu sambil memikirkan Bara.
Baca juga: Tentang Seloki Pustaka dan Mimpi Tiga Pengarang Muda
”Kalau kamu udah jadi artis terkenal, kamu jangan sombong, ya. Harus tetap rendah hati.”
”Kamu juga jangan lupain aku, ya.”
”Aku tanam kaktus dengan harapan supaya kamu bisa seperti kaktus. Kaktus bisa melindungi dirinya dari berbagai ancaman dengan duri-durinya. Aku mau kamu bisa melindungi diri kamu sendiri. Sekarang kamu udah berkecimpung di dunia hiburan. Dunia hiburan mempunyai sisi gelap. Dan kamu tahu kan gimana gelapnya sisi itu? Aku gak mau kamu sampai terjerumus di kegelapan itu. Karena kamu berarti banget buat aku. Kamu istimewa.”
Tangisanku semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar bodoh telah melepaskan laki-laki sebaik Bara. Aku mencabik-cabik hatinya yang begitu lembut. Aku telah melukai Bara yang begitu baik padaku. Setelah dia pergi dari hidupku, aku baru sadar bahwa dia sangat berarti bagiku. Kepergiannya membuatku merasakan kehilangan yang sangat besar. Hatiku kosong. Dia adalah pemeran utama dalam hidupku. Dia yang selalu ada di sisiku dan mendukungku. Kini aku telah kehilangannya.
***
Elsafitri, lahir di Binuang, 17 Desember 2001. Dia adalah seorang pelajar yang hobi menulis. Beberapa tulisannya telah dimuat dalam antologi bersama.